Caleg bunuh diri. Berita ini belakangan santer terdengar dari siaran berita yang ditayangkan di stasiun-stasiun televisi tanah air. Lebih canggih lagi, ada yang begitu mendengar kabar kegagalan mereka menjadi anggota dewan, pada hari itu juga langsung cabut meninggalkan dunia fana ini. Bunuh diri? Bukan. Tetapi mati dengan sendirinya. Mungkin ini sejenis bunuh diri versi terbaru. Namun pertanyaan yang timbul sehubungan dengan berita ini adalah: “Mengapa bunuh diri? Mengapa rela melepaskan hak hidup mereka?”
Mari kita intip buku Le Suicide atau bunuh diri yang ditulis tahun 1897 oleh Emile Durkheim, sosiolog Perancis yang disebut sebagai bapak sosiologi modern. Buku mengenai studi kasus bunuh diri ini adalah sebuah buku yang unik pada zamannya. Meski sudah lama, namun belum ada lagi buku sejenis yang ditulis. Karena itu siapa tahu kita bisa mendapat semacam pencerahan dalam buku tersebut mengenai mengapa caleg Indonesia bunuh diri.
Dalam bukunya itu, Durkheim memaparkan adanya 3 (tiga) macam jenis bunuh diri yaitu egoistik, altruistik, dan anomik. Bunuh diri egoistik dilakukan oleh mereka yang terisolir dari kehidupan sosial, sedangkan bunuh diri altruistik dilakukan oleh mereka yang demikian terikat kepada norma dan tujuan kelompok sosialnya. Lalu bunuh diri anomik dilakukan oleh mereka yang berada dalam masyarakat yang sedang mengalami krisis atau perubahan yang cepat. Jadi caleg Indonesia masuk kelompok yang mana?
Sebelum memutuskan, coba simak satu berita unik lain yang berkaitan dengan bunuh diri. Berita ini saya temukan dalam blog Al Mohler: assisted suicide. Assisted suicide? Ya, Anda tidak salah baca. Lho, kenapa bunuh diri harus dipandu segala? Harus, menurut Ludwig Minelli, seorang pendiri organisasi “hak-untuk-mati” dari Swiss. Kenapa? Karena dari 50 usaha bunuh diri, hanya satu yang berhasil, yang lain gagal. Akibatnya Layanan Kesehatan Nasional Swiss harus menanggung biaya yang besar bagi mereka yang gagal bunuh diri. Usaha bunuh diri ternyata sangat mahal. Sebab itu lebih baik dipandu untuk memastikan bunuh diri itu berhasil supaya menghemat biaya.
Minelli memandang bunuh diri sebagai sebuah kemungkinan yang sangat baik untuk keluar dari situasi yang tidak dapat diubah. Berarti, memandu bunuh diri tidak hanya menghemat banyak uang tetapi juga berbuat kebaikan. Akibatnya masyarakat diuntungkan.
Sejauh ini kita sudah melihat dua berita unik mengenai bunuh diri. Lalu dalam perspektif Durkheim, keduanya masuk jenis bunuh diri yang mana?
Dalam sejarah gereja dicatat mengenai para martir yang menyerahkan hidup mereka bagi Kristus. Para martir tentu saja tidak sedang melakukan bunuh diri massal apalagi assisted suicide. Namun salah satu hal yang paling mendasar yang dapat kita refleksikan dari keputusan mereka untuk jadi martir adalah apa yang mereka lepaskan sekaligus pertahankan. Mereka memilih mati daripada hidup dengan melepaskan iman mereka. Karena hidup yang melepaskan Kristus sama dengan mati. Mereka memilih melepaskan hidup mereka karena mempertahankan iman dalam Kristus berarti memiliki hidup yang sesungguhnya.
Bagaimana dengan para caleg? Bagaimana dengan mereka yang menjadi peserta assisted suicide? Tidak adil bagi mereka jika kita sekedar mengelompokkan mereka dalam salah satu jenis bunuh diri Durkheim. Memasukkan mereka dalam ketiga jenis bunuh diri sekaligus karena kompleksitas masalah yang ada, juga tetap tidak memberikan penilaian yang cukup adil. Yang mungkin lebih adil adalah dengan mengajukan pertanyaan: “Apa yang sesungguhnya mereka lepaskan dan sekaligus mereka pertahankan?” Silahkan Anda renungkan…
Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat