Jika boleh dikatakan dan dituliskan, salah satu hadiah terbesar dalam hidup adalah karunia untuk dapat berkata-kata, baik itu dalam bentuk perkataan, pendengaran, tulisan, maupun pembacaan. Kata telah membawa dampak yang tidak bisa disepelekan di tiap perjalanan manusia. Kata memampukan manusia “melihat” suatu kejadian tanpa perlu ada di sana ataupun melihat sesuatu melampaui kekasatmataan, “mendengar” gemuruhnya ombak yang sedang menerjang maupun lebatnya hujan badai yang menerpa, “merasakan” panasnya padang gurun seperti juga dinginnya salju yang melimpah turun, “menghirup” wewangian yang dipancarkan oleh bunga-bunga maupun menusuknya bau busuk yang menyeruak masuk ke seluruh sistem penciuman kita, “membicarakan” segala kegundahan dan kebahagiaan dalam hidup dalam suatu kesunyian diri dengan keramaian kata-kata yang dituangkan dalam suatu kertas putih.
Namun siapakah dia hingga digunakan sedemikian rupa hampir di dalam segala aspek hidup manusia? Siapakah dia hingga mampu memaparkan dan mempertontonkan berjuta warna-warni kehidupan? Siapakah dia yang mampu diolah para pujangga menjadi buah pena yang menawan? Siapakah dia yang mampu mempersatukan selayaknya juga mampu menghancurkan dalam satu seruan? Siapakah dia yang mampu membawa manusia pada masa-masa silam dan sejarah-sejarah; menyingkapkan segala kebodohan dan kegemilangan? Siapakah gerangan dia?
Sederetan kata-kata dapat tidak berarti apapun selayaknya kata-kata dapat sangat berarti, dengan jalinan kata-kata yang memukau, menakjubkan, dan juga memabukkan baik dalam bentuk puisi yang singkat ataupun dalam bentuk sonata yang panjang. “Letter to the World”[1], demikian sebut sang pujangga Emily Dickinson (1830-1886) atas puisi-puisi yang ditulisnya. Bahwasanya kata-kata dapat mempunyai daya pikat yang luar biasa, menjelaskan berbagai misteri dalam hidup dengan bertanya, bercermin, dan bertutur melalui kata-kata yang terus membisik dalam benak.
A word is dead
When it is said,
Some say.
I say it just
Begins to live
That day.[2]
Terlepas dalam segala kedahsyatan dan kehebatan kata-kata, dunia sempat mewartakan suatu bentuk penggugatannya atas penggunaan kata-kata yang berhamburan yang berujung pada tragedi nyata manusia, suatu bentuk pemberontakan atas tradisi yang sudah memfosil dalam kazanah sastra drama yang lazim didengungkan. Samuel Beckett, di dalam banyak karyanya (seperti “Waiting For Godot”, “Krapp’s Last Tape”, dan sebagainya), menampilkan suatu bentuk drama dengan plot yang tidak beraturan, bukan suatu plot drama yang apik layaknya Henry Ibsen ataupun George Bernard Shaw. Di samping plot, hal yang menonjol lainnya adalah minimnya kata-kata, bahwa kata hanya menjadi suatu aspek dalam pelanggengan suatu tragedi dalam hidup manusia; kesalahpahaman karena kata yang dipergunakan, ketidaksinambungan antara kata yang terucap dan perbuatan yang tanpa arti, konyol, dan tanpa guna, serta kegelisahan karena hilangnya tujuan.
Menghidupkan sebuah “tragedi”, yakni tragedi bahasa yang menekankan pada ketidaksatuan tekstual (textual disunity), ketidakpastian arti sebuah kata (meaning is liquid), dan kebenaran itu sendiri tekstual (reality itself is textual)[3], santer dipergunakan, ditonjolkan, dan dipertontonkan oleh para pelaku “Theatre of Absurd”, sebuah gerakan sastra drama yang meminimalkan plot dalam suatu drama dan memekarkan unsur eksposisinya. Ini adalah sebuah kekecewaan atas tragedi yang menimpa sejarah umat manusia sehingga melepaskan diri dari tradisi drama yang telah lama tumbuh di dunia Eropa dengan dominasi tradisi realistik/naturalistik, yang menempatkan teater sebagai basis bagi diksi-diksi eksplanatif dan berlandaskan pada visi objektif tentang kehidupan (yang berporos pada aksioma-aksioma Cartesian, atau model elaborasi Kantian)[4].
