Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu. (Kis. 17:23)
- Kepada Allah yang Tidak Dikenal
Penulis menyukai suasana Natal. Ketika berjalan-jalan ke luar apartemen, penulis mudah menemukan suasana perayaan yang penuh keceriaan dan kehangatan. Mudah untuk melihat canda tawa antar teman serta sanak keluarga dari jendela-jendela restoran. Memperhatikan suasana sedemikian membawa senyum ke bibir penulis. Meskipun di saat yang sama penulis bertanya dalam hati, “Tahukah mereka alasan mereka berbahagia sekarang? Mengertikah mereka makna Natal?”
Mungkin tidak. Lewat khotbah-khotbah Natal dalam gerakan kita, kita sering diingatkan bagaimana Natal justru merupakan salah satu momen ketika orang-orang paling banyak berdosa dan menghina Tuhan. Penulis sangat setuju. Namun, mungkin ada baiknya orang-orang yang tidak mengenal Tuhan pun turut berbahagia dalam Natal. Sudah sepatutnya seluruh dunia bersukacita, sebab dunia telah memperoleh apa yang tanpa sadar mereka nanti-nantikan. Allah telah menjadi manusia.
Cur Deus Homo[1] [2] –yang secara literal berarti “Mengapa Allah Manusia”, atau dalam terjemahan lebih populer, “Mengapa Allah Menjadi Manusia?”–merupakan pertanyaan yang seharusnya diajukan bukan hanya oleh orang Kristen, tetapi oleh seluruh umat manusia. Sepanjang sejarah, umat manusia telah mengajukan begitu banyak pertanyaan penting terkait Sang Sumber, atau Yang Ideal, atau Prinsip yang Universal, atau berbagai istilah senada yang mereka gunakan dalam usaha mereka “mencari” Allah. Setiap zaman diwarnai dengan usaha pencarian yang sama dalam bentuk yang berbeda, karena umat manusia tahu bahwa mereka harus tahu. Ada semacam lubang dalam hati manusia yang tidak mungkin diisi kecuali oleh Allah sendiri. Tetapi tidak semua dari mereka tahu bahwa Allah adalah Allah yang berpribadi. Dan tidak ada dari mereka yang tahu, kecuali mereka menerima ajaran kekristenan, bahwa Allah yang tidak mereka kenal (Kis. 17:23; Yoh. 1:9) telah menjadi begitu dekat dengan mereka. Melalui wahyu umum Allah, secara intuitif manusia tahu bahwa jika Allah ada, maka Ia tidak mungkin sama dengan manusia. Mereka merasakan kecemaran mereka dan sadar bahwa Allah pasti berbeda, meskipun mereka sering kali menekan kesadaran ini (Rm. 1:19-20). Namun ternyata Allah, yang kepada-Nya mereka dengan tepat mengatribusikan sifat-sifat Ilahi dan transenden, menjelma menjadi daging dan diam bersama-sama dengan mereka (Yoh. 1:14). Hal ini sangat asing dan tidak bisa dimengerti. Allah dan manusia berbeda. Allah tidak seharusnya menjadi manusia.
- Sanggahan dan Penghiburan
Pemikiran demikianlah yang umum dimiliki orang-orang non-Kristen pada zaman Anselmus. Anselmus (1033-1109) melayani pada zaman ketika skolastisisme[1] sangat dominan di dalam kekristenan. Di masa itu banyak orang non-Kristen (infidel) menolak percaya bahwa Allah yang agung menjadi manusia. Allah macam apa yang masuk ke dalam rahim perempuan, tumbuh besar lewat makanan dan minuman yang diberikan manusia, bahkan menderita lelah, lapar, sakit, hingga mati disalib di antara penjahat?[2]
Di saat yang sama, perbedaan pendapat yang tajam juga terjadi di antara orang Kristen sendiri. Banyak orang Kristen percaya bahwa dosa membawa manusia ke bawah perbudakan Iblis, dan Kristus membebaskan manusia dengan menjadi tebusan bagi Iblis (Ransom Theory of Atonement). Kita mungkin dengan mudah melihat kesalahan pengertian ini, tetapi tidak demikian dengan orang-orang Kristen di zaman itu. Alkitab zaman itu ditulis dalam bahasa Latin yang hanya dimengerti orang-orang terpelajar. Bahkan kebanyakan orang pun tidak mampu baca tulis dalam bahasa ibu mereka sendiri. Pemahaman jemaat awam akan iman Kristen sangat bergantung kepada eksposisi yang diberikan oleh hamba-hamba Tuhan lokal.
