Ketika aku mengamati Alkitab dengan lebih teliti, kulihat sebuah buku yang ditulis begitu banyak orang, dari berbagai zaman dan tempat. Aku juga menemui keragaman bentuk sastra dan genre. Sebagian menceritakan narasi, sebagian yang lain penyanyi, yang menulis puisi dan prosa musikal yang penuh dengan luapan emosi, beberapa menguraikan dan mencatat peraturan-peraturan dan hukum dengan akurat, beberapa berupa amsal dan kalimat-kalimat hikmat, dan yang lainnya berupa surat-surat. Beragam genre ini adalah buah tangan sejumlah penulis yang kepribadiannya masuk dan tercermin secara penuh dalam tulisan mereka. Keunikan setiap karakternya nyata dan bahkan tidak pernah ditutupi sedikit pun. Jelas buku ini, yang kupercaya bukan buku biasa, menjunjung kapasitas manusia dalam segala kekayaan dan kerumitannya; keanekaragaman karakter, gaya sastra, dan emosi penulis, serta perbedaan waktu penulisannya yang secara total memerlukan lebih dari seribu tahun, semuanya terkandung dalam satu buku.
Dengan imanku aku juga melihat Alkitab sebagai tulisan Allah—Alkitab mengklaim sebagai firman Allah sendiri, bahwa “nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (2 Pet. 1:20-21). Aku percaya akan hal ini, karena tidak ada bukti yang lebih tinggi daripada kesaksian Allah sendiri tentang Alkitab; jika Allah berkata bahwa Alkitab adalah firman-Nya, sesungguhnya tidak kuperlukan alasan lain. Seluruh Kitab Suci diinspirasikan oleh Allah sendiri, namun ini tidak berarti sama seperti karya-karya musik Bach atau drama-drama Shakespeare dikatakan terinspirasi. Arti inspirasi di sini bukanlah sesuatu yang ambigu, melainkan sesuatu yang luar biasa. Kata ‘inspirasi’ secara literal berarti ‘dihembuskan’ (dari mulut Allah). Alkitab ditulis oleh Allah. Allah adalah Penulisnya.
Karena itulah aku mengira bahwa diperlukan suatu cara spesial untuk mengerti Alkitab kalau memang Alkitab adalah firman ilahi. Akan tetapi kemudian aku juga menyadari bahwa pemikiran ini tidak begitu logis. Kalau Tuhan adalah Tuhan, Ia pasti mampu berbicara dalam cara yang sama sekali tidak ambigu dan membuat diri-Nya dimengerti dengan kejelasan yang gamblang. Firman ilahi tentulah tidak memerlukan telaah lebih jauh makna-makna yang tersembunyi di dalamnya. Firman yang diucapkan Allah sendiri pastilah diucapkan dengan kejelasan yang sempurna dan menyeluruh. Sebuah buku ilahi, dengan demikian, tidak akan memerlukan interpretasi. Namun, Alkitab juga ditulis oleh manusia. Alkitab perlu interpretasi justru karena penulis-penulis manusia dilibatkan, dan bahasa manusia sudah pasti terbatas dalam menyampaikan makna. Bahasa, bagaimana pun jelasnya, tidak dapat menjelaskan hal-hal di balik bahasa itu sendiri. Ketika aku membaca sepucuk surat seseorang yang ditujukan kepada kekasihnya, misalnya, bagaimana mungkin aku, sebagai pihak ketiga, mengerti surat itu sejelas penerimanya, jika aku hanya mengandalkan pengertianku akan apa yang tertulis di atas kertas?
Mengetahui ketidakstabilan, kerapuhan, dan ketidaksetiaan manusia, aku tidak dapat mengerti bahwa manusia benar-benar dipakai Allah dalam penulisan firman-Nya. Jika Ia berkenan memakai orang-orang yang lemah dan terbatas untuk menuliskan firman-Nya, itu hanya menunjukkan betapa kaya dan relanya Tuhan kita. Manusia bukan dan tidak pernah merupakan penulis ideal. Secara pribadi, aku sadar sekali bahwa aku tidak dan tidak akan pernah memiliki kesadaran yang sempurna mengenai diriku sendiri. Karena itu dalam beberapa kasus tertentu aku mungkin mempunyai maksud-maksud yang tidak kusadari selagi aku menulis. Dalam kasus yang lain, aku mungkin menulis sesuatu yang tidak kumaksudkan. Aku mungkin juga mempunyai maksud yang berbeda-beda kalau aku menulis sesuatu pada waktu yang berbeda. Kadang-kadang aku sengaja memilih keambiguan. Juga, setiap kali aku menulis sesuatu aku membawa latar belakang dan sejarahku sendiri, aku selalu punya prasangka, yang berupa kumpulan presuposisi yang aku bawa, dan lain-lain. Aku bukanlah tabula rasa. Jika aku bisa mencapai tabula rasa, aku akan menghapuskan segala sesuatu yang ada padaku, termasuk keberadaanku.
Jika beberapa orang seperti aku berkumpul, akan terjadi kemajemukan lapisan pengalaman—identitas, budaya, psikologi, etnis, dan atribut-atribut biografis dan pribadi yang lain. Ketika kumpulan lapisan pengalaman dalam waktu dan tempat tertentu ini bergerak melewati waktu dan tempat dalam sejarah, kumpulan ini terus-menerus dimengerti dalam cara yang berbeda.
