Asli, saya terkesima saat membaca artikel John Piper berjudul “Our Deepest Prayer: Hallowed Be Your Name” di situs pelayanannya, desiringgod.org. Satu alinea yang menghentakkan itu berbunyi begini,
The Lord’s Prayer is very true to life in this sense. Life is a combination of spectacular things and simple things. … That’s the way life is.
Saya baru ngeh. Doa Bapa Kami justru membawa hidup berpijak pada realitas sebenarnya. Dalam hidup, kita menginginkan hal-hal yang menakjubkan, yang membuat diri kita terbang ke langit ketiga. Sayangnya, realitas harga cabai yang melonjak, menarik kita berpijak ke bumi, dan kita tidak menghendaki hal itu. Lewat doa yang diajarkan Tuhan Yesus ini, kita diajak untuk melihat perspektif hidup dengan benar. Mari kita mulai dengan memperhatikan dua kelompok petisi yang terdapat dalam doa ini.
Kelompok petisi yang pertama terkait dengan tiga permohonan akan perkara sorgawi, Kerajaan Allah, bahkan pribadi Tuhan itu sendiri. Hal-hal yang membuat kita tercengang dan lupa sejenak akan kesulitan hidup.
Sedangkan kelompok petisi yang kedua terkait dengan tiga permintaan perkara manusia di bumi, hal-hal sehari-hari yang sangat biasa yang kerap menjengkelkan. Urusan mencari nafkah, pekerjaan yang menyebalkan, selisih pendapat yang melukai perasaan, berbagai godaan mulai dari gaya hidup konsumtif hingga perselingkuhan.
Lalu, apa hubungannya kelompok petisi yang pertama dengan yang kedua? Apa urusannya masalah sorga dengan pergumulan sehari-hari kita di bumi?
Sebagai orang percaya, umat pilihan Allah, kita sering menjalani hidup terpecah. Gagal melihat kaitan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani. Celah kaitan antara yang rohani dan jasmani biasanya terlihat saat doa menjadi sumber terakhir. Sudah tidak ada jalan lain, kecuali berdoa, demikian kata kita. Tentu saja hal ini terbalik. Doa seharusnya di urutan paling atas. Hal rohani mendasari hal jasmani, seperti dalam Doa Bapa Kami. Atau lebih tepatnya, Tuhan harus selalu terlebih dahulu. Apalagi Dia adalah Bapa kita. Makin jelas, kan?
Kejadian pasal pertama dibuka dengan proklamasi Allah yang ada sejak semula itu menciptakan langit dan bumi. Jelas urutannya adalah pertama Allah, lalu ciptaan. Yang tidak kelihatan (baca: yang bersifat rohani), disusul dengan yang kelihatan (baca: yang bersifat jasmani atau materi). Konsisten dengan doa yang diajarkan Tuhan, kan? Jika kita melanjutkan sampai pasal kedua, di situ kita menjumpai realitas kehidupan yang utuh. Tidak ada urusan rohani-jasmani yang pecah. Tidak ada dualisme sakral-sekuler. Semua urusan kehidupan adalah urusan rohani yaitu soal ketaatan. Lalu kalau urusannya begitu sejak awal, kenapa kita masih terus memisahkan urusan rohani dari urusan jasmani?
Ev. Maya Sianturi Huang
Kepala SMAK Calvin