Kisah mengenai Paulus yang terdampar di Pulau Malta memberikan kepada kita paling tidak sebuah pelajaran mengenai respons terhadap penilaian diri. Masih ingat kisahnya? Paulus–sebagai tahanan–sedang menuju ke Roma untuk naik banding kepada kaisar atas kasus yang dituduhkan orang-orang Yahudi kepadanya. Lalu kapal yang ditumpanginya kandas dan terdampar di Pulau Malta setelah melewati badai besar. Paulus beserta semua penumpang kapal selamat dan disambut hangat oleh penduduk setempat. Mereka bahkan menyalakan api besar karena cuaca yang dingin akibat turunnya hujan. Paulus sebagai pelayan Tuhan, tidak hanya diam berpangku tangan, tetapi ikut memungut ranting untuk ditaruh ke dalam api. Saat itulah seekor ular beludak memagut tangannya. Yang menarik dari peristiwa ini menurut tabib Lukas, bukan apa yang terjadi pada Paulus, melainkan respons penduduk setempat saat mengamati kejadian tersebut.
Waktu melihat ular beludak itu memagut tangan Paulus, mereka berpendapat bahwa Paulus pastilah seorang pembunuh. Meski telah luput dari laut, tetapi tidak diberikan hidup oleh Dewi Keadilan. Opini masyarakat lokal ini berubah setelah mereka melihat bahwa Paulus sama sekali tidak terpengaruh oleh gigitan ular tersebut. Tidak menjadi bengkak atau mati seketika. Sekarang mereka melihat Paulus sebagai seorang dewa. Wahai betapa cepatnya manusia mengubah pendapatnya!
Benarkah Paulus seorang pembunuh? Tidak salah, namun juga tidak benar. Paulus memang pernah menyetujui pembunuhan Stefanus dan aktif menganiaya jemaat Tuhan. Tetapi itu dahulu. Paulus memang mantan pembunuh yang tidak hanya bertobat, tetapi bahkan sedia dibunuh untuk menyatakan Injil kasih karunia. Paulus dewa? Salah, tetapi juga ada benarnya. Paulus memang bukan Dewa Hermes, seperti yang disangkakan orang-orang di Listra. Namun sebagai manusia, Paulus adalah keturunan Allah (Kis. 17:28b). Jadi, orang-orang Malta membuat penilaian yang salah mengenai siapa Paulus. Respons Paulus? Marah? Kesal? Atau justru bahagia? Tampaknya Paulus tidak terlalu memusingkan hal itu, karena apa yang dicatat berikutnya adalah pelayanan Paulus. Paulus menyembuhkan ayah Publius, gubernur Malta dan orang-orang sakit di pulau itu–bukan sebagai dewa, tetapi sebagai utusan Allah. Respons Paulus lebih bergantung kepada identitas dirinya sebagai utusan Allah, bukan apa kata orang tentang dirinya.
Kisah di atas tidak banyak bedanya dengan kisah sehari-hari kita dalam menilai orang lain atau dinilai oleh orang lain. Ketika seseorang bersikap manis, kita merasa orang tersebut seperti malaikat, lalu memperlakukan mereka dengan baik. Lain waktu, kita merasa orang tersebut seperti malaikat yang jatuh, karena telah menyinggung harga diri kita. Maka kita mulai menunjukkan ketidaksenangan bahkan membicarakan orang tersebut. Singkatnya, respons kita sangat dipengaruhi oleh bagaimana kita menilai orang yang bersangkutan. Demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain, respons kita ditentukan oleh penilaian orang lain, bukan siapa kita di hadapan Tuhan. Mungkin itu sebabnya, penggunaan waktu kita menjadi kurang efektif karena kita lebih sibuk menyesali pendapat orang lain tentang kita atau sebaliknya, dibanding menghidupi identitas diri sebagai umat tebusan.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa mari kita mengabaikan masukan, pendapat, atau kritik orang lain tentang diri kita. Yang dimaksudkan adalah setiap masukan, pendapat, atau kritik tersebut hendaknya dikaji dengan memakai satu standar yaitu penilaian diri di hadapan Tuhan. Standar itu yang menentukan apakah kita perlu memperhatikan atau mengabaikan penilaian orang lain tentang diri kita.
Jadi di penghujung tahun ini mari siapkan hati untuk mengevaluasi penilaian siapa yang kita anggap paling berarti. Tuhan atau manusia? Soli Deo gloria.
Ev. Maya Sianturi Huang
Kepala SMAK Calvin