Aku rasa—karena alasan-alasan itu—pantas kalau orang lebih menekankan kemungkinan keterpecahan, celah-celah, pertentangan, dan interupsi dalam mengerti realita. Justru ketidakpastian dan absurditas inilah yang dijunjung oleh karya-karya sastra zaman sekarang sebagai puncak keindahan. Orang zaman sekarang sepertinya lupa bahwa sebenarnya jauh lebih mudah membuktikan suatu karya yang penuh kontradiksi daripada membuktikan suatu karya yang koheren dan tidak bersalah; jadi apa yang mereka banggakan adalah kesia-siaan yang tak berdasar. Koherensi menurut definisinya justru suatu area di mana kebanyakan teks gagal mencapainya. Karena itulah, bagi mereka adalah suatu kekeliruan untuk mencoba mengerti arti suatu karya—apa yang tertinggal untuk dikerjakan hanyalah mencerai-berai dan mengobrak-abrik karya itu.
Waktu aku membaca Alkitab, aku tidak dapat menjadi pembaca tunggal. Mungkin gambaran kesendirian telah tertanam dalam di diriku; dan aku menyadari ini absurd. Ketika pengertianku dimiliki oleh orang lain, pengertianku menjadi koheren dalam arti lebih berakar dalam memori bersama dan didukung suatu arus paradigma yang disetujui bersama. Namun ini tidak lain adalah suatu solipsisme komunal, yang berarti sesuatu dapat diketahui dan diverifikasi hanya oleh dan dalam suatu kelompok tertentu. Hal ini menyelamatkan ideku tentang subjektivitas tunggal dan relativisme—tapi hanya sedikit.
Karena itu aku merasakan bahwa pengalaman manusiawi memusingkan dan menyedihkanku. Inilah masalah manusia yang tak terelakkan: tanpa disadari setiap orang tidak akurat dan ia tidak bisa tidak ambigu dan bias. Namun kemudian gagasan tentang inspirasi Allah dalam Alkitab menyentakku. Para penulis Alkitab sendiri memandang Alkitab yang mereka tulis sebagai firman Tuhan, bukan pikiran mereka sendiri. Rasul Paulus menyatakan bahwa kata-kata yang ia tulis adalah firman Allah sendiri. Buku-buku dalam Alkitab yang melintasi waktu dan tempat bersesuaian dengan satu tema sentral, dan alur ini terjalin dalam setiap buku dari awal sampai akhir. Dalam Alkitab ada perspektif tunggal dari Allah sendiri. Ketidakkonsistenan yang tak dapat diselaraskan tidak ditemui di dalamnya. Alkitab adalah sebuah buku yang tidak dirusak oleh ketidakkonsistenan natur manusia—karena Allah adalah Penulis ultimatnya. Kekekalan-Nya melampaui batasan geografis dan waktu, serta sempurna, tidak berubah, dan tidak bertentangan dalam kehendak-Nya. Kesadaran Allah mengawasi maksud-maksud yang mungkin tidak disadari oleh seorang penulis manusia. Ini sudah seharusnya memberiku pengharapan dan keyakinan. Akan tetapi, keyakinanku seharusnya didasari bukan oleh konsistensi objektif melainkan oleh kehadiran Roh Kudus yang meyakinkan, yang memberitahuku bahwa Alkitab adalah firman Allah.
Otoritas Allah saja yang meyakinkan bahwa ada satu kebenaran, tetap dan pasti, betapapun tidak terhitungnya standar-standar manusia. Kehadiran-Nya saja yang menjamin bahwa aku dapat mengetahui kebenaran dan diubahkan olehnya. Providensia dan kontrol-Nya atas dunia adalah apa yang harus kusandari untuk mendapatkan pengertian kebenaran—lebih dalam setiap hari. Di antara umat Allah, Allah yang samalah—dalam semua otoritas, kehadiran, dan kontrol-Nya—yang memimpin mereka dan mendahului semua pikiran mereka agar sesuai dengan pikiran-Nya, yaitu kebenaran.
Menyadari penyelewengan dan keterhilangan manusia, aku harus mengingat hanya dalam Kristus aku menemukan otoritas, kontrol, dan kehadiran total Allah. Hanya melalui karya Kristus, pencarianku akan kebenaran diperkenan oleh otoritas ilahi. Hanya melalui karya Kristus, kehadiran Allah menjadi keintiman yang memberi sukacita. Hanya melalui Kristus manusia berhenti dari dorongan-dorongan berdosa untuk menggantikan otoritas Allah dengan otoritas-otoritas palsu, membuang batasan-batasan kontrol Allah, dan menyembunyikan diri dari kehadiran Allah.
Sungguh sulit untuk mengerti bahwa setiap penolakan objektivitas, setiap pragmatisme empiris, setiap emotivisme subjektif, sebenarnya adalah dosa. Bahkan lebih sulit untuk melihat pikiran dan impresiku sendiri sebagai berdosa. Kesadaran diri yang bersifat otonomi dan kerumitan pikiran dan impresi yang menyimpang sebenarnya berpusat pada karakter dosa. Seluruh keberadaanku dan segala tindakannya memerlukan penebusan.
***
Ketika aku membaca The Tempest karya Shakespeare atau tulisan-tulisan Browning atau karya sastra lainnya, kudapatkan pelajaran-pelajaran kebajikan. Namun, ketika aku memikirkannya, pelajaran-pelajaran itu tetap bersesuaian dengan pandangan dunia dan nilai-nilaiku. Tentu saja, karya-karya ini dapat menantang nilai-nilaiku juga, sehingga aku harus menganggap tantangan itu hanya dari manusia lain yang sama bisa bersalahnya seperti aku. Alkitab berbeda. Tepat karena Alkitab bersifat ilahi—dan hanya karena itu—aku harus membiarkan Alkitab menantang diriku, untuk mereformasi dan menghancurkan asumsi dan nilai-nilai yang paling kuhargai sekalipun. Aku harus membiarkannya ditebus oleh Alkitab yang adalah Firman Allah.
Graciana Dewi Gotama
Pemudi GRII Singapura