Cur Deus Homo ditulis oleh Anselmus sebagai respons terhadap polemik ini. Dalam prakata dan dua bab awal, Anselmus menyertakan beberapa catatan penting untuk memahami karyanya. Pertama, sanggahan orang non-Kristen yang hendak ia respons adalah sanggahan yang menyatakan bahwa inkarnasi Kristus bertentangan dengan rasio. Nuansa sanggahan ini, dengan penekanannya akan rasio, sangat wajar mengingat pentingnya rasio dalam zaman ketika Anselmus melayani. Kedua, untuk memperkuat bukti bahwa inkarnasi Allah tidak bertentangan dengan rasio, bahkan sesungguhnya diperlukan, Anselmus bersedia menyesuaikan presuposisinya dengan orang-orang yang mengajukan sanggahan. Cur Deus Homo dimulai dengan asumsi bahwa kita tidak mengetahui apa pun tentang Kristus. Terakhir, dan catatan yang menurut penulis paling indah, adalah orang-orang Kristen meminta Anselmus menulis karya ini bukan agar mereka percaya melalui rasio, tetapi untuk makin menikmati pengharapan yang mereka miliki:
“This they ask, not for the sake of attaining to faith by means of reason, but that they may be gladdened by understanding and meditating on those things which they believe; and that, as far as possible, they may be always ready to convince any one who demands of them a reason of that hope which is in us.”[3]
“Hal ini mereka tanyakan, bukan untuk memperoleh iman melalui rasio, tetapi agar mereka disenangkan melalui memahami dan merenungkan hal-hal yang mereka percaya; dan agar, sebisa mungkin, mereka selalu siap untuk meyakinkan siapa pun yang meminta alasan terkait pengharapan yang ada di dalam kita.” (terjemahan bebas penulis)
Cur Deus Homo disusun dalam dua bagian (“book”). Di bagian pertama, Anselmus memaparkan bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa, Allah “harus” menyelamatkan manusia, namun semua cara yang hanya melibatkan usaha manusia tidak selaras dengan sifat-sifat Allah. Di bagian kedua, Anselmus membuktikan bahwa hanya eksistensi yang sepenuhnya Allah sekaligus sepenuhnya manusialah yang dapat menyelamatkan manusia. Anselmus menulis Cur Deus Homo dalam bentuk dialog, di mana seorang tokoh bernama Boso menjadi perwakilan baik orang non-Kristen yang menyanggah maupun orang Kristen yang ingin mendapat jawaban dari Anselmus.
- Allah Harus Menjadi Manusia
Kejatuhan manusia menjadi titik awal dialog Anselmus dengan Boso. Manusia, karya Allah yang begitu berharga, telah rusak karena dosa. Tentunya Allah tidak mungkin membiarkan rancangan-Nya ketika mencipta manusia gagal begitu saja, karena jika demikian, itu berarti antara Allah lemah dan tidak berkuasa, atau Allah Maha Kuasa namun tidak rasional. Maka manusia harus diselamatkan dari dosa dan efek kerusakannya harus dipulihkan. Tetapi kejatuhan manusia diakibatkan oleh ketidaktaatan manusia sendiri, yang dalam kehendak bebasnya memilih untuk melawan kehendak Allah. Ketidaktaatan manusia merusak keteraturan dan keindahan semesta.
