True Food and True Drink

Apakah yang kau cari dalam hidupmu? Apakah kau menginginkan apa yang ada pada orang lain namun tidak ada pada dirimu? Apakah kau akan bahagia jika kau memiliki semuanya itu? Bahkan sekalipun kau memiliki seluruh dunia, kau tetap tidak akan puas. Hatimu akan terus mencari dan terus merasa kurang puas. Semua orang mencari kasih, memuja kasih, menjalin kasih, menikmati kasih, tetapi kasih tidak pernah sempurna. Tidak ada kasih yang dengan sempurna mengisi kehausan dan kelaparan jiwa manusia. Pencarian akan terus berlangsung dan kehausan akan semakin menjadi-jadi. Mereka mencari di seluruh tempat dalam berbagai bentuk dan menikmatinya dalam berbagai kebuasan dan keliaran, kehausan yang tidak pernah terpuaskan, kehausan yang terus merasakan haus. Kapankah pencarian akan berhenti dan menemukan tempat berlabuhnya?

Berpuluh-puluh tahun usia seorang manusia, tetapi apakah pada usianya yang ke-40 sekalipun, jiwanya masih sama seperti pada usia kanak-kanak? Waktu menumbuhkan fisiknya, tetapi belum tentu waktu menumbuhkan jiwanya. Apakah gunanya hidup jika hanya berputar-putar secara spiral, semakin lama semakin lebar tetapi tidak menuju tempat apa-apa? Hidup manusia secara umum adalah untuk menikmati hidup sebesar-besarnya dalam berbagai bentuk, baik kepuasan materi yang lahiriah maupun kepuasan hati yang batiniah. Memperoleh segala kepuasan dengan cara “work hard, play hard” sekalipun tidak akan memberikan makna hidup, karena tidak memiliki arah dan tidak tahu mau mengarah ke mana. Manusia tersesat, manusia terhilang, manusia tidak tahu mau mengarah ke mana, tetapi manusia harus terus berjalan selama ia hidup meskipun ia tidak tahu ke mana conveyor hidup akan membawanya. Siapakah yang dapat menyelamatkannya? Siapakah yang dapat memindahkannya dari conveyor hidup yang mengarah pada “nothing” ke conveyor hidup yang mengarah pada “Someone”?

Manusia tidak dapat dipuaskan oleh something karena ia bukan something; manusia adalah someone, oleh karena itu ia hanya dapat dipuaskan oleh Someone yang sempurna. Manusia mengetahui apa yang benar, apa yang seharusnya, dan menginginkannya, tetapi apa yang benar, apa yang seharusnya tidak dilakukannya, tidak dapat dilakukannya, dan tidak mau dilakukannya. Sebaliknya dengan semangat yang tak kunjung padam ia melakukan apa yang tidak seharusnya sembari diam-diam menikmatinya. Manusia didorong, disemangati untuk melakukan apa yang dia tahu tidak benar. Ia dibelenggu untuk terus melakukan apa yang salah dan merasakan frustasi karena hal itu. Hati manusia sangat kompleks, di saat yang sama dapat merasakan kebebasan dan keterbelengguan, di saat yang sama menikmati dan menderita, di saat yang sama merasakan kemenangan dan keputusasaan. Siapakah yang dapat menyelamatkannya? Siapakah yang dapat mengangkatnya dari kebingungan dan kekacauan dan memindahkannya pada kepastian dan ketenangan?