Tak luput pula, sejarah mencatat bahwa beragam slogan/platform/semangat idealisme dalam sebaris kata singkat dan untaian yang ringkas mampu membawa, memberi warna baru bagi suatu peradaban ataupun suatu masa yang pernah dihidupi manusia. Sebut saja “God, Glory, and Gospel”, sebuah semangat yang menjadi tolak dasar manusia pada masa tersebut untuk sanggup mengarungi samudera yang begitu ganas untuk mencari dunia baru, meski tidak dapat dipungkiri praktek-praktek yang berjalan hanya membawa penindasan dan bentuk awal kolonialisme yang semakin mengakar dan mengental seiring waktu. Juga “Carpe Diem” yang membawa manusia keluar dari suatu masa yang disebut abad kegelapan yang merundungi Eropa, meski membawa dampak yang tidak terhindarkan yaitu menjurus pada hedonisme.
Siapa gerangan kata itu? Serta siapa yang mampu memahami kata? Dalam bahasa Indonesia yang selalu dibanggakan(?), makna secara denotatif menyebutkan bahwa kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam bahasa, ujar, atau bicara. Sedangkan dalam bahasa Inggris yang jauh lebih dibanggakan, kata (word) berarti pengutaraan sesuatu (brief utterance; remark), janji (assurance; promise), suatu tanda (signal; password), dan perintah (command; order). Lebih ultimat lagi Word adalah firman Allah (the Bible; Scripture; divine intelligence incarnate in Christ)[5].
Jadi, siapa gerangan kata itu? Mengapa dia ada bersama-sama dengan manusia? Mengapa dia begitu berkuasanya sehingga dapat menyatakan sesuatu mewakili manusia dan pengalaman manusia? Lebih lanjut, baik sadar maupun tidak disadari, manusialah sang pelaku sekaligus juga menjadi sasaran yang dituju atas segala macam kata-kata yang hilir mudik dan berseliweran kian kemari. Demikian juga, hanya manusia yang secara fisiologis mempunyai organ-organ istimewa yang mampu untuk memproduksi suara/bunyi-bunyian yang kemudian diberi dan memberi arti, membentuk kata, merangkai kalimat, dan menyusun seluruh gagasan yang bipolar/parsial ataupun utuh mengenai sekitarnya, dirinya, ataupun ide-ide yang berkecamuk di benaknya untuk diutarakan dalam bentuk kata-kata. Manusia yang telah dibekali akal budi berkemampuan untuk berkarya dan terus berinovasi, menemukan dan terus menggali karena dibekali dengan suatu anugerah yang tidak dimiliki mahkluk ciptaan lainnya, sehingga memampukannya untuk membentuk kebudayaan. Manusia yang dibentuk dari debu dan tanah, namun ia dicipta begitu agung dan menempati tempat tertinggi dalam seluruh karya penciptaan, semata-mata karena ia dicipta seturut dengan gambar dan rupa Allah.
Siapa gerangan kata itu sehingga hanya ada pada manusia yang dicipta seturut gambar dan rupa Allah? Inikah kunci dari semua pertanyaan tentang siapakah gerangan kata itu? Ternyata kata diberikan kepada manusia hanya karena manusia dicipta seturut gambar dan rupa Allah. Allah sendiri yang juga berkata (baca: berfirman) untuk menyatakan Diri-Nya. Kata (baca: Firman) yang ultimat dari Allah yang adalah Allah sendiri, the personal Word, Dialah yang menciptakan dunia ini. Tidak mengherankan jika demikian bahwa kata itu begitu berkuasanya, mampu menyatakan siapakah manusia yang berkata-kata, mampu menjelaskan dunia ini, mampu membangun dan menghancurkan sesuatu, karena kata-kata manusia juga merupakan bagian dari keberadaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah, yang tentu saja terbatas adanya. Wahai kata, ternyata engkau bukan sekedar suara yang keluar dari satu mahkluk di dunia ini. Betapa tak terduganya keberadaanmu. Engkau bukan sekedar suara, engkau adalah penyataan dari suatu makhluk ciptaan yang dicipta menurut gambar dan rupa Sang Pencipta langit dan bumi beserta isinya. Tak mengherankan jika engkau mampu melakukan semuanya itu!
