Pada mulanya makan bukanlah hanya urusan jasmani tetapi juga rohani, karena segala yang jasmani dan rohani memang seharusnya tak terpisahkan. Yang jasmani merupakan pancaran dari hal rohani yang tak tampak di permukaan. Tentu saja yang dimaksudkan bukan dualisme ala Plato, yang melihat yang tidak kelihatan adalah yang utama dan yang kelihatan adalah bayangan semata. Tipis memang beda pemahaman kedua pemikiran di atas, tetapi tetap memiliki perbedaan yang tajam. Masih kurang paham? Mari kita kembali kepada kisah Penciptaan.
Awalnya di taman Tuhan yang ada di Eden, semua hal jasmani atau materi menyatu dalam harmoni dengan aspek rohani. Di Eden, tepatnya di “gereja” taman (garden temple), manusia hidup beribadah di hadapan Penciptanya, hanya mengerjakan apa yang menyenangkan hati-Nya. Tuhan Pencipta menetapkan apa yang boleh dimakan. Dengan kata lain, firman mengarahkan hal-hal jasmani (dalam hal ini makanan). Bahkan Sang Pencipta pula yang menentukan batas kedaulatan-Nya melalui apa yang tidak boleh dimakan. Lagi-lagi hal rohani menggarisbawahi hal yang bersifat jasmani.
Jadi sejak awal perihal jasmani atau materi tidaklah terpisahkan dari ketentuan rohani yang mendasarinya. Sejak awal manusia hidup bukan oleh roti saja, tetapi oleh setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Pertanyaan, lalu mengapa sekarang kedua hal ini, jasmani dan rohani, terpecah? Kita sering, bahkan mungkin selalu, memisahkan keduanya. Seolah-olah keduanya berada di ranah yang berbeda. Mengapa? Jawaban sederhana yang rumit tentu saja adalah karena dosa. Cobalah renungkan kembali pasal 3 Kitab Kejadian. Saat manusia pertama menolak firman dan memakan buah dari pohon yang dilarang untuk dimakan itu, sejak itulah hidup kita, dan juga dunia kita, terpecah.
Keterpecahan ini menjadi dualisme yang menimbulkan banyak kesulitan dan kegalauan. Kita mengerang mencari kesatuan diri. Lalu mengusahakan berbagai macam cara untuk mendapat harmoni kehidupan jasmani dan rohani. Namun seperti kata Pengkhotbah, semua ini adalah usaha menjaring angin. Sia-sia dan sia-sia. Hanya ada satu cara untuk mendapatkan kembali keutuhan hidup yang sejak semula dimaksudkan oleh Sang Pencipta. Makan dan minum.Hah? Iya, makan dan minum, atau sebut saja perjamuan. Karena urusan makan, kita jatuh dalam dosa. Karena urusan makan, jiwa kita terpecah. Alih-alih memilih perjamuan yang disediakan Sang Pencipta, manusia memilih membuat perjamuannya sendiri dengan memakan apa yang tidak dikehendaki-Nya. Maka sekarang dengan kembali kepada perjamuan Tuhan, hidup kita dapat dipulihkan ke dalam keutuhan. Namun untuk kembali kepada rencana Allah semula ini, Allah harus mengorbankan Anak-Nya bagi kita. Yesus Kristus, Anak Allah yang Tunggal itu, harus dipecah-pecahkan tubuh-Nya dan darah-Nya harus dialirkan agar kita boleh duduk bersama dalam perjamuan Allah (1Kor. 11:23-29). Harga yang terlalu mahal bagi sebuah perjamuan! Tetapi demikianlah besarnya kasih Allah kepada kita! Jadi, bagaimana sikap Anda setiap kali menghadapi Perjamuan Suci?
Kembali kepada soal dualisme. Masihkah Anda memisahkan setiap kegiatan jasmani dari aspek rohani? Belajarlah menjalani kehidupan seturut firman-Nya. Itulah hidup yang utuh! Soli Deo gloria.
Ev. Maya Sianturi Huang
Kepala SMAK Calvin