Salah satu kenikmatan terbesar manusia adalah makan dan minum. Makan makanan yang enak memberikan kebahagiaan. Oleh karena itu banyak orang rela mengeluarkan uang yang banyak untuk makan di restoran yang makanannya enak, bahkan sampai berburu makanan enak di tempat-tempat yang jauh sekalipun. Tetapi kenikmatan makanan hanya bertahan sekejap, kemudian rasa lapar akan datang kembali dan menuntut untuk dipuaskan. Begitu juga dengan jiwa yang lapar, yang dipuaskan oleh berbagai nafsu dunia dan kenikmatannya, hanya ‘memulihkan’ sesaat dan kembali menuntut untuk dipuaskan. Apakah makanan yang sesungguhnya? Apakah minuman yang sesungguhnya? Di Alkitab kita menemukan bahwa ada true food dan true drink dan barang siapa yang memakan dan meminumnya tidak akan lapar dan haus lagi. Perkataan yang menjadi batu sandungan bagi banyak orang ini dikatakan oleh Tuhan Yesus, “He who eats My flesh and drinks My blood has eternal life … For My flesh is true food, and My blood is true drink” (Yoh. 6:54-55). Bahkan banyak pengikut Tuhan Yesus sendiri meninggalkan-Nya. Tuhan Yesus menantang orang yang mau mengikut-Nya untuk makan daging-Nya dan minum darah-Nya. Ini adalah sesuatu hal yang ‘gila’. Tetapi itu adalah satu-satunya cara supaya jiwa kita hidup, sama seperti makan dan minum adalah satu-satunya cara agar tubuh kita hidup. Jika kita tidak makan daging-Nya dan minum darah-Nya maka kita akan mati.

Tubuh Kristus dikoyakkan dan darah-Nya dialirkan sebagai korban atas dosa. Bukan karena dosa-Nya sendiri karena Ia tidak berdosa, tetapi karena dosa engkau dan saya. Ketika kita makan roti dan minum dari cawan, kita sadar bahwa Kristus mati buat kita, Ia memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan dan darah-Nya untuk diminum supaya kita bisa hidup. Di dalam kematian-Nya kita mati karena dosa-dosa kita, dan di dalam kebangkitan-Nya kita dibangkitkan untuk hidup di dalam Dia. Hukuman atas dosa kita sudah dihakimi dan ditanggungkan pada Anak Domba Allah di kayu salib itu 2.000 tahun yang lampau. Hukuman ditimpakan pada Kristus namun kasih dicurahkan bagi kita. Kasih diberikan kepada kita yang tidak pantas untuk dikasihi, kasih diberikan kepada kita yang adalah musuh Tuhan, yang melawan Tuhan, kasih diberikan kepada kita yang sepantasnya menerima hukuman. Itulah kasih yang sejati. Tidak ada lagi hukuman, tidak ada lagi belenggu dosa, tidak ada lagi hidup yang sia-sia, tidak ada lagi jiwa yang lapar (karena telah dipuaskan secara sempurna oleh true food dan true drink). Pencarian sudah dipuaskan dan menemukan tempat berlabuhnya, perjalanan sudah memiliki arah yang pasti dan dipimpin oleh Roh Allah, jiwanya sudah diselamatkan dan bernyanyi bahagia menuju tempat yang kekal. Itulah yang sesungguhnya kita cari dalam hidup ini. Sudahkah engkau menemukan-Nya, sudahkah sesama kita menemukan-Nya? Adakah kita juga memikirkan keselamatan jiwa orang lain? Indahkah kaki kita seperti tertulis “How beautiful are the feet of those who bring good news of good things!”?

Bagaimanakah kita menghidupi hidup kita yang sekarang? Apakah setiap waktu adalah momen yang ditaklukkan pada pimpinan Roh Kudus? Apakah Roh Allah yang memegang setir kemudi hidup kita dan kita berjalan di belakang, ataukah kita yang memegang kemudi dan kita menuntut Allah memenuhi semua permintaan kita? Ingat, hanya Dia yang tahu jalan menuju tempat kekal itu dan hanya Dia yang sanggup memimpin kita untuk sampai di sana. Apa saja yang sudah kita lakukan selama kita hidup berpuluh-puluh tahun ini? Apakah kita sudah mengerjakan semua tugas yang dibebankan Tuhan kepada kita? Ataukah kita mengerjakan ‘tugas yang lain’ yang sebenarnya tidak diminta oleh Tuhan, atau bahkan tugas yang melawan Dia? Sukses atau tidaknya hidup seseorang dinilai dari seberapa banyak dia mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dalam hidupnya. Selagi masih ada kesempatan, marilah kita berjuang untuk mencari tahu apa yang menjadi tugas kita masing-masing dan mengerjakannya di dalam Dia. Itulah yang menjadikan hidup ini berarti.

Yana Valentina
Redaksi Bahasa PILLAR