Di dalam mitos Yunani, kita mendengar tentang Atlas, dewa yang dihukum oleh Zeus untuk
menopang bumi. Mitos Arab mengatakan bahwa seekor ikan raksasa, Bahamut, yang
menopang bumi. Tetapi siapakah yang mengetahui rahasia bumi kecuali Tuhan? Kitab Ayub
mengatakan bahwa “Allah membentangkan utara di atas kekosongan dan menggantungkan
bumi pada kehampaan” (Ayb. 26:7); “Ia menetapkan kekuatan angin” (Ayb. 28:25);
“Engkaukah yang turun sampai ke sumber laut” (Ayb. 38:16); “Di manakah jalan ke tempat
kediaman terang dan di manakah tempat tinggal kegelapan” (Ayb. 38:19). Kini kita tahu
bahwa bumi tidak ditopang secara fisik tetapi diam di tempatnya karena gaya gravitasi
matahari dan benda-benda langit lainnya; kita dapat mengukur tekanan udara dengan
barometer; kita menemukan akuifer di dasar laut yang mengeluarkan air ke laut, kita
mengetahui bahwa cahaya memiliki jalur sedangkan kegelapan tidak.
Apakah reaksi kita ketika mendengar atau melihat alam yang begitu indah dan menakjubkan?
Apakah sebatas pengetahuan dan takjub atau kita makin menyadari kebesaran Tuhan? Kita
hanyalah salah satu dari ciptaan-Nya yang tidak mungkin mengerti jalan pikiran-Nya. Dia
menciptakan segala sesuatu dalam keteraturan dan keseimbangan, bukankah sangat bodoh
jika kita tidak mau percaya kepada-Nya?
Dia mengutus Anak-Nya ke dunia untuk memberikan keselamatan bagi kita, ciptaan yang
pernah menantang dan mengkhianati-Nya. Dia memperlihatkan kasih-Nya ketika kita hanya
tahu merebut dan membenci. Dia memberikan Roh-Nya untuk mengingatkan kita agar setia
kepada Kekasih Jiwa kita. Orang yang berada di dalam kesakitan luar biasa umumnya sangat
mudah untuk mengutuk semua yang berada di luar dirinya. Ayub, tokoh Alkitab yang sangat
dekat dengan penderitaan, mengatakan, “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala
sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” (Ayb. 42:2)
Apakah kita tidak menyia-nyiakan hidup kita dengan berjalan sendiri dalam terang semu
namun berujung pada ketiadaan makna? Hanya Tuhan yang mengetahui rahasia hidup
manusia, rahasia hidup pribadi kita masing-masing. Hal terpenting yang harus kita
perhatikan, ajarkan berulang-ulang, bicarakan di rumah maupun di perjalanan, saat berbaring
dan bangun, ikat di tangan dan menjadi lambang di dahi, bahkan ditulis di pintu rumah dan
pintu gerbang, adalah: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:5). Tuhan memerintahkan kita
untuk hidup kudus, tidak menuntut balas atau menaruh dendam, melainkan mengasihi sesama
manusia seperti diri kita sendiri” (Im. 19:18).
Marilah kita memperhatikan bagaimana kita menggunakan pikiran, mata, telinga, lidah,
tangan, dan kaki kita. Apakah semuanya sudah sinkron dengan mengasihi Allah dan sesama?