Kisah Para Rasul 10:34-35
Kalau kekristenan adalah kepercayaan yang paling multietnis, multibudaya, multiras, kenapa banyak orang Kristen yang rasis? Tanpa kita sadari, kita bertumbuh dalam masyarakat yang membuat pembedaan: hitam vs. putih; pria vs. wanita; kaya vs. miskin; muda vs. tua; sehat vs. cacat; berpendidikan vs. tidak berpendidikan. Bahkan setelah menjadi Kristen selama bertahun-tahun pun, kecenderungan untuk bersikap rasis tetap tidak hilang. Tidak jarang, orang Kristen berkata, “Mereka tidak layak untuk diinjili atau terlalu najis bagiku untuk masuk ke rumah mereka untuk membagikan Injil.” Sampai sekarang, orang Kristen di dalam gereja pun masih ada yang rasis.
Dalam konteks perikop yang kita baca, ada tiga hal yang bisa kita pelajari dari kisah Petrus dan Kornelius. Pertama, dari Petrus, bahwa ia bergumul dengan rasisme dalam dirinya dan mengakui kesalahannya (ayat 28). Sepanjang hidupnya, Petrus telah diajarkan bahwa bangsa-bangsa lain tidak bersih, orang Yahudi tidak bergaul dengan orang-orang non-Yahudi. Petrus belajar kerendahan hati di hadapan Allah dan manusia, mengakui kesalahannya dan menyerah pada kebenaran yang menaklukkannya. Pertanyaannya, jika Tuhan tidak ingin kita memanggil orang “najis atau tidak tahir”, bagaimana hal ini mempengaruhi kita? Apakah itu berarti kita dapat menerima atau mendukung perilaku yang tidak benar? Di sinilah kita belajar bagaimana mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosa. Tetapi, kita harus berhati-hati agar kebencian kita terhadap dosa tidak melewati batas di mana kita tidak boleh bergaul dengan ‘’orang berdosa”. Frasa “tidak seorang pun” artinya tidak ada satu manusia pun di muka bumi yang harus kita pikirkan dengan cara rasis. Jangan meremehkan siapa pun. Salah satu penyebab rasisme adalah prasangka. Melalui contoh Petrus, kita diajarkan betapa kita harus sangat berhati-hati terhadap prasangka, yang sering kali membuat kita salah menilai.
Kedua, Kornelius adalah orang yang mewakili mereka yang belum diselamatkan di antara kelompok orang yang belum terjangkau tetapi mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh (Kis. 10:2). Dalam Kisah Para Rasul 11:14, diperjelas bahwa jika Kornelius memanggil Petrus dan mendengar pesan Injil serta percaya kepada Kristus, maka ia dan seisi rumahnya akan diselamatkan. Mengutip dari buku commentary John Calvin berjudul Commentary on Acts (Volume 1), Kornelius adalah sebuah contoh langka, bahwa seorang prajurit begitu taat kepada Tuhan, begitu benar dan sopan terhadap manusia! Karena pada waktu itu, ketika orang Italia dibawa ke provinsi-provinsi untuk hidup dalam peperangan, mereka berlari ke sana ke mari seperti serigala yang lapar untuk mendapatkan mangsa. Kornelius berbeda dengan orang Italia pada masa itu yang sombong dan meremehkan orang lain, termasuk merendahkan orang Yahudi. Ia melayani Tuhan dengan suci dan hidup di antara manusia tanpa melakukan hal yang menyakiti atau melukai. Namun demikian, kita bisa belajar dari Kornelius bahwa kesalehan dan perbuatan kebenaran serta ketulusan agama tidak menyelesaikan dosa; satu-satunya harapan adalah percaya Tuhan Yesus dan itu juga yang dibutuhkan Kornelius.
Ketiga, di setiap bangsa, di setiap kelompok di seluruh dunia, ada orang-orang yang dipersiapkan Allah untuk mencari Dia dengan segenap hati (ayat 35). Kita harus pergi. Seperti Kornelius tidak akan diselamatkan jika tidak ada yang memberitakan Injil kepadanya, tidak ada seorang pun dapat diselamatkan tanpa Injil.
Melalui teks ini, mari kita buang prasangka, bersihkan pikiran dan mulut kita dari semua rasisme dan tindakan yang mengasingkan sesama. Mari kita menjadi Petrus bagi Kornelius yang sedang menunggu.
Fitri Herlin Dato
Mahasiswa STTRII
