,

The Clash of Ignorance

Seorang pemikir Amerika keturunan Palestina, Edward Said, melontarkan tesis “the clash of ignorance” dalam sebuah artikelnya. Tesis ini dimaksudkan untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap tesis “the clash of civilization” dari Samuel Huntington. Menurut Said, pangkal dari masalah kontemporer dunia sekarang bukanlah bentrokan budaya, tetapi lebih tepatnya adalah bentrokan yang diakibatkan oleh keacuhan atau kebebalan dalam memandang kemajemukan.

Saya tidak bermaksud mengajak pembaca untuk memikirkan permasalahan di antara kedua tesis di atas. Jika pembaca berminat untuk mengerti lebih jauh permasalahan tesis Said dan Huntington di atas, silakan melakukan riset dan self study. Apa yang ingin saya tekankan adalah masalah kebebalan atau ignorance. Tesis Said mengingatkan saya akan sebuah informasi yang saya dengar dari sebuah radio swasta.

Sudah menjadi kebiasaan saya untuk mendengarkan acara sebuah radio swasta setiap kali mengarungi kemacetan lalu lintas Jakarta. Dua kali saya mendengar dari radio tersebut tentang penelitian karakter bangsa-bangsa. Dikatakan bahwa sifat bangsa Indonesia yang paling khas dewasa ini adalah ignorance alias tidak peduli atau dalam bahasa yang lebih gamblang: bebal. Perlu contoh? Mulai dari hal sederhana seperti mengantri, baik di depan kasir maupun di jalan. Mengapa menyerobot? Ignorance. Hal yang canggih mungkin adalah para penumpang yang masih bertelepon-ria meski sudah berada dalam pesawat. Tidak peduli apakah seseorang itu berpendidikan tinggi, menengah atau rendah, selalu ada saja yang bersikap bebal. Tidak peduli apakah seseorang itu mengaku Kristen, bukan Kristen, sampai yang tidak beragama sekalipun, selalu ada saja yang bersikap bebal. Bahkan orang Kristen yang mengaku Reformed Injili pun ternyata tidak luput dari sikap bebal ini. Untuk hal ini rasanya tidak perlu diberi contoh karena meminta contoh hanya makin membuktikan kebebalan kita bersama. Lebih baik kita memikirkan bersama apa yang menjadi kebebalan kita selama ini yang sering luput dari pandangan.

Mengapa saya mengangkat topik ignorance dalam ruang Let’s Take Time to Ponder kali ini? Karena sikap ini dapat berakibat fatal. Misalnya? Di dalam zaman Perjanjian Lama, Anda dapat menemukan kasus Uza yang mati karena mengulurkan tangannya pada tabut Allah. Tuhan sadis? Tidak. Karena ada prinsip hukum yang berbunyi demikian: ignorantia juris non excusat yang secara literal berarti “ignorance of the law is no excuse“. Prinsip ini mengatakan bahwa hukum tetap berlaku bahkan bagi mereka yang tidak menyadarinya alias mereka yang bersikap masa bodoh. Masih perlu contoh lain? Pontius Pilatus dapat menjadi contoh klasik. Pada hakikatnya Anda dapat menemukan cukup banyak contoh yang terkait dengan hal ini di dalam Alkitab, di sekeliling Anda, dan… tentu saja di dalam diri Anda sendiri.

Jika demikian, masihkah kita dapat bersikap ignorant?

Ev. Maya Sianturi

Pembina Remaja GRII Pusat

Kepala Sekolah SMAK Calvin