,

Lisa, Lupus, dan Lacan

Sebuah sms masuk, menggetarkan telepon selular saya di hari Sabtu. Dari Lisa Lukman. Isinya sebuah ratapan:

Tangan-Nya menekanku siang dan malam.

Tubuhku disesah-Nya.

Tidak sedikit pun Dia memberi kelegaan padaku.

Air mataku sudah kering, tubuhku ngilu,

dan doa-doaku seperti hilang terbawa angin.

Tapi aku tetap memilih dekat dengan-Nya,

dan biarlah tubuhku hancur karena tangan-Nya. 

Itulah sms terakhir yang saya terima dari Lisa. Dua hari kemudian, Senin dini hari, 14 April 2008, dalam usia 32 tahun, ia kembali ke pangkuan Bapa Sorgawi. Siapa Lisa Lukman? Mengapa saya memperkenalkannya? Pergumulannya dengan penyakit Lupus selama tiga tahun sembari menyelesaikan kuliah filsafat di STF Driyarkara menarik untuk disimak. 

Lisa yang berasal dari keluarga non-Kristen, adalah sosok yang sangat mencintai kehidupan. Mungkin hidupnya akan singkat pernah dikatakannya beberapa kali. Kesadaran ini pula yang mungkin membuatnya – di dalam kasih karunia Tuhan – menyerahkan masa mudanya pada Kristus. Mulai dari pertobatannya semasa SMA, menjadi ketua remaja di gerejanya sampai menjadi kakak pembina remaja di GRII Pusat. Mulai dari SMA, lalu kuliah sampai bekerja kehidupan Lisa dipenuhi oleh kegiatan pelayanan gereja. Ia pernah bekerja di majalah KITA, menyanyi di JOS, terlibat berbagai kepanitiaan gereja, ikut STRIJ sampai terlibat dalam RSI, sebuah komunitas yang mendiskusikan Christian worldview.  Lewat komunitas ini pulalah ia menemukan partner kehidupan yang lain yaitu filsafat.

Titik kehidupan Lisa kemudian mulai mengalami dinamika yang berbeda saat ia memutuskan untuk bekerja di luar pelayanan gerejawi. Sambil mengumpulkan dana bagi kelanjutan studi, filsafat makin menarik hatinya. Secara mengejutkan, ia memutuskan untuk kuliah filsafat di STF Driyarkara setelah berhenti bekerja. Lho, mengapa bukan theologi? Sebagai sahabatnya saya menentang ide tersebut. Saya khawatir ia akan seperti sahabat lama saya yang meninggalkan iman Kristennya karena terpikat filsafat postmodern. Lisa bersikukuh di dalam pendiriannya, meyakininya sebagai pimpinan Tuhan. Lalu sembari kuliah di STF, ia bekerja paruh waktu dan aktif di ICRP, sebuah organisasi nirlaba yang giat mengembangkan dialog dan kerjasama antar agama.

Setahun lebih kuliah, Lisa mendapat penyakit Lupus. Lupus? Ya. Belum pernah dengar? Saya menyarankan untuk mencarinya di Google karena menurut saya penyakit ini perlu dikenali. Penyakit serigala ini menyerang Lisa selama 3 tahun kapan saja ia mau dan menyerang apa saja yang ia inginkan. Dalam kasus Lisa, Lupusnya unik karena suka menyerang otak. Akibatnya ia kerap masuk keluar rumah sakit karena serangan Lupus yang sangat menyakitkan. 

Di tengah-tengah pergulatannya melawan Lupus, kemauan belajar Lisa tidak surut. Kuliahnya selesai tepat waktu dengan prestasi akademis yang tinggi. Sebulan sebelum berpulang, skripsinya sudah disetujui dan siap untuk diuji. Namun ia tidak pernah maju sidang karena keburu berpulang. 

Tiga tahun setelah kepergiannya, skripsinya yang berjudul Aku adalah Yang Lain: Subyek menurut Jacques Lacan diterbitkan menjadi buku oleh STF Driyarkara lewat Penerbit Kanisius. Jacques Lacan adalah salah satu filsuf yang pemikirannya sangat rumit dan Lisa menjadi mahasiswi pertama yang membahasnya. Tercapai sudah keinginan Lisa untuk menunjukkan kepada kalangan akademisi filsafat bahwa orang Reformed bisa berfilsafat dengan baik. 

Lalu apa yang dapat kita renungkan dari kehidupan seorang Lisa? Silakan melihatnya kepada kehidupan Anda sendiri…

Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin