Cost-benefit analysis mungkin merupakan istilah yang tidak sering digunakan orang pada umumnya dalam hidup sehari-hari. Konsep ini lebih sering digunakan dalam bidang bisnis/finance/ekonomi di mana cost dari sebuah investment dibandingkan dengan benefit dari investment tersebut. Yang kemudian, kalkulasi ini akan digunakan untuk mengambil keputusan dalam strategi investasi. Namun, disadari atau tidak, manusia sering kali menggunakan cost-benefit analysis dalam hidupnya. Bahasa lebih sederhana dari cost-benefit analysis adalah perhitungan untung rugi. Tentunya perhitungan untung rugi selalu kita lakukan, mulai dari pilih makanan, pilih sarana transportasi, pilih lokasi tempat tinggal, pilih tempat studi, pilih tempat bekerja, bahkan sampai memilih pasangan hidup, dan memilih bergereja di mana.
Contoh lebih spesifik, ketika seorang pemuda memutuskan untuk masuk ke major/jurusan tertentu atau lainnya, dia akan memikirkan mengenai bagaimana future prospect dari pekerjaan yang berdasar pada major itu. Kemudian dibandingkan dengan tuition fee dan opportunity cost yang dilepas dengan tidak memasuki major lain. Jikalau benefit dari mengambil major tersebut lebih besar daripada cost untuk mengambil major itu, maka dia akan memutuskan untuk mengambilnya. Namun, kalau cost ternyata lebih besar dari benefit yang dia dapatkan dari major itu, kemungkinan besar dia akan memilih untuk mengambil major yang lain saja. Bahkan ketika mengambil keputusan mengenai pasangan hidup, kita juga menggunakan cost-benefit analysis; suatu konsep yang sangatlah natural dan dekat dalam hidup kita sehari-hari. Namun jangan kita lupa juga, pertimbangan untung rugi ini tidak hanya melibatkan faktor finansial saja. Ada faktor waktu, kesempatan, kemungkinan relasi, koneksi, dan kenyamanan yang sangat memengaruhi pertimbangan untung rugi yang kita lakukan.
Bagi sebagian orang Kristen, cost-benefit analysis sering kali dipandang sebagai konsep yang sekuler dan oleh karena itu tidak banyak diterima oleh orang-orang ketika digunakan dalam menilai hal-hal yang bersifat rohani. Langsung ada kesan mengenai berhala materialisme ketika istilah ini digunakan. Tetapi sebenarnya Tuhan Yesus sendiri mengajarkan konsep cost-benefit analysis ini untuk menilai hal-hal yang bersifat rohani. Contohnya, dalam Lukas 14:28-30, Tuhan Yesus menceritakan perumpamaan mengenai seorang yang membangun menara dan duduk dahulu membuat anggaran biaya supaya ia dapat menilai apakah uang yang dimilikinya dapat cukup untuk menyelesaikan menara tersebut. Dalam ayat-ayat berikutnya (Luk. 14:31-32), Tuhan Yesus kembali memberikan perumpamaan mengenai seorang raja yang mempertimbangkan apakah dengan pasukannya yang berjumlah 10.000 orang dapat mengalahkan raja lain yang mempunyai pasukan sebanyak 20.000 orang. Kedua perumpamaan ini kemudian dipakai Tuhan untuk menyatakan cost menjadi murid Tuhan di ayat 33 yang menunjukkan bahwa tidak ada orang yang dapat mengikut Kristus jika dia tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya. Ini hanyalah salah satu contoh yang dapat kita lebih renungkan bersama-sama.
Sering kali banyak orang Kristen menganggap konsep-konsep yang banyak digunakan di dunia bisnis sebagai konsep yang sekuler dan tidak dapat diterima. Ini mirip paradigma hitam-putih di mana segala sesuatu di dalam dunia bisnis dianggap hitam dan berdosa. Padahal mungkin saja konsep ini muncul/diciptakan berdasarkan pikiran yang telah dipengaruhi oleh pengajaran Kristen. Atau setidaknya pemikiran tersebut masih dapat kita apresiasi dalam tatanan anugerah umum. Jika kita lihat dengan baik, sebenarnya bukan konsep ini yang salah ketika diaplikasikan dalam kehidupan kekristenan. Namun, yang sering kali salah adalah manusia sering salah dalam menilai berat yang sebenarnya dari cost dan benefit itu. Pikiran manusia yang sudah tercemar oleh dosa lebih cenderung untuk memberi berat yang lebih pada short-term benefit daripada long-term benefit, apalagi spiritual benefit. Pikiran manusia yang berdosa juga sering mengalami kesulitan dalam menimbang berat yang sebenarnya dari hal-hal yang tidak bisa diukur dengan uang, terutama hal-hal yang bersifat rohani, waktu, dan kesempatan yang sudah berlalu atau hilang. Sebagai akibatnya, sering kali kita menjadi kompromi dalam menghidupi prinsip firman Tuhan.
Ambil contoh dalam hal menginjili, kadang-kadang kita terlalu takut orang yang kita injili akan menolak kita dan oleh karena itu menganggap cost lebih besar daripada benefit dan akhirnya kita memutuskan untuk memercayakan penginjilan kepada orang lain saja. Namun, tidak kita sadari bahwa kembalinya seorang yang berdosa begitu berharganya sehingga malaikat-malaikat di sorga pun mempunyai sukacita yang besar saat ada orang berdosa yang bertobat (Luk. 15:10). Di dalam hal ini kita telah salah dengan mengentengkan benefit yang sesungguhnya dan lebih menaikkan berat dari cost saat menginjili. Dalam contoh lainnya, seperti dalam hal mengejar kekudusan, kita lebih memberikan berat kepada benefit sementara yang kita bisa dapatkan, tapi meringankan cost dari perbuatan dosa yang melukai hati Tuhan. Dalam kedua hal ini, kita gagal menilai betapa beratnya cost dan juga gagal dalam menimbang berat benefit yang kita bisa dapatkan.
Kita sadar dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini, penilaian mengenai cost dan benefit sudah begitu kacau dan terbalik. Yang seharusnya kita kejar malah kita hindari, yang seharusnya kita hindari malah kita kejar. Tentunya yang menjadi pertanyaan besar dan perenungan bagi kita semua adalah bagaimana kita bisa memiliki perspektif yang benar mengenai apa itu cost dan apa itu benefit. Tentunya hal ini akan memerlukan pembahasan yang lebih komprehensif. Dalam kesempatan ini, setidaknya ada satu hal yang bisa kita renungkan, yakni aspek perubahan hati. Perubahan hati yang hanya bisa dikerjakan oleh Roh Kudus. Perubahan dari hati yang keras dari batu, menjadi hati yang lembut dari daging. Charles Spurgeon memberikan satu ilustrasi yang menarik. Orang yang hatinya belum berubah adalah bagaikan babi yang dengan ‘enaknya’ sedang lahap memakan sampah dan kotoran. Ketika hati itu diubahkan oleh Roh Kudus, babi itu bagaikan berubah menjadi manusia yang langsung muak dan muntah akan sampah tersebut. Kemudian langsung membersihkan diri dan mencari makanan yang sesungguhnya yang lezat dan menyehatkan.
Oleh karena itu, adalah baik jika kita bisa lebih banyak belajar dari Rasul Paulus yang benar-benar mengerti bagaimana cara mengaplikasikan konsep cost-benefit analysis ini dengan benar dalam kehidupan Kristen. Seperti yang telah ditulis di dalam surat kepada Jemaat Filipi, Rasul Paulus menulis, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus” (Flp. 3:7-8). Melalui pengenalan akan Kristus Yesus, pengertian Rasul Paulus mengenai konsep apa itu cost dan apa itu benefit telah berubah drastis. Apa yang dahulu ia anggap sebagai keuntungan, dianggapnya sebagai sampah apabila dibandingkan dengan pengenalan akan Kristus. Oleh sebab itu, marilah kita lebih banyak berdoa dan memohon kepada Tuhan supaya pengenalan dan iman yang sejati pada Kristus yang telah dianugerahkan kepada kita boleh mentransformasi pengertian kita akan value yang sebenarnya dari pengorbanan dan cinta kasih Tuhan kepada kita, supaya kita pun lebih berbijaksana dalam mengaplikasikan konsep cost-benefit analysis dalam kehidupan Kristen kita. Amin.
Levi Andrea
Pemudi GRII Singapura