Siapa gerangan kata itu kalau begitu, sehingga dia mampu menyatakan diri manusia dan alam dengan benar? Dengan benar? Bukankah Sang Kata (baca: Firman) dan Sang Kebenaran itu adalah Kristus, Anak Allah yang Maha Tinggi? Dialah Kata (baca: Firman) dan Kebenaran yang turun dari surga untuk membawa manusia kembali kepada Penciptanya. Dialah yang mengembalikan manusia sesuai fungsinya ketika dia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah sehingga mampu bukan hanya sekedar berkata-kata melainkan berkata-kata dalam kebenaran karena untuk itulah kita diciptakan. Wahai kata, ternyata engkau begitu agung, bukan saja mampu menyatakan sesuatu tetapi menyatakannya dengan benar karena engkau terikat dalam diri manusia yang harus kembali kepada Sang Kebenaran.
Siapa gerangan kata itu? Semua yang di atas masih belum menjawab satu pertanyaan, mengapa kata tidak ada habis-habisnya di dalam dunia ini bahkan seakan-akan dialah pencetus ide yang tak habis-habisnya baik diucapkan, dituliskan, atau juga dalam pemikiran? Kata (baca: Firman) bukan sekedar teks, tulisan, barisan kata-kata, atau kumpulan tulisan. Dialah Sang Hidup itu sendiri, pernah hidup di atas dunia ini dan akan terus hidup. Dialah Hidup yang kekal itu. Itulah Firman yang hidup dan menghidupkan; menjadi inspirasi para pujangga untuk berkarya, menjadi penentu dalam tiap perjalanan sejarah, dan menjadi Sumber Hidup yang sejati bagi para manusia yang berdosa.
Siapa gerangan kata itu? Pertanyaan ini bisa diteruskan sampai … distop Redaksi(?) Akhir kata, membaca dan mendengar kata-kata yang indah dari buah pena para pujangga adalah suatu kenikmatan untuk melihat keindahan ciptaan budi dan kemampuan manusia untuk memahami diri dan dunia ini. Melihat kata-kata menjadi suatu senjata maupun suatu semangat dalam suatu zaman adalah suatu cara untuk melihat sejarah dan perjalanan waktu dunia ini. Menuliskan segala ide-ide dan pemikiran yang kadang terngiang dalam benak manusia dan merasakan lembutnya atau kerasnya suatu ide yang dilontarkan adalah untuk melihat keunikan, keberagaman, serta kemampuan yang telah ditanamkan dalam wujud ciptaan-Nya yang tertinggi. Serta yang paling utama, kata menjadi cara Allah untuk manusia agar dapat mengenal Penciptanya, mengenal dirinya dan alam yang diciptakan baginya, dalam relasi dengan Sang Kata (baca: Firman) sehingga kata harus dipakai di dalam menggenapkan fungsi dan tujuan ini. Kata dari manusia, baik yang diucapkan, dituliskan, atau dipikirkan, tidak boleh lepas dari Kata yang ultimat yakni Kristus, Anak Allah yang Hidup, karena manusia dicipta seturut gambar dan rupa Allah.
Gita Margareta
Pemudi GRII Pusat
[1] Debra Fried. 1993. Selected Poems of Emily Dickinson.
[2] ibid
[3] Peter Barry. 1995. Beginning Theory; An Introduction to Literary and Cultural Theory.
[4] Benny Yohannes. 2006. Samuel Beckett dan Warisan Absurditas.
[5] Macmillan Contemporary Dictionary, 1979.