Pernahkah kita berpikir, mengapa kita memiliki relasi hate and love dengan transparansi? Mari kita mundur sedikit. Suatu masa di taman di Eden, sebelum berdosa, Adam dan Hawa telanjang. Terbuka sepenuhnya, tidak ada yang ditutupi, dan tidak merasa malu. Mengapa? Karena mereka diselubungi dengan pakaian kemuliaan sehingga tidak ada yang perlu disembunyikan. Tidak ada satu noktah keburukan atau cacat cela. Bahkan Tuhan melihat mereka bukan hanya baik, tetapi sangat baik. Jika Tuhan sudah melihat demikian, apa lagi yang perlu disembunyikan? Hanya ada keindahan untuk ditampilkan dan bukan disembunyikan. Jadi pada satu masa, manusia sangat berani untuk transparan karena hanya ada kebenaran di dalam diri saat itu. Manusia bebas merdeka. Tidak ada yang perlu ditutupi. Tidak perlu mengupayakan satu hal apa pun untuk menutupi kekurangan diri. Tidak perlu pencitraan, tidak perlu segala macam filter untuk memperindah, tidak perlu menghabiskan uang untuk kosmetik dan merek ternama. Manusia sudah sangat baik, mereka tampil terbuka di hadapan Tuhan dan sesamanya! Betapa menyenangkan!
Namun, kemerdekaan bertransparansi ria itu hanya sebentar saja. Kemerdekaan dengan satu batasan yang membuat semua sangat baik itu diterobos. Adam dan Hawa kehilangan semuanya. Mereka menjadi merasa malu dan takut terhadap ketelanjangan mereka. Mereka menutupinya dan menyembunyikan diri dari Tuhan serta sesama. Dosa membuat mereka dan kita kehilangan kemuliaan Tuhan, menjadi buruk, dan tercela. Kita tidak lagi berani terbuka. Kita malu. Kita takut.
Puji Tuhan bahwa Adam dan Hawa tidak diusir dalam ketelanjangan mereka. Tuhan membuatkan pakaian dari kulit binatang, tanda perjanjian anugerah, sebelum mereka diusir dari hadapan-Nya. Namun sejak itu, kita tidak lagi berani transparan, kita cenderung hidup dalam ketakutan akan semua kekurangan kita. Maka tidak heran, kita tidak menyukai transparansi diri, sambil sangat menyukai transparansi diri orang lain. Kita melihat selumbar di mata orang lain, tetapi tidak melihat balok di mata kita sendiri. Anehnya, di zaman pascamodern ini, kita menyajikan transparansi dengan cara yang tidak transparan. Dengan melabelkan kerentanan sebagai hal yang indah, tren dunia berbelok sedikit. Dari menyembunyikan dosa dengan kosmetik, sekarang menyajikan dosa tetapi masih tetap dengan kosmetik pembelaan diri. Tetap tidak transparan!
Injil menampilkan diri dalam sebuah transparansi, ketelanjangan yang sangat mengejutkan melalui salib. Di sana manusia berdosa menjumpai satu Pribadi yang menampilkan murka Allah dan sekaligus cinta-Nya yang ajaib secara transparan! Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan. Lalu mengapa pemandangan itu menjadi batu sandungan dan kebodohan bagi banyak orang? Silakan pembaca yang budiman merenungkannya melalui Amsal 28:13 dan 1 Yohanes 1:8-9!
Lalu bagaimana dengan orang percaya yang hatinya telah diterangi Injil? Seharusnya kita tidak hanya belajar transparan di hadapan Allah, tetapi juga sesama. Komunitas orang percaya mestinya menjadi komunitas yang lebih transparan karena telah mengenakan jubah kemuliaan. Sayang, kadang kita malah menampilkan jubah kebaikan manusia dan akhirnya jatuh dalam kemunafikan. Bagaimana Saudara dan saya menyikapi transparansi di antara sesama? Kiranya Tuhan memberi hikmat kebijaksanaan bagi kita! Soli Deo gloria!
Vik. Maya Sianturi Huang
Wakil Koordinator Bidang Pendidikan Sekolah Kristen Calvin