“Apabila kita mengingat kembali saat kita mendapat pertolongan, seringkali mereka adalah teman-teman kita−orang-orang biasa yang ada dalam hidup kita sehari-hari. Kehadiran mereka dalam hidup kita disertai belas kasihan dan cinta kasih. Itulah cara Allah yang sempurna.”- Edward Welch
Saling Berdampingan, buku yang ditulis oleh seorang konselor Kristen Edward Welch ini, menghadirkan realitas yang cukup menjadi perenungan setiap kita yang mengaku sebagai anggota tubuh Kristus: kita adalah manusia yang penuh kelemahan. Artinya, gereja yang merupakan kumpulan anggota tubuh Kristus adalah sekumpulan manusia yang penuh kelemahan. Harus diakui, setiap hari ada sederet kesulitan yang hadir dalam kehidupan kita: kelelahan karena sejumlah tugas yang harus diselesaikan, ketidakpastian keuangan atau pekerjaan, kondisi kesehatan yang menurun, dukacita karena kehilangan orang yang dikasihi, relasi yang rentan terhadap pertikaian, dan lain-lain. Namun, jika kita melihat lebih jauh ke dalam firman Allah, kesulitan-kesulitan ini memiliki ruang untuk kita bawa kepada Allah dan kepada saudara-saudara kita sebagai sesama anggota tubuh Kristus.
Mazmur 30:9, “Kepada-Mu, ya TUHAN, aku berseru, dan kepada Tuhanku aku memohon.”
Welch menuangkan dua bagian dalam buku ini yang mengajak kita memaknai kehidupan yang saling berdampingan:
- Kita Membutuhkan Pertolongan
Umumnya setiap manusia tidak suka dengan yang namanya kelemahan, dan kerapuhan. Kita lebih suka terlihat mampu, sehat, dan kuat. Namun, di dunia yang sudah jatuh ini, kelemahan dan kerapuhan adalah realitas yang tidak dapat kita hindari dan perlu diterima. Kelemahan dan kerapuhan akan selalu mengiringi hari-hari hidup kita.
Dalam tahap ini, Welch menguraikan enam bagian untuk kita melihat keadaan-keadaan yang menyadarkan kita akan kebutuhan kita akan pertolongan. Welch berupaya mengingatkan kita terlebih dahulu tentang siapa diri kita. Kita harus menerima fakta bahwa Allah menciptakan kita di dalam keterbatasan. Kita diciptakan untuk bergantung kepada Allah dan sesama. Kebergantungan kepada Allah diawali dengan pengenalan yang benar akan Allah. Pengenalan yang akurat akan Allah, kata Welch, adalah hal yang terpenting, yang paling sehat, dan paling membuahkan sukacita. Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menuliskan, “[A]ku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu. Dan aku selalu mengingat kamu dalam doaku dan meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar” (Ef. 1:16-17). Paulus tahu bahwa kebutuhan hati kita yang terdalam adalah Allah, untuk mengenal Dia dengan benar dan mengikuti-Nya. Namun, hati kita terlalu sibuk. Kita mendapati hati kita terlalu luas memberi ruang untuk ketakutan, rasa frustasi, kesedihan, kecemasan, ketidakbenaran, imajinasi yang liar, bahkan keberdosaan kita. Hati yang terlalu sibuk itulah yang membuat kita sulit untuk berbicara, bercerita, dan berseru untuk meminta pertolongan. Hati yang terlalu sibuk itu juga yang membawa kita tidak sadar akan keberadaan Allah, tidak selalu menghidupi pengetahuan tentang Allah, dan tidak selalu mengenali suara-Nya. Kita sadar bahwa kita belum sempurna baik dalam mengenal Allah maupun diri kita. Hati kita tidak akan pernah benar-benar merasa tenang, sampai kita beristirahat di dalam Dia.- Berseru “tolong” kepada Allah
Welch menekankan bahwa kita sangat sulit untuk meminta pertolongan. Padahal Allah memberi kita sarana anugerah untuk berseru kepada-Nya yaitu berdoa. Hal yang sering kali kita abaikan ketika kita berada dalam kesulitan. Hati kita terlalu sibuk mencari solusi atas kesulitan yang kita alami. Kita menutup hati, menyembunyikan diri, dan meragukan kebenaran-kebenaran-Nya.
Mazmur 86:3, “Engkau adalah Allahku, kasihanilah aku, ya Tuhan, sebab kepada-Mulah aku berseru sepanjang hari.
