Jika berpusat hanya pada keterhilangan si bungsu dalam ‘Perumpamaan Anak yang Hilang”, kita pun akan terhilang dari pesan utama perumpamaan ini. Target utama dalam perumpamaan ini bukanlah orang-orang yang memiliki moralitas yang “melawan tradisi” seperti si bungsu, melainkan mereka yang memiliki sikap dan latar belakang seperti si sulung yang justru sangat taat akan aturan. Perumpamaan yang terlihat singkat ini sebenarnya akan menguji kita mengenai konsep Allah, dosa, dan keselamatan jika kita meninjaunya dengan teliti dan mendalam. Dalam buku ini, Timothy Keller mengupas secara mendalam dan mendetail mengenai perumpamaan anak yang hilang dengan gaya bahasa sederhana, tetapi sangat jelas dan menggugah.
Dosa
Kakak beradik dalam perumpamaan ini melambangkan dua kelompok masyarakat pada hari ini yang sebenarnya tidak senang dengan otoritas Allah. Di sini, Keller menuliskan bahwa perumpamaan ini mendefinisikan ulang arti dosa, yaitu menjadi juruselamat bagi dirinya sendiri dan berpikir bahwa diri mereka tidak memerlukan Tuhan. Hanya saja, jalan menjadi juruselamat itu dicapai dengan dua cara yang berbeda, menjadi sangat buruk sesuai keinginan diri sendiri (si bungsu) atau menjadi sangat baik dalam arti taat aturan (si sulung).
Si bungsu menentang otoritas ayahnya secara terang-terangan. Ia ingin menetapkan jati dirinya sendiri. Kehidupan si bungsu sering kali mencerminkan kehidupan mereka yang suka memberontak terhadap hukum dengan alasan untuk menjadi jati dirinya sendiri. Dengan tidak segan, ia meminta harta warisan yang sebenarnya belum seharusnya ia terima. Pada konteks saat itu, harta itu sangat melekat dengan kehidupan pemiliknya. Dengan demikian, si bungsu seakan-akan telah meminta kehidupan sang ayah dengan tidak hormat.
Berbeda dengan si bungsu, si sulung tidak menentang otoritas ayahnya secara terang-terangan, tetapi dengan jalan menaati semua aturan yang dibuat ayahnya. Dengan demikian, ia berharap bahwa ia dapat mengendalikan ayahnya dan lingkungannya melalui tindakan baiknya. Tidak heran, ketika kehidupan tidak sesuai dengan yang ia telah rencanakan, si sulung akan sangat marah dan kesal kepada ayahnya. Jalan yang ditempuh si sulung melambangkan jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang taat beragama dengan moralitas tinggi, bukan karena mengasihi Allah, tetapi untuk mencapai kepentingan dirinya sendiri. Mereka seperti budak.
Keselamatan
Pertobatan si bungsu jelas dimulai saat ia mengetahui bahwa dirinya tidak lagi memiliki apa pun untuk dianggap layak sebagai anak ayahnya. Pengampunan yang diberikan sang ayah kepada si bungsu memperlihatkan sosok Allah yang pengasih dan pengampun. Pengampunannya sanggup memaafkan dan memulihkan dosa atau kesalahan apa pun, bahkan sebelum kita dapat menunjukkan bahwa kita memiliki potensi untuk bertobat. Di sinilah tergambar konsep keselamatan yang dibawa melalui penebusan Kristus. Kristus tidak mengampuni segala dosa kita karena Ia tahu bahwa kita memiliki potensi untuk bertobat atau sudah membuktikan pertobatan kita, tetapi karena semata-mata kasih dan anugerah-Nya.
“Yesus menunjukkan sang ayah dalam perumpamaan itu, memeluk anaknya dengan penuh kasih sebelum ia sempat membersihkan hidupnya dan membuktikan perubahan hatinya, dan bahkan sebelum ia sanggup mengucapkan pidato pertobatannya.”
Berbeda dengan pengampunan yang diberikan sang ayah, si sulung malah marah terhadap ayahnya yang mengampuni si bungsu. Rasa superior terhadap adiknya telah menjadikan pintu pengampunan bagi adiknya tertutup rapat. Akhirnya, di saat adiknya mendapat pengampunan, si sulung malah terasing dari ayahnya.
Uniknya, pada akhir cerita, perumpamaan ini tidak ditutup dengan sebuah resolusi untuk masalah si sulung. Hal ini dikarenakan penutup ini akan ditentukan dari respons target pendengar perumpamaan ini, yaitu apakah mereka akan menerima tawaran ayahnya untuk masuk ke dalam perjamuan atau tidak.
