Judul : Keluarga Bahagia
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit : Momentum
Tebal : 125 halaman
Cetakan : Ke-8, Mei 2006
Apakah Anda ingin memiliki keluarga yang bahagia? Banyak orang berusaha memperlihatkan keharmonisan keluarga secara lahiriah, namun jauh di dalam hati terdapat banyak kepahitan antar anggota keluarga. Bagaimanakah caranya memiliki keluarga yang bahagia?
Pdt. Stephen Tong mengatakan hanya ada satu cara untuk memiliki keluarga yang bahagia, yaitu kembali kepada Allah. Allah adalah satu-satunya Sumber Kasih, dan Allahlah yang menciptakan lembaga pernikahan dan keluarga. Apakah kehendak Allah dalam keluarga? Buku “Keluarga Bahagia” adalah buku yang khusus menyoroti kehendak Allah sejak penciptaan, bagaimana Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, kemudian menyatukan mereka untuk seumur hidup dan memerintahkan mereka untuk beranak-cucu. Buku ini juga bersifat aplikatif sehingga kita lebih mudah mengerti dan menerapkan prinsip firman Tuhan ini dalam kehidupan sehari-hari.
Buku ini diawali dengan menjelaskan apa yang menjadi kehendak Allah dalam keluarga. Allah menjadi dasar kedudukan keluarga, sebagaimana “Keluarga Allah” yaitu Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus bersatu dan berkasih-kasihan satu dengan yang lain, maka kita juga berkasih-kasihan dalam berkeluarga. Allah menjadi tujuan keluarga, karena kita diciptakan menurut peta dan teladan Allah, maka tujuan hidup kita adalah untuk menjadi seperti Allah. Allah menjadi dasar kesetaraan pria-wanita, karena Allah yang menciptakan laki-laki sesuai dengan peta dan teladan-Nya adalah Allah yang juga menciptakan perempuan sesuai dengan peta dan teladan-Nya, maka kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Allah menjadi pola ordo pria-wanita, karena Allah Bapa yang mengutus Allah Anak ke dunia dan bukan sebaliknya, dengan demikian pria adalah kepala wanita. Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan bahwa penguasaan diri adalah dasar relasi keluarga Kristen. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk yang memiliki sifat rohaniah dan jasmaniah dalam satu pribadi. Manusia memiliki cinta kasih dan seks, manusia bukan malaikat (mempunyai cinta kasih tapi tidak mempunyai seks) dan manusia juga bukan binatang (mempunyai seks tapi tidak mempunyai cinta kasih), karenanya dalam perjuangan hidupnya, manusia pasti mengalami kesulitan yang besar. Namun demikian bagaimanakah caranya menguasai diri sendiri? Manusia harus menyangkal dirinya dan mengikuti kehendak Tuhan karena seperti yang dituliskan Pdt. Stephen Tong, tidak ada satu pun tindakan kita yang tidak ada hubungannya dengan firman Tuhan dan theologi.
Selanjutnya, Pdt. Stephen Tong menjelaskan tentang alasan pernikahan Kristen. Terlebih dahulu dijelaskan mengapa hidup sendiri itu tidak baik (walaupun demikian, tetap mengulas perihal mereka yang tidak menikah). Manusia diciptakan dalam sifat relatif, sebagai bagian dari keseluruhan, dan untuk menolong serta ditolong, karenanya manusia sebaiknya menikah. Namun demikian, ada banyak alasan seseorang untuk menikah, misalnya karena usia, keinginan orang tua akan cucu, memerlukan seks, ataupun terlanjur hamil. Apakah alasan sebenarnya bagi seseorang untuk menikah? Menikah karena tahu bahwa pernikahan adalah rencana Allah dalam menciptakan manusia.
Dalam kehidupan berkeluarga dikenal: urutan universal yaitu Allah adalah kepala Kristus, Kristus adalah kepala pria, pria adalah kepala wanita, orang tua adalah kepala anak-anak; urutan dalam diri yaitu kebenaran Allah menguasai pikiran, pikiran menguasai emosi, emosi menguasai badan (seks); serta urutan dalam waktu yaitu seseorang dinyatakan siap untuk menikah bukan karena umur, tetapi karena kematangan pribadi.
Apakah mereka yang tidak menikah lebih suci daripada mereka yang menikah? Mengapa Alkitab mengatakan bahwa kita harus penuh hormat terhadap pernikahan? Pdt. Stephen Tong terlebih dahulu menerangkan apa yang menjadi perbedaan antara pernikahan Kristen dan pernikahan non-Kristen dan apa yang sebenarnya disebut dengan “cinta”. Kita seringkali mengatakan cinta, tetapi apa sebenarnya cinta yang sejati itu? Setelah itu dipaparkan bahwa kita harus hormat terhadap pernikahan karena Allah sendiri yang menghendaki pernikahan; karena relasi dalam pernikahan adalah suatu relasi yang paling intim dan resmi, relasi yang “I and Thou” bukan relasi “I and it”; karena pernikahan menuntut kesetiaan dan tanggung jawab yang paling panjang dalam hidup; karena hanya melalui pernikahan sajalah dimungkinkan adanya keturunan; dan terakhir karena pernikahan akan menghasilkan unit masyarakat yang menjadi saksi Kristus.
Laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan sesuai dengan peta dan teladan Tuhan, namun laki-laki berbeda dengan perempuan. Laki-laki lebih mementingkan otoritas, karier, masa depan, dan investasi, sedangkan wanita lebih mementingkan cinta kasih, keluarga, mengingat masa lalu, dan memiliki tabungan. Laki-laki lebih bersifat rasional, menyeluruh, dan analis, sedangkan wanita lebih bersifat emosional, mendetail, dan intuitif. Alkitab mengatakan agar istri mentaati suami dan suami mengasihi istri, di sini ada keseimbangan yang ditandai dengan perbedaan. Kehidupan pernikahan berbeda dengan kehidupan sebelum menikah. Dalam pernikahan, baik suami maupun istri diubah dari yang dahulu penerima, sekarang menjadi pemberi; yang dahulu hanya memikirkan “aku”, sekarang memikirkan “dia bagaimana”; dan dalam pernikahan masing-masing mulai belajar berkorban untuk menjadi satu di hadapan Allah.
Laki-laki umumnya senang ketika dikatakan bahwa ia adalah kepala wanita. Namun apakah sebenarnya arti “kepala”? Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa seorang pria yang diberi hak untuk menjadi kepala keluarga adalah seorang yang diberi syarat dan diperintahkan untuk taat kepada Kristus. Sebagaimana kepala mengatur segala sesuatu dalam seluruh tubuh, maka menjadi kepala keluarga berarti bersedia menanggung risiko dan beban keluarga, memelihara dan melindungi keluarga, memiliki ketangkasan menganalisis dan mengambil keputusan secara tepat di dalam ketaatannya kepada Kristus. Bagaimana dengan istri? Alkitab mengatakan kepada istri-istri untuk taat pada suami, ketaatan ini tidak mengakibatkan ia kehilangan haknya, sebaliknya ia menjadi mahkota suami, dan semua orang menghargai serta menghormati keