Tidak terasa perayaan Jumat Agung datang lagi di awal bulan April ini. Jumat Agung adalah hari yang sangat penting dalam kehidupan orang percaya. Jika perayaan Natal bisa dilakukan sepanjang bulan Desember, Jumat Agung diperingati hanya satu kali. Karena itu sayang sekali, jika perayaan Jumat Agung ini berlalu tanpa sebuah refleksi diri di hadapan salib-Nya.
Berkaitan dengan peringatan Jumat Agung, saya ingin mengajak pembaca merenungkan sebuah istilah yang kerap di sebutkan di Surat Roma, dikaiosune. Apa itu dikaiosune? Istilah bahasa Yunani ini sering diterjemahkan sebagai kebenaran. Terjemahan ini tidak terlalu tepat, karena arti yang lebih pas adalah keadilan (justice) atau pembenaran (righteousness). Di dalam Surat Roma, Paulus menjelaskan bahwa orang Yahudi tidak dapat membenarkan diri mereka di hadapan Allah berdasarkan “perbuatan baik” (baca pembenaran diri). Saya percaya, sebagian besar kita paham akan hal itu. Tetapi pernahkah kita terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut mengenai hal itu?
Kita tahu bahwa manusia tidak diciptakan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Allah, Sang Pencipta. Bahkan di antara semua ciptaan, manusia mendapat perlakuan khusus. Satu-satunya makhluk yang dijadikan segambar dan serupa dengan Sang Khalik. Untuk apa? Untuk dapat berelasi dengan Allah, bahkan dalam sebuah relasi yang sangat eksklusif layaknya suami dan istri. Coba kita pikir sejenak. Jika Tuhan adalah Allah yang kudus dan benar, maka dalam relasi ini, Ia akan membuat sebuah standar yang menjadi perjanjian yang harus dijalani bersama. Hal ini bukan sebuah tuntutan apalagi penindasan, tetapi suatu pernyataan cinta yang sempurna, keadilan yang tertinggi. Bukankah cinta sepatutnya memberikan yang terbaik?
Sayangnya, manusia melalui wakilnya Adam menolak standar tersebut dan memilih mengandalkan nalarnya yang terbatas. Bukannya memercayai kesempurnaan cinta-Nya yang adil, manusia menolak kemurahan-Nya. Tidak mengherankan jika penolakan ini adalah sebuah pernyataan dan tindakan ketidakadilan yang paling tidak adil. Mengapa? Pertama, manusia tidak adil terhadap Pencipta-Nya karena menolak standar-Nya yang sempurna. Kedua, manusia merendahkan dirinya sendiri karena menolak standar mulia yang diberikan-Nya. Manusia lebih menyukai standarnya yang rendah yakni pembenaran diri. Tragisnya, tidak ada manusia yang dapat melepaskan diri dari perbudakan yang bernama pembenaran diri itu.
Peristiwa Jumat Agung adalah sebuah proklamasi keadilan Allah yang tak ada taranya. Lewat Yesus yang disalibkan karena ketidakadilan manusia, Allah mengumandangkan satu panggilan terindah, pembenaran dari Allah, dikaiosune. Sudahkah Anda melepaskan pembenaran diri sendiri dan menerima pembenaran Allah? Percayalah, meski penerimaan ini satu kali untuk selamanya, namun dalam perjalanan sejarah hidup Anda dan saya, kita harus terus memerangi musuh yang bernama pembenaran diri.
Melalui momen perayaan Jumat Agung dan Paskah, mari kita melakukan evaluasi diri di hadapan Salib-Nya: seberapa sering dalam keseharian hidup, kita menolak pembenaran Allah dan berpaling pada pembenaran diri? Kiranya Salib Kristus makin menarik kita untuk makin melepaskan pembenaran diri dan berpaut hanya pada pembenaran Allah …
Selamat Paskah!
Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin