,

The Truth Will Set You Free

Pada dasarnya, kita tidak menyukai kebenaran, bahkan sering kali membencinya. Paulus mengatakan dalam Roma 1 bahwa orang berdosa menindas kebenaran. Wajar tentunya, karena apa yang dimiliki orang berdosa adalah ketidakadilan (unrighteousness). Bahkan wajah-wajah penindas kebenaran itu makin tidak bisa mengelakkan diri lewat tuduhan yang mengerikan–yang tentunya adalah kebenaran–di dalam Roma 3:10-18. Jika Saudara membaca baik-baik bagian firman Tuhan tersebut, Saudara akan melihat gambaran yang sadis mengenai orang berdosa. Hal itu mungkin akan membuat kita bertanya, sebegitu burukkah wajah saya eh orang berdosa? Saya pikir, film-film “Kill Bill” karya Quentin Tarantino yang brutal itu (sampai saya tak berani menontonnya), kalah sadis dengan gambaran di atas.

Jerat dosa itu memang sangat rumit sampai membuat kebenaran sulit terlihat indah, apalagi melegakan dan memerdekakan. Jikalau hasrat orang berdosa adalah menindas kebenaran, itu mestinya berarti kebenaran dilihat sebagai ancaman. Mengapa? Jawaban paling sederhana mungkin adalah karena kebenaran menunjukkan keadaan yang sesungguhnya, yaitu kita adalah orang-orang yang gagal. Pastinya kita tidak suka ketika keburukan kita disingkapkan. Kita tidak suka mengakui bahwa diri kita penuh masalah dan bahkan menjadi salah satu sumber masalah. Bagi saya, hal itu juga alami. Mengapa? Karena kita diciptakan untuk menyatakan kebaikan-kebaikan Tuhan, dan bukan menjadi tong sampah dosa yang buruk dan bau itu! Tetapi mengapa Yesus berkata bahwa jika kita mengenal kebenaran, kebenaran itu akan memerdekakan?

Pertama pastinya karena Yesus, Sang Kebenaran yang mengatakannya. Kedua, Sang Kebenaran ini adalah Juruselamat manusia berdosa yang memampukan kita mengakui keburukan dosa. Mengapa? Karena Sang Kebenaran telah mati untuk ketidakbenaran kita, bahkan bangkit untuk kebenaran kita. Maka kita memiliki keberanian untuk mengakui ketidakbenaran kita, karena akar ketidakbenaran itu telah dipatahkan-Nya di salib. Ketiga, kebenaran yang ditanamkan-Nya dalam diri kita tidak hanya membebaskan kita dari ketidakbenaran, tetapi juga membuat kita berani menerima kebenaran. Kita berani menerima fakta bahwa diri penuh kelemahan, sesama kita juga penuh kelemahan. Kita berani menerima kenyataan yang menyakitkan dengan lega karena ada pengharapan. Pengharapan akan apa? Mari kita merenungkannya sekali lagi!

Vik. Maya Sianturi Huang
Wakil Koordinator Bidang Pendidikan Sekolah Kristen Calvin