Apa yang terpikirkan ketika Anda membaca judul di atas?
Cobalah direnungkan sejenak sebelum melanjutkan membaca.
Tepat di bulan November yang lalu, di kelas Sejarah Indonesia yang saya ajar, kami membahas Masa Revolusi 1945-1950. Salah satu topik penting yang dibicarakan pada masa tersebut adalah Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Di dalam bukunya, Sejarah Modern Indonesia, M. C. Ricklefs menulis bahwa Surabaya menjadi ajang pertempuran paling hebat selama revolusi sehingga menjadi lambang perlawanan nasional. Sedikitnya 6.000 rakyat Indonesia gugur dalam pertempuran tersebut. Alih-alih menakuti rakyat Surabaya dengan ultimatumnya, justru pihak Sekutu dan Belanda yang terkejut melihat keberanian dan pengorbanan rakyat Indonesia.
Keberanian untuk mengorbankan diri tentu akan mengejutkan banyak pihak. Belakangan ini dunia sedang dikejutkan dengan berbagai aksi terorisme bom bunuh diri. Apa sih yang membuat aksi tersebut menjadi menakutkan? Berani mati, mengorbankan diri! Mengenaskannya, hal itu dilakukan dengan membunuh orang lain, demi mendapat sorga, katanya. Poin yang ingin saya garis bawahi adalah signifikansi pengorbanan, yang puncaknya adalah memberikan nyawa.
Mengapa tindakan pengorbanan bisa begitu menggugah? Mungkin karena tindakan ini terkait dengan tradisi ritual mempersembahkan korban yang memang dapat dijumpai hampir di semua agama. Kata sacrifice sendiri dipinjam dari bahasa Latin yang berarti melakukan sesuatu yang sakral atau kudus. Makna sacrifice atau korban secara umum adalah satu tindakan untuk membangun, memelihara, atau memulihkan relasi manusia dengan yang sakral. Mungkin karena hal-hal itu pengorbanan selalu menarik perhatian.
Kita sudah memasuki bulan Desember. Perayaan Natal sudah dimulai. Kita diingatkan kembali akan kedatangan Sang Ilahi, Allah sejati yang menjadi manusia sejati. Dia datang untuk menjalani hidup yang sampai mati menjadi korban pendamaian antara Allah dengan umat-Nya. Tidak ada sacrifice yang lebih mengejutkan sejarah daripada Allah yang menjadi manusia dan mati disalibkan! Lebih tepatnya, tidak ada yang dapat menandingi korban Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Sepatutnya setiap orang terdorong datang pada-Nya, karena itulah satu-satunya pesona termulia, pengorbanan Anak Manusia (Gal. 3:1).
Tidak mengherankan jika kemudian Yesus, Anak Domba Allah itu, mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa jika mereka ingin mengikut Dia, itu berarti siap untuk menyangkal diri, memikul salib, dan rela kehilangan nyawa! Menggemparkan, bukan? Tentu! Lihat saja bagaimana murid-murid Kristus menjungkirbalikkan dunia! Dengan apa? Dengan menyangkal diri, memikul salib, dan rela kehilangan nyawa mereka. Tindakan sakral yang berbanding terbalik dengan terorisme.
Menjelang Natal ini, apakah Anda sudah memikirkan kembali sejauh mana Anda rela mengorbankan diri bagi kemuliaan-Nya? Soli Deo gloria.
Vik. Maya Sianturi Huang
Wakil Koordinator Bidang Pendidikan Sekolah Kristen Calvin