Apa yang muncul di dalam benak kita ketika kita mendengar kata “standar”? Di zaman ini kata standar sering menyandang pengertian yaitu sesuatu yang biasa-biasa
saja. Misalnya ada orang yang bertanya kepada Anda, “Bagaimana film yang kamu tonton tadi?” Lalu Anda menjawab, “Yah, standar film Hollywood. Gitu deh…” Di sini arti memenuhi standar adalah hal yang biasa saja dan bisa jadi kurang memuaskan. Standar sendiri seharusnya berarti patokan, tolak ukur. Dalam bahasa Yunani Kuno disebut kanon atau tongkat pengukur.
Standar adalah sesuatu yang sangat esensial. Tanpa standar kita tidak dapat menilai atau mengukur sesuatu apakah hal itu benar dan bernilai. Standar itu menentukan bahkan kehidupan manusia. Namun dalam hidup manusia berdosa dan dunianya yang sudah tercemar, standar bersifat relatif bahkan subject to change. “Uniknya” sepanjang sejarah kita tetap dapat menemukan benang merah dari standar kebenaran dan kebaikan dalam peradaban manusia. Theologi Reformed memahaminya sebagai anugerah umum.
Saya tertarik membicarakan urusan standar karena khotbah Steven J. Lawson yang berjudul “Legacy of John Calvin”. Di situ Lawson mengatakan ada 3 warisan yang ditinggalkan Calvin. Pertama, standar theologi. Kedua, wawasan Kristen (Christian worldview), dan ketiga, pengaruh internasional. Ketiga warisan ini tentunya menjadi bagian yang tidak terpisahkan, meski dapat dibedakan.
Mari kita simak warisan yang pertama dan yang paling penting yaitu standar theologi. Warisan pengajaran firman Tuhan dari John Calvin, sang Reformator yaitu Institutes of the Christian Religion – magnum opus alias mahakaryanya – berikut 46 kitab tafsiran dari Kitab Suci telah menjadi standar theologi. Artinya Anda dapat menguji kesehatan theologi Anda dengan mempelajari buku-buku Calvin. Cobalah untuk membaca Institutes. Rada mumet memang karena struktur bahasa Inggris yang digunakan, tetapi sebetulnya tidaklah sesulit yang kita bayangkan waktu membacanya. Di buku itu Anda akan menjumpai kesungguhan seorang yang mengasihi firman Tuhan dan sesama. Dengan saksama dan sepenuh hati, Calvin berusaha menjelaskan ajaran-ajaran Kitab Suci agar tidak menyimpang dari pengajaran para rasul dan nabi serta Bapa-bapa Gereja yang pada intinya adalah kehidupan yang memuliakan Tuhan. Tidak heran jika pengajaran Calvin diaplaus sebagai standar theologi.
Di atas sudah disinggung pentingnya standar, apalagi jika berbicara tentang standar yang merujuk hanya kepada firman Tuhan. Betapa kukuhnya nilai yang dimiliki oleh standar tersebut! Pengajaran Calvin menjadi warisan sejarah gereja yang tak ternilai karena mengacu pada Standar Kebenaran yang sejati yaitu firman Allah.
Dalam hidup yang hanya satu kali ini apakah Anda pernah memikirkan standar kehidupan seperti apa yang ingin Anda jalani? Sebagai orang percaya, apakah Yesus dari Nazaret – Allah yang menjadi manusia – yang menjadi patokan kemanusiaan kita? Alih-alih berjuang dalam anugerah untuk bertumbuh kita malah berkilah dengan alasan aneh, “Ahh, saya bukan Yesus!”
Saat merenungkan soal standar, di benak saya muncul ingatan pada mantan gubernur Jakarta yang saat ini ada di penjara. Beliau sudah membuat banyak gusar para pejabat negeri ini karena telah menetapkan satu standar pelayanan seorang pejabat negara.
Jadi bagaimana dengan standar kehidupan Anda dan saya? Apa yang akan menjadi warisan kita bagi generasi yang akan datang? Apakah mereka akan melihat satu standar profesi atau pekerjaan kita yang akan menginspirasi mereka untuk berjuang? Atau adakah mereka melihat satu standar hidup pernikahan Kristen yang kudus yang membuat mereka ingin setia sampai mati kepada pasangan mereka? Atau jangan-jangan hidup kita tidak memenuhi standar lain kecuali standar alay sehingga kata yang terucap dari generasi muda hanyalah, “Ya, sudahlah…” Let’s think about it seriously!
Ev. Maya Sianturi Huang
Kepala SMAK Calvin