Dan Saul bertanya kepada TUHAN, tetapi TUHAN tidak menjawab dia, baik dengan mimpi, baik dengan Urim, baik dengan perantaraan para nabi.. (1 Samuel 28:6)
Introduksi
Artikel ini merupakan perenungan singkat dari penulis mengenai momen ketika “Tuhan tidak berbicara”. Pdt. Stephen Tong pernah menjelaskan dalam khotbahnya bahwa periode ketika Tuhan diam, itu adalah suatu periode mengerikan dan seharusnya membuat manusia takut. Manusia seharusnya melakukan evaluasi dan menilik hati, apakah ada hal-hal yang sudah mendukakan atau menyulut murka Tuhan. Namun sering kali, manusia justru tidak sadar ketika Tuhan diam. Lebih parah lagi, periode tersebut dianggap sebagai periode untuk melampiaskan segala macam bentuk kebebasan, keliaran, dan keinginan tanpa kendali. Tuhan seolah-olah dianggap begitu sabar, atau bahkan mungkin tidak ada, sehingga tidak perlu lagi dihiraukan. Memang seperti demikianlah kerumitan dan kerusakan hati dari manusia berdosa.
Ketika Tuhan Tidak Berbicara
Alkitab beberapa kali menjelaskan momen-momen ketika Tuhan tidak lagi berbicara. Salah satu yang paling terkenal adalah periode setelah Nabi Maleakhi sampai menuju Yohanes Pembaptis dan Yesus Kristus. Periode tersebut dianggap “kosong dan gelap”. Tidak ada nabi, tidak ada firman yang diberitakan pada periode tersebut. Saat ini, periode tersebut sering disebut sebagai “intertestamental period”. Pembaca Buletin PILLAR bisa menelusuri lebih jauh rekomendasi referensi di bagian akhir artikel ini.
Contoh lain adalah ayat yang digunakan dalam bagian awal artikel ini. Saul yang ditinggalkan Tuhan kemudian mengalami masa-masa yang begitu sulit. Ia dikepung musuh yang begitu banyak dan dalam posisi sangat terjepit. Ia berusaha meminta petunjuk kepada Tuhan, namun tidak ada jawaban. Setelah berbagai usaha, akhirnya ia mencoba meminta seorang perempuan untuk memanggil roh Samuel. Dalam artikel ini, penulis tidak mau menjelaskan dan berdebat apakah roh itu adalah roh Samuel asli atau bukan. Satu hal yang bisa kita pelajari, jika Tuhan tidak berkenan, bahkan seorang raja sekalipun tidak bisa “memaksa” Tuhan untuk mencurahkan firman-Nya.
Terakhir, penulis tidak bisa tidak akan teringat dan merujuk kepada pribadi Kristus. Ada dua peristiwa yang ingin penulis angkat. Pertama adalah ketika Yesus bertemu dengan Herodes. Waktu itu Yesus adalah sosok yang sudah begitu dikenal. Banyak orang yang ingin bertemu dengan Yesus, termasuk Herodes. Pada konteks waktu itu, orang-orang Farisi begitu ingin menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus. Setelah beberapa proses, akhirnya Yesus dipertemukan dengan Herodes. Herodes begitu senang dan mengajukan banyak pertanyaan kepada Yesus. Namun Yesus diam. Hanya diam. Tidak ada satu kata pun yang keluar untuk Herodes. Herodes sama sekali tidak layak menerima satu patah kata pun dari Yesus.
Kedua adalah momen ketika Yesus sendiri berteriak kepada Bapa. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Suatu pertanyaan dan teriakan yang begitu emosional, sedih, dan ironis. Sekali lagi, tidak ada jawaban dari Allah Bapa. Ini adalah momen yang dilalui Yesus Kristus, Sang Allah Anak, untuk menebus dosa umat manusia. Allah Bapa memalingkan muka dan tidak memberikan jawaban bagi Allah Anak yang sedang terpaku di atas salib. Pembaca Buletin PILLAR yang ingin mempelajari lebih jauh bisa membaca buku Tujuh Perkataan Salib yang merupakan transkrip rangkuman penjelasan khotbah Pdt. Stephen Tong.
Refleksi Konteks Sehari-hari
Dalam bagian refleksi ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk melakukan refleksi praktis dalam konteks sehari-hari. Pertama, bagaimanakah sikap kita dalam mendengarkan firman Tuhan dalam keseharian kita? Baik dalam ibadah Minggu, pendalaman Alkitab, dan perenungan pribadi? Sudahkah kita menghargai dan menikmati momen-momen tersebut? Kedua, mungkin ada di antara pembaca (termasuk saya) yang mengalami momen-momen seolah-olah firman Tuhan “dicabut” dari hidup/keseharian kita. Ketika saya pindah dari satu kota ke kota lain, ada momen di mana saya belum mendapat rekan persekutuan untuk belajar firman dengan dalam dan intensif. Ini berbeda dengan pengalaman di kota sebelumnya di mana saya bisa memiliki tiga sampai empat kali kesempatan per minggu untuk bersekutu dalam kelompok kecil dan mempelajari firman. Dalam momen seperti ini, kita bisa mengambil waktu untuk berdiam dan memikirkan bagaimana seharusnya kita menghitung anugerah Tuhan dan berespons dengan benar. Ketiga, kita bisa mendoakan untuk terus memohon anugerah dan belas kasihan Tuhan. Kita sebagai manusia yang lemah perlu meminta Tuhan untuk memberikan firman-Nya, dan terlebih lagi agar firman itu mengubahkan hidup kita. Kesinambungan antara doa, mendengarkan firman, dan melakukannya, akan menjadi suatu dinamika yang indah dalam kehidupan Kristen.
Penutup
Penulis ingin menutup artikel refleksi singkat ini secara sederhana. Pembaca Buletin PILLAR bisa mengambil waktu tenang sejenak dan merenungkan perjalanan kerohanian kita dalam beberapa bulan terakhir. Kita bisa kembali memikirkan anugerah Tuhan yang masih dicurahkan melalui firman dan rekan persekutuan yang saling membangun. Lebih jauh lagi, kita juga bisa melakukan evaluasi, apakah ada momen-momen di mana Tuhan seolah-olah diam dan membiarkan kita? Jika ada momen-momen seperti itu yang kita sadari, mungkin saat ini adalah momen di mana kita boleh kembali mengarahkan hati kita kepada Tuhan dan memohon agar Tuhan masih mencurahkan anugerah-Nya kepada kita, manusia berdosa ini.
Speak, O Lord, and renew our minds
Help us grasp the heights of Your plans for us
Truths unchanged from the dawn of time
That will echo down through eternity
(Speak O Lord, Keith Getty)
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Editorial PILLAR
Rekomendasi singkat beberapa materi untuk pembelajaran lebih jauh:
Introduction to the Intertestamental Period, Raymond Surburg
Intertestamental Period, Stephen Noll