Bagaimanakah Sang Bijaksana Ilahi (Divine Wisdom) harus berespons ketika ada kerusakan dalam tatanan yang seharusnya Ia pelihara? Jika Ia tidak menjaga ciptaan-Nya, maka Allah bukan pengatur yang bijaksana. Hukuman menjaga tatanan ciptaan, dan hukuman harus dibayar proporsional terhadap kesalahan pelanggar. Maka manusia berdosa harus dihukum. Namun, Anselmus mengajukan dua pertanyaan penting yang penulis percaya perlu kita renungkan juga. Pertama, “Wahai manusia yang dicipta oleh Allah, yang kepada-Nya engkau berutang bahkan seluruh napas hidupmu, apakah yang dapat engkau berikan kepada Allah sebagai bayaran dosa yang bukan sudah merupakan milik-Nya?” Jika engkau mengakui bahwa segala yang engkau punya dan mampu lakukan adalah hasil pemberian-Nya, termasuk seluruh ketaatanmu kepada Dia (mis. agama) serta perbuatan baikmu kepada sesama (mis. moral), maka engkau tidak memiliki apa pun untuk membayar Dia. Kedua, “Sadarkah engkau akan besarnya beban dosa?” Jika Allah ada di hadapanmu lalu ada seorang lain berkata, “Lihat ke sini,” namun Allah berkata, “bukan kehendak-Ku kamu melihat,” tanyakanlah kepada hatimu apakah ada satu hal pun di seluruh semesta yang membuatmu boleh memberikan satu tatapan itu.
Maka beban dosa terlalu besar–lebih besar dari seluruh semesta. Manusia harus membayar dosa dari milik kepunyaannya sendiri dengan sesuatu yang lebih besar dari seluruh semesta. Tetapi apakah, atau siapakah, yang lebih besar dari seluruh semesta kepunyaan Allah? Hanya Allah sendiri. Manusia harus membayar dosa, tetapi hanya Allahlah yang mampu membayar dosa. Maka tidak ada cara lain untuk menebus dosa manusia. Allah harus menjadi manusia.
- Kehadiran yang Dinantikan Ciptaan
Cur Deus Homo menjadi terobosan penting dalam sejarah doktrin penebusan[4]. Namun, apa yang dinyatakan oleh Anselmus sesungguhnya bukan hal baru. Alkitab berkali-kali menyatakan bahwa Sang Anak Manusialah yang akan menebus dosa-dosa manusia (Kej. 3:15; Yes. 53:5). Terlebih lagi, penebusan dosa manusia bukanlah satu-satunya alasan Allah menjadi manusia. Ada banyak lensa yang dapat kita gunakan untuk menyoroti inkarnasi Kristus. Salah satu alasan lain yang menurut penulis sangat indah adalah bahwa penciptaan belum selesai[5].
Dalam tradisi Reformed, narasi Alkitab sering kali disorot lewat perspektif CFRC: Creation (Penciptaan), Fall (Kejatuhan), Redemption (Penebusan), dan Consummation (Penggenapan). Perspektif ini sangat menolong kita dalam menggumulkan berbagai tema penting, seperti rancangan Allah bagi ciptaan, alasan adanya penderitaan dan kejahatan, karya keselamatan Kristus, hingga pengharapan eskatologis yang memampukan kita berjuang hari demi hari. Namun, pembagian sedemikian cenderung membawa kita berpikir bahwa karya penciptaan sudah selesai di Kejadian 1. Tetapi alam dan beberapa bagian Alkitab seperti berkata lain. Hingga saat ini bumi masih terus berubah bentuk. Pergeseran lempeng tektonik, pembentukan struktur permukaan bumi lewat angin, air, dan gunung berapi, bahkan alam semesta sendiri pun masih terus berekspansi. Di dalam Alkitab, beberapa bagian Perjanjian Lama seolah-olah menggambarkan bahwa Allah seharusnya ada di tengah-tengah umat-Nya. Setelah Allah mencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya, Kitab Kejadian menyatakan bahwa Allah dan manusia berdiam bersama-sama di taman Eden (Kej. 2-3). Tetapi bumi yang Tuhan ciptakan jauh lebih luas daripada taman Eden. Allah kemudian memberi manusia mandat untuk menjadi gambar Allah–representasi Allah sendiri–yang mengelola serta memenuhi seluruh bumi. Maka kehadiran Allah harus memenuhi seluruh bumi. Demikian pula, kisah perjalanan Israel di padang gurun (Kel. 13:21-22; 33:15) serta kisah-kisah terkait Kemah (Kel. 40:34) dan Bait Suci (1Raj. 8:10-13) menggambarkan bahwa Allah ingin hadir di tengah-tengah umat-Nya, tetapi kehadiran-Nya belum sempurna. Hal-hal ini memberi kesan bahwa seperti ada yang terlewat di kisah penciptaan Kejadian 1. Allah belum sepenuhnya hadir di tengah-tengah ciptaan-Nya, dan ciptaan-Nya menantikan Dia seperti seorang yang sakit bersalin (Rm. 8:22).
