Apa yang terjadi ketika agama dan politik bersatu? Pembantaian manusia. Paling tidak itulah fakta yang disodorkan oleh Perang Agama Perancis (French Wars of Religion) pada tahun 1559-1598. Lalu, pernahkah Anda membayangkan Paris, ibukota Perancis yang tersohor sebagai kota budaya dan fashion itu, berlumuran darah serta bergelimang jasad manusia?
Paris adalah kota yang dilekatkan dengan kata romantis, bahkan disebut-sebut sebagai kota paling indah di Eropa. Kota ini ternyata menyimpan salah satu kenangan paling keji dalam catatan sejarah manusia. Kenangan buruk itu adalah Massacre de la Saint-Barthélemy, pembunuhan massal di hari Santo Bartolomeus, tanggal 24 Agustus 1572.
Pembunuhan Massal Hari Santo Bartolomeus adalah sebuah pembantaian terhadap kaum Huguenot (orang Perancis yang beragama Protestan Kalvinis) masa Perang Agama di Perancis berlangsung. Peristiwa ini merupakan bagian dari sejumlah krisis yang terjadi di Perancis waktu itu. Buku Sejarah Perancis karya Jean Carpentier dan François Lebrun menyebutkan tiga krisis pemicu Perang Agama tersebut, yaitu krisis keagamaan, krisis politik, dan krisis ekonomi.
Pemicu peristiwa Pembunuhan Massal Hari Santo Bartolomeus itu sendiri adalah pernikahan Pangeran Henri dari Navarre dengan Putri Margaret dari Valois tanggal 18 Agustus 1572. Pernikahan itu sendiri merupakan prakarsa Catherine de’ Medicis (yang berasal dari keluarga Medicis Florence, Italia), ibunda Raja Charles IX, yang berusaha untuk terus memegang kendali kekuasaan. Pernikahan ini tentu saja tidak disetujui baik oleh Paus maupun Raja Filipe II dari Spanyol. Mengapa? Karena Pangeran Henri dari Navarre beragama Protestan Kalvinis yang dianggap bidat dan ancaman terhadap kekuasaan monarki. Masalahnya pun semakin rumit karena pernikahan ini dilangsungkan di kota Paris yang sangat anti kaum Huguenot. Penyelenggaraan pesta pernikahan ini diperburuk dengan keadaan ekonomi rakyat Paris yang sulit. Kekusutan masalah juga dipertajam dengan adanya persaingan sengit antara kelompok Protestan yang dipimpin oleh Admiral Gaspard de Coligny (yang diangkat Charles IX sebagai anggota Dewan Penasehat Raja tahun 1570) dengan kelompok Katolik fanatik yang dipimpin oleh Henri de Guise (yang bernafsu membalas kematian ayahnya yang tewas di perang agama tahun 1563). Sangat rumit bukan?
Menurut tradisi, pembunuhan massal ini diprakarsai oleh Catherine de’ Medici yang disetujui oleh Charles IX. Pembantaian kaum Huguenot itu dilakukan enam hari setelah pesta pernikahan di atas dan berlangsung selama beberapa hari. Dimulai dari Paris sampai ke berbagai kota besar lain di Perancis. Perkiraan tradisional menyebut 100.000 Huguenot yang dibunuh, sedangkan perkiraan modern menyatakan sekitar 5.000- 30.000 korban jiwa yang tewas.
Fanatisme agama yang memakan korban jiwa tidak hanya terjadi di Paris. Bahkan sebuah kota penting dunia mencatat puncak kedursilaan fanatisme agama: Yerusalem. Yerusalem disebut sebagai kota suci tiga agama terbesar dunia: Kristen, Yahudi, dan Islam. Kota yang dipenuhi oleh para ahli kitab dan menjadi pusat pembelajaran agama Yahudi. Namun Yerusalem yang suci pernah melakukan kekejian terbesar, yakni pembantaian Anak Manusia. Saat politik dan agama bersatu, Anak Manusia yang tak berdosa, rela dikorbankan.
Diri kita pun mungkin bak Paris ataupun Yerusalem. Memikat dan saleh tampilannya. Tetapi bukankah ada banyak peristiwa hina dalam diri kita yang membuat kita ikut menyembelih Anak Domba Allah? Menjelang peringatan Hari Reformasi, mari sekali lagi menyelidiki hati di hadapan Dia yang sudah dikorbankan untuk kita. Apakah/Siapakah yang kita korbankan dalam proses semper reformanda dalam kehidupan kita sehari-hari? Soli Deo Gloria.
Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin