Mungkin salah satu hal yang paling akan kita sesali di akhir hidup kita adalah fakta bahwa kita kurang peduli terhadap sesama. Mengapa? Cobalah renungkan kembali makna penciptaan manusia dan hukum yang terutama.
Saat melihat IG dari salah seorang pembawa acara talkshow terkenal di sebuah stasiun televisi, saya tergugah melihat postingan mengenai pemilihan heroes 2019. Bukan, saya tidak tergugah karena seorang sepupu saya termasuk di dalamnya. Saya tersentuh oleh usaha kemanusiaan mereka dan mulai merefleksi ulang apa yang belum saya kerjakan untuk sesama. Saya teringat ucapan Bapak Pdt. Stephen Tong yang pernah mengatakan jangan hanya melihat pada apa yang sudah kamu kerjakan, tetapi berapa banyak yang belum kamu kerjakan.
Semua hal itu entah kenapa mengingatkan pada satu peristiwa penting di dalam sejarah, yaitu saat Yesaya mendapat panggilan Allah (Yes. 6:1-13). Respons Yesaya sangat menarik untuk direnungkan. Saat melihat kemuliaan Tuhan, Yesaya sadar dirinya akan binasa karena ia manusia celaka yang najis bibir, tinggal di tengah bangsa yang najis bibir. Keren! Bukan, bukan dosa yang dalam hal ini digambarkan lewat bibir yang najis (pasti karena sumbernya juga najis) yang saya maksudkan sebagai keren. Yang keren itu adalah kesadaran diri Yesaya. Meski ia seorang nabi, ia tidak merasa dirinya lebih baik dari bangsa yang ia hidup di tengah-tengahnya. Sikap Yesaya sangat berbeda dengan orang Farisi dalam perumpamaan Tuhan Yesus. Masih ingat kan kisahnya? Alih-alih merasa diri lebih baik, Yesaya justru meratapi keberdosaan dirinya dan bangsanya. Dirinya adalah bagian dari bangsa yang najis bibir. Bagaimana dengan kita?
Baru-baru ini saya membaca di koran online sebuah tawaran beasiswa S1 untuk kuliah di universitas paling bergengsi di Inggris. Lalu apa syarat yang diminta oleh yayasan yang menawarkan beasiswa tersebut? Mudah ditebak, bukan semata-mata urusan akademis. Yang lebih utama adalah pelayanan ke masyarakat. Kelompok yang sadar bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat. Bukan kaum yang hanya bisa mengeluh tentang masyarakatnya dan sibuk dengan urusan pribadinya saja. Meminjam kalimat Yesaya di atas, yang mendapat beasiswa adalah mereka yang sadar dirinya bagian dari sebuah bangsa dan mau terlibat dalam kesulitan mereka. Saudara dan saya seharusnya ikut terlibat dalam pelayanan masyarakat. Bukan dimotivasi karena ingin mendapat beasiswa masuk universitas bergengsi, tetapi karena sadar diri adalah orang yang sudah diselamatkan Tuhan. Maka, tidak heran ketika Yesaya telah diampuni dosanya, dan Tuhan bertanya siapa yang mau pergi untuk diutus ke tengah-tengah bangsa yang najis bibir, Yesaya pun menjawab, “Ini aku, utuslah aku!” Pengutusan yang sangat berat karena bangsa Israel tidak akan menanggapinya! Jadi, bagaimana dengan Saudara? Apakah kita hanya akan ikut memanasi situasi menjelang Pilpres ini, atau kita mau turut berlelah berjuang melakukan sesuatu bagi kebenaran?
Vik. Maya Sianturi Huang
Kepala SMAK Calvin