,

Raja Yesus

Dalam salah satu kuliahnya, Prof. Richard Pratt mengatakan bahwa kita tidak pernah tahu seperti apa rasanya hidup di bawah pemerintahan seorang raja yang absolut. Memiliki kekuasan absolut adalah hal yang lumrah pada zaman raja-raja kuno, karena kekuasaan mereka memang dikaitkan dengan otoritas divinitas. Adalah sebuah anggapan yang diterima luas bahwa kekuasaan raja berasal dari yang Ilahi. Maka, sebagaimana ditulis oleh para sejarawan, jabatan raja memiliki aspek sakral. Kesakralan ini menjadi legitimasi terhadap kekuasaan sang raja. Tidak heran jika para raja—entah mereka disebut firaun atau kaisar—sering menyebut diri sebagai anak dewa atau titisan dewa.

Kesakralan jabatan raja tidak hanya dipercayai oleh peradaban kuno dunia yang awal seperti “Peradaban Empat Lembah Sungai” dan setelahnya. Dalam sejarah Indonesia klasik pun demikian. Para raja mengklaim diri sebagai titisan dewa dan memiliki kekuasan yang nyaris absolut. Bacalah Negarakertagama yang mengisahkan kewibawaan raja-raja Majapahit. Bahkan seorang raja Mataram pun memerlukan legitimasi dari Nyai Roro Kidul!

Dalam Perjanjian Lama, kita juga dapat menemukan kemutlakkan kekuasaan raja-raja kuno tersebut karena memang kisah-kisah Perjanjian Lama adalah kisah sejarah. Sebut saja kekejaman firaun Mesir di era Musa. Ketakutan Nehemia saat raja menemukan bahwa ia bermuka muram. Bayangkan, bermuka muram saja di hadapan raja kemungkinan bisa dihukum mati. Atau Ratu Ester, untuk bertemu suaminya sendiri, ia harus mempertaruhkan nyawa hanya karena sang raja tidak memanggilnya datang. Pernahkah Anda bayangkan betapa absolutnya kekuasaan raja dan bagaimana jika Saudara hidup di bawah pemerintahannya?

Mungkin itu pula sebabnya sebagian orang Kristen melihat wajah Tuhan di Perjanjian Lama seperti seorang raja absolut yang kurang bersahabat. Bahkan ada yang membedakan Allah Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Padahal jika kita perhatikan, Allah Perjanjian Lama adalah Allah yang sama dengan Allah Perjanjian Baru, mungkin “terlihat berbeda” karena konteks zaman. Maksudnya? Maksudnya begini.

Jika kita melihat bagaimana raja-raja kuno menunjukkan kekuasaan mereka, kuasa Allah harus lebih lagi dinyatakan, sebab Ia adalah Raja di atas segala raja. Tidak ada kuasa yang tidak takluk kepada kuasa-Nya. Penekanan pada transendensi Allah ini sepertinya lebih nyata di dalam Perjanjian Lama. Namun di sisi lain, jika kita memperhatikan dengan teliti, kita juga akan melihat imanensi Allah, Allah yang rahmani yang sangat amat sabar menghadapi kelemahan dan pemberontakan umat-Nya. Tidak ada raja yang akan menahan diri lebih dari Raja di atas segala raja. Tidak ada pengantin-Nya yang takut menghampiri-Nya. Tidak seorang pun dari umat-Nya yang akan dihukum berat karena datang dengan muka muram. Tidak akan ada yang dipenggal kepalanya karena mempertanyakan perintah-Nya. Tidak ada raja yang demikian penuh belas kasihan lebih dari Sang Raja!

Lalu bagaimana wajah sang Raja di dalam Perjanjian Baru? Sebagian orang Kristen terpana dengan kerendahan hati-Nya. Terkesima dengan sikap-Nya yang bak seorang hamba. Tertegun dengan “kelemahan-Nya” di atas kayu salib. Lalu? Terpukau pada imanensi Yesus, banyak yang melupakan transendensi-Nya! Tidak lagi was-was, mengabaikan rasa gentar, bahwa Yesus tetaplah Raja yang memiliki kuasa absolut!

Desember membawa kembali peristiwa kelahiran Raja Yesus, Raja yang sangat merendahkan diri, bahkan sampai mati di kayu salib. Hanya karena curahan darah-Nya, kita leluasa menghampiri Sang Raja. Lalu bagaimana hidup kita selama ini di hadapan Sang Raja? Apakah Yesus adalah Raja yang kita layani dengan gentar dan penuh kasih, atau …?

Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda. (Za. 9:9)

Vik. Maya Sianturi Huang

Wakil Koordinator Bidang Pendidikan Sekolah Kristen Calvin