Kesederhanaan yang rumit? Entahlah. Saya tidak tahu pasti. Tetapi dalam pergumulan saya sejauh ini, hidup manusia rasanya seperti itu. Secara sederhana, Alkitab menyatakan bahwa manusia dicipta menurut gambar Allah, imago Dei. Secara sederhana, kita dapat menerjemahkan konsep ini dengan mengatakan bahwa manusia memerlukan Allah. Di dalam naturnya sebagai gambar Allah, relasi dengan Allah menjadi hal yang mendasar, yang substansial dalam diri manusia. Setelah itu, relasi dengan sesama manusia. Karena Allah tidak menciptakan Adam seorang diri, tetapi memberikan seorang perempuan untuk menjadi pendampingnya. Lalu di mana letak kerumitannya? Silahkan Anda memikirkannya sejenak dengan melihat ke dalam kehidupan Anda sendiri.
Mari kita lanjutkan. Sejak awal penciptaan, Alkitab mencatat bahwa Allah hanya berelasi dengan ciptaan-Nya yang segambar dengan Dia. Karena Allah adalah pribadi, maka manusia juga sebuah pribadi. Sebagai pribadi, Allah berelasi. Sebagai pribadi, manusia berelasi. Seberapa jauh Anda menyadari fakta bahwa sebagai pribadi yang segambar dengan Allah, kita mengikatkan diri dalam relasi? Tanpa relasi kita menjadi pribadi yang gamang, timpang, bahkan terbuang.
Lalu apa kaitannya dengan judul di atas yaitu The Beautiful Risk? The Beautiful Risk adalah judul buku yang ditulis oleh James Olthuis. Sebagai seorang terapis Kristen, ia tidak hanya mempelajari pendekatan terapi yang ada. Lebih dari itu, ia berusaha mendasari pendekatannya seturut dengan iman Kristen khususnya theologi Reformed. Terlepas dari beberapa kritikan yang melihat kecenderungannya terhadap pemahaman posmodern, usaha Olthuis patut dihargai.
Olthuis memperkenalkan pendekatan relasional yang menekankan relasi yang berbelas kasih dan digerakkan oleh cinta dalam mengenali penderitaan orang lain. Singkatnya, cinta adalah tema sentral buku tersebut. Ia menghendaki cinta menjadi motif dasar seorang terapis dalam berelasi dengan ‘pasien’nya. Hanya saja penjelasannya akan cinta yang menjadi oksigen dalam berelasi tidak terkait jelas dengan karya penebusan Kristus dan kuasa transformasi Roh Kudus. Kedua hal ini tampaknya menjadi asumsi dasar Othuis sehingga ia merasa tidak perlu menjelaskannya dengan eksplisit. Terlepas dari semua itu, buku ini dapat menjadi salah satu referensi yang berharga dalam melakukan terapi Kristen.
Kita semua mestinya tahu mengapa manusia memerlukan terapi, konseling, dan sejenisnya. Karena setelah kejatuhan kita dalam dosa, kerumitan relasi hidup manusia makin berlapis-lapis. Secara sederhana, masalah dalam relasi manusia dikategorikan dalam 4 aspek yaitu relasi dengan Allah, dengan diri, dengan sesama, dan dengan semesta. Kesederhanaan dalam mengklasifikasikan hal ini sesungguhnya diikuti sejumlah kerumitan yang nyaris tidak teruraikan. Di tengah kerumitan ini, Olthuis menyodorkan pendekatan relasionalnya. Sebuah pendekatan sederhana yang beresiko tinggi. Membangun relasi memang indah, tetapi penuh resiko. Resiko untuk ditolak, resiko untuk disakiti, dan resiko lainnya.
Pernahkah Anda memikirkan bahwa relasi selalu disertai resiko? Coba dengarkan apa yang ditulis rasul Yohanes: Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya (Yohanes 1:1). Masih kurang jelas? Mungkin Anda juga perlu melihat-lihat dengan lebih jeli apa yang terjadi dengan relasi Anda dengan Allah, diri, sesama, dan semesta atau membaca buku Olthuis sehingga kita dapat mendiskusikan hal ini lebih jauh…
Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala Sekolah SMAK Calvin