Dalam perspektif ini, inkarnasi Kristus menjadi jawaban atas penantian ciptaan. Bukan hanya untuk ditebus dari dosa, tetapi juga karena melalui Kristus, Allah hadir bersama-sama ciptaan. Inkarnasi Kristus menandai proses ciptaan yang disempurnakan. Deskripsi Yohanes mengenai Kristus dalam Yohanes 1 (“Pada mulanya adalah Firman”) menggunakan bahasa yang sangat mirip dengan bahasa penciptaan di Kejadian 1 (“Pada mulanya Allah”). Yohanes seolah-olah ingin berkata, “Lihat, inkarnasi Kristus adalah proses penciptaan! Ciptaan yang baru!” Topik ini sangat besar dan mungkin memerlukan beberapa artikel lain, sehingga penulis harus berhenti di sini. Tetapi penulis sungguh berharap makna inkarnasi Kristus dapat kita gali bersama-sama di dalam segala kelimpahannya.
Maka penulis percaya bahwa sudah selayaknya dunia bersukacita saat Natal. Pencarian manusia akan Allah dari zaman ke zaman, karya penebusan dosa, kehadiran yang dinanti-nantikan ciptaan sejak dunia dijadikan, seluruhnya digenapi di dalam Kristus. Wajah-wajah penuh canda tawa yang penulis bagikan di awal tulisan ini–kepada mereka Allah telah memberikan diri-Nya sendiri. Namun mereka tidak mengerti. Mereka tidak mengenal Dia. Ketika banyak orang bersukacita tanpa mengenal Allah yang menjadi manusia, adakah kita bersukacita dalam pengenalan akan Dia? Dan adakah kita membagikan pengenalan ini? Kiranya Tuhan memampukan kita.
Martin Lutta
Pemudi GRII Kelapa Gading
Judul: Cur Deus Homo
Pengarang : Anselmus
Penerbit : CreateSpace Independent Publishing Platform
Penerjemah : –
Tahun : 2016 (republished)
Halaman : 84
Endnotes:
[1] Skolastisisme Abad Pertengahan mengacu kepada tradisi theologi yang mencoba mengorganisasi pengetahuan (“scholarly work”) dari berbagai kebudayaan, agama, dan tradisi dari wilayah-wilayah yang dikuasai Holy Roman Empire (Kekaisaran Romawi Suci, ca. 962-1806). Holy Roman Empire pada zaman Anselmus hidup (abad ke-11) mencakup wilayah yang sangat luas di benua Eropa. Wilayah luas ini terdiri dari banyak wilayah yang lebih kecil yang dihuni berbagai suku bangsa, dan sangat mungkin masing-masing wilayah memiliki tradisi, kepercayaan, serta literaturnya sendiri. Namun kekristenan merupakan agama Holy Roman Empire yang sah. Maka theolog-theolog Kristen pada zaman itu harus berinteraksi dengan kepercayaan dan tradisi pemikiran yang berbeda, yang mayoritas percaya akan adanya Allah namun memiliki ide masing-masing tentang sifat-sifat Allah.
[2] Anselm of Canterbury, Cur Deus Homo, Book I Chapter III.
[3] Ibid, Book I Chapter I.
[4] Louis Berkhof, The History of Christian Doctrines (Banner of Truth, 1996), p. 171.
[5] Catatan khotbah “Delapan Alasan Mengapa Allah Menjadi Manusia: Allah Mau Berdiam Bersama Ciptaan-Nya” oleh Pdt. Jimmy Pardede.