Kita diajak untuk melihat kepada Allah melalui firman-Nya untuk membentuk cara kita berdoa. Kita perlu berlatih berdoa, setiap hari. Kita perlu mendoakan keadaan-keadaan yang kita alami kepada kebenaran-kebenaran rohani. Kehidupan doa yang dibentuk sesuai dengan firman Allah: kita berseru, Allah mengungkapkan isi hati-Nya, belajar tentang Allah dan berseru lagi kepada-Nya, Dia pun akan menyatakan diri lebih banyak lagi, begitulah seterusnya. Dalam doa dan firman-Nya, kita mempunyai ruang untuk berseru tolong kepada Allah. - Berseru “tolong” kepada orang lain
Kesediaan kita untuk meminta pertolongan kepada orang lain adalah syarat untuk kita menjadi penolong yang baik bagi sesama. Dibutuhkan keterbukaan dan kerendahan hati untuk menceritakan pergumulan kita dan meminta pertolongan. Di tengah kesulitan hidup, kita bisa terdengar putus asa dan mengatakan kepada sesama, “Saya merasa tidak dapat berdoa untuk diri sendiri. Saya tidak tahu apa yang harus saya doakan. Tolong doakan saya.” Kita perlu mengakui kelemahan-kelemahan kita.
- Berseru “tolong” kepada Allah
- Pertolongan Kita Dibutuhkan
Ada poin yang menarik yang digambarkan oleh Welch di bagian ini: melihat ke belakang (kita membutuhkan pertolongan) dan melihat ke depan (pertolongan kita dibutuhkan).
Dalam Alkitab, kita menyaksikan Paulus pun mengakui kelemahan dan kebutuhannya akan pertolongan, sehingga dalam suratnya kepada jemaat di beberapa tempat ia menulis, “Saudara-saudara, doakanlah kami…” Welch menekankan bahwa syarat untuk menjadi penolong yaitu ketika kita bersedia menerima pertolongan. Welch sangat detail menguraikan bagaimana seharusnya kita memberikan pertolongan kepada sesama kita yang sedang mengalami penderitaan. Kita perlu belajar bagaimana menjadi saksi Kristus kepada mereka yang sedang putus asa. Namun, Welch juga menantang kita untuk melakukan tindak lanjut. Ketika kita bersedia memberi pertolongan kepada sesama, kita juga perlu menyaksikan setiap pertolongan-pertolongan yang mereka terima, dengan demikian kita makin terlatih untuk tekun dalam doa dan mengucap syukur.
Mengapa Welch menggaungkan panggilan ini justru kepada “gereja” yang mengaku sebagai kumpulan anggota tubuh Kristus? Tentu saja karena di dalam gereja, keberanian untuk berseru minta tolong kepada orang lain dan kepekaan untuk memberi pertolongan bagi orang lain mulai pudar. Membentuk kehidupan yang berbelas kasih itu sangat sulit. Dibutuhkan anugerah dan kerendahan hati untuk mau terbuka, saling berbagi, saling mengingatkan, saling menegur, saling melayani, dan saling mendoakan. Melalui buku ini juga, Welch menawarkan banyak contoh praktikal yang secara bertahap dapat kita gunakan baik dalam meminta pertolongan maupun menjangkau mereka yang membutuhkan pertolongan kita.
Menutup buku ini, Welch mengajak kita melihat kepada teladan agung Yesus Kristus dalam kehidupan-Nya ketika di bumi. Yesus Kristus memperkenalkan suatu era baru yang menjadikan kelemahan sebagai suatu kekuatan baru. Hal apa pun juga yang dapat mengingatkan kita bahwa kita perlu bergantung kepada Allah dan juga kepada orang lain adalah hal yang baik. Yesus adalah Sang Guru, tetapi Ia juga Imanuel, Allah beserta kita; itu sebabnya Yesus selalu makan bersama dengan orang lain dan duduk saling berdampingan dengan mereka. Itulah cara Yesus mengatakan kepada orang yang mengundang-Nya, “Kau adalah umat-Ku. Aku sama seperti engkau dan bisa mengerti cara berpikirmu; engkau pun bisa mengerti cara Aku berpikir.”
Deskripsi Buku
Judul Buku : Saling Berdampingan: Berjalan Bersama Orang Lain dalam Hikmat dan Kasih
Penulis : Edward Welch
Penerbit : Momentum Christian Literature
Jumlah Halaman : xvi + 168
ISBN : 978-602-393-129-3
Triska Leslinar Zagoto
Pemudi GRII Kebon Jeruk