Zona Nyaman

Ketika Protestan melanda Belanda, mereka berjuang mempertahankan imannya dari tekanan
Spanyol Katolik, perpanjangan tangan Gereja Roma saat itu. Bahkan pembantaian yang
dilakukan oleh Duke of Alva terhadap rakyat Belanda pun tidak menghilangkan hasrat
mereka untuk kebenaran. Perjuangan selama 80 tahun ini akhirnya melepaskan Belanda dari
penjajahan di bawah Spanyol. Kemerdekaan ini melepaskan Belanda bukan hanya dari
belenggu penjajahan, tapi juga paksaan untuk kembali ke pangkuan Gereja Roma Katolik.

Kini kaum Protestan di Belanda memiliki kebebasan beribadah tanpa rasa takut. Sejak saat
itu, tidak ada lagi “musuh” yang mengancam mereka. Kehidupan politik dan agama
berkembang di bawah pengaruh Protestan, dan menghasilkan budaya yang sangat
dipengaruhi oleh pengajaran Reformed Belanda. Namun, pada saat yang sama kehidupan
tanpa “musuh” ini akhirnya membuat mereka terlena dalam kenyamanan (mungkin mirip
keadaan ketika agama Kristen akhirnya diakui di Kekaisaran Romawi?). Perlahan, kemajuan
budaya, dan kenyamanan mendorong negara-negara Protestan Eropa meninggalkan
kekristenan karena mungkin menganggap kekristenan tidak lagi relevan dengan hidup
mereka.

Di dalam Lukas 12:13-21, orang kaya yang bodoh mengumpulkan harta demi apa yang
diinginkan (ay. 19): “beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah.” Ia
menemukan kenyamanan di dalam keamanan untuk menikmati hidupnya. Kenyamanan itu
justru tidak membuat ia lebih baik, tetapi membuatnya lupa kepada Siapa yang dapat
memberikan jaminan dalam hidupnya.

Jadi apa yang menjadi jaminan di dalam hidup kita sebagai orang Kristen? Zona nyaman
yang kita nikmati, atau sesungguhnya Sumber Hidup itu sendiri? Kiranya kita tidak hilang di
dalam kenyamanan, tetapi justru pada saat nyaman, kita makin giat untuk mengejar Sang
Kebenaran.