“Si anak sulung mendapatkan cinta sang ayah bukan karena kebaikannya, tetapi justru kehilangan cinta ayahnya karena ia baik.”
Allah yang Maha Pemurah
Dalam perumpamaan ini, Keller mengupas kemurahan Allah, “the prodigal God”, bukan “the prodigal son”–seakan-akan kemurahan Allah itu “boros”. Allah yang dilambangkan sebagai sang ayah, seharusnya bisa saja murka terhadap respons kedua anaknya. Pada kasus si bungsu, ia berhak marah dan menganggap si bungsu sudah mati karena sikapnya yang tidak hormat; meminta sebagian tanah di saat ayahnya masih hidup sama saja seperti meminta hidup ayahnya. Pada kasus si sulung, ayahnya berhak marah ketika si sulung menolak untuk masuk dan marah terhadap dia. Namun, respons yang diberikan oleh sang ayah begitu mengejutkan. Sang ayah malah “merelakan harga dirinya” untuk berlari dan menerima si bungsu. Konteks pada saat itu: seorang kepala keluarga Timur Tengah yang terhormat tidak patut untuk berlari. Sang ayah menunjukkan perasaannya yang penuh rasa cinta dan sukacita secara terbuka, setelah kehormatannya diinjak-injak dan hartanya dihabiskan. Berbeda dengan cara menyambut si bungsu, sang ayah “merelakan harga dirinya” juga untuk meminta si sulung untuk masuk ke dalam perjamuan dengan tenang dan sabar. Di saat sikap si sulung sangat keterlaluan dengan menegur sang ayah dengan tidak hormat, sang ayah malah meminta kehadiran si sulung dengan lemah lembut.
Di sini, Keller mengajak kita untuk melihat bahwa kasih sang ayah bukan didapatkan oleh perbuatan baik atau potensi untuk menjadi baik dalam diri kita, tetapi karena memang Ia adalah kasih.
“Sang ayah dapat menanggung dengan sabar ketika ia harus kehilangan kehormatannya dan merasakan kepedihan hati karena kasihnya yang ditolak sang anak.”
Zaman Ini
Dalam buku ini, Keller mengupas hati orang-orang yang sama seperti si sulung. Tidak jarang, kita merasa dunia terlalu berantakan karena ulah orang-orang seperti si bungsu. Lebih menjengkelkannya lagi, di saat si bungsu harus ada bersama-sama dengan kita di gereja. Seakan-akan mereka menghancurkan segala idealisme yang coba kita bangun. Kehadiran mereka sering kali membuat kita stres dan bertanya, “Haruskah mereka di sini bersama dengan kita? Mengapa ada orang seperti ini? Tidakkah Tuhan melihat perbuatannya? Sampai kapan begini?” Pada titik ini, sebenarnya yang ingin kita lakukan adalah sama seperti si sulung, membuat pilihan antara “aku yang keluar” atau “dia yang keluar”. Kita marah kepada Tuhan walaupun sering kali kita tahu itu tidak seharusnya. Namun, kita merasa Tuhan sudah keterlaluan untuk menerima orang-orang seperti itu. Dalam buku ini, kita akan ditegur oleh Keller bahwa sebenarnya kita sama berdosanya dengan mereka yang bertindak seperti si bungsu. Bahkan, kita lebih berbahaya dari mereka. Sama seperti si bungsu, kita juga perlu bertobat. Kita perlu melihat kembali motivasi kita dan dengan rendah hati menerima bahwa kita lebih terhilang daripada si bungsu. Kita perlu menerima ajakan Bapa untuk masuk ke dalam perjamuan itu untuk sama-sama diberi keselamatan.
Setelah membaca buku ini, Keller mengajak setiap dari kita untuk melihat kembali kecenderungan hati kita, apakah cenderung seperti si bungsu atau si sulung. Apa pun kecenderungannya itu, kiranya setiap kita memandang kepada kasih Bapa yang selalu terbuka lebar. Kiranya setiap kita dapat berkumpul bersama di dalam rumah Bapa untuk menikmati perjamuan yang Ia sediakan.
Fiona Wijaya
Pemudi GRII Pusat
Judul: Allah yang Maha Pemurah
Pengarang: Timothy Keller
Penerbit: Penerbit Momentum
Penerjemah: Lili Mitra Lazarus
Tahun: 2008/2013
Halaman: 100