,

Kurva Kehidupan

Mantan eksekutif korporasi global, Pierre B. Pirard, oleh sebuah situs disebut mendapat penghasilan total selama setahun sebesar 1 juta dolar Amerika lebih 49.705. Penghasilan sebesar itu mungkin sangat menggiurkan, tetapi yang lebih menarik adalah keputusan yang diambilnya. Anda dapat menemukan kisah lengkapnya di TEDx. Singkatnya, Pirard memutuskan meninggalkan pekerjaan yang berlimpah uang itu untuk menjadi seorang guru di sebuah sekolah di daerah Bronx-nya Brussels. Mengapa? Bukan karena dia mengikuti sebuah ibadah lalu mengambil keputusan untuk mengabdikan diri bagi kemanusiaan. Ini saya katakan bukan untuk merendahkan nilai ibadah. Tidak sama sekali. Terus terang saya bermaksud menyindir orang yang mengaku bertemu Tuhan lewat ibadah ataupun melalui berbagai pencerahan rohani lainnya, tetapi hidupnya nyaris tidak memberi dampak baik bagi sesamanya. Jadi mengapa Pirard mengambil keputusan tersebut? Jawabnya, karena mengalami midlife crisis! Serius? Iya.

Bagi Pirard, hidup seperti sebuah kurva. Bayangkan sebuah garis melengkung. Dimulai dari titik lahir di bawah kiri dan berakhir di titik bawah kanan. Jika hidup manusia katakanlah dapat mencapai usia 80 tahun, berarti titik puncak hidupnya ada di usia 40. Hmm, mungkinkah karena hal itu ada sebutan “life begins at forty”? Nah, jika titik puncak kehidupan ada di usia 40 tahun, berarti midlife crisis terjadi sekitar usia 40-an. Mengapa? Alasan yang diberikan Pirard sangat masuk akal. Di puncak usia dan kariernya, Pirard melihat bahwa hidup tidak lagi mendaki, tetapi menurun. Jika Anda telah mencapai puncak gunung, maka pilihan satu-satunya adalah turun. Waktu Anda turun dari puncak kehidupan, Anda seharusnya dapat melihat dengan jelas kuburan yang menanti di bawah sana! Kenyataan itu menggelisahkan Pirard. Ia ingin memiliki hidup yang bermakna. Akhirnya ia memutuskan untuk mengabdikan sisa hidupnya dengan menjadi guru di sebuah sekolah yang terdapat di wilayah kumuh kota Brussels.

Kisah Pirard mendorong saya untuk semakin merenungkan ide tentang kurva kehidupan. Seorang yang belum mencapai puncak kehidupan melihat hidup mendaki ke atas. Sulit bagi mereka untuk melihat bahwa ada kuburan yang menantikan mereka di balik perbukitan yang menjulang tinggi. Sehingga mereka mudah untuk menyia-nyiakan perjalanan yang ada dan melakukan hal yang sia-sia. Kemungkinan lain yang kadang tidak terpikirkan adalah mungkin saja mereka tidak akan mencapai puncak kehidupan, karena Sang Pemilik hidup meminta mereka untuk segera turun ke bawah. Jadi, bagaimana kita dapat berbijaksana dalam pendakian hidup sehingga musim semi kehidupan menghasilkan bau harum yang menyenangkan Tuhan dan sesama?

Berbeda dengan mereka yang berada di puncak. Mereka seharusnya dapat melihat dengan mudah apa yang menanti di bawah sana. Namun apakah mereka sudah bersiap menuju ke sana? Atau terpaksa turun dengan menggendong ransel penyesalan atau mungkin kepahitan dan kemarahan yang sangat berat menggayuti hidup?

Apa yang harus kita lakukan supaya perjalanan menuruni kehidupan suatu hari nanti bisa menyerupai musim gugur yang penuh warna-warni yang mengagumkan? Silakan merenungkan jawabannya, namun saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip ayat firman Tuhan berikut:

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mzm. 90:12)

Ev. Maya Sianturi Huang
Kepala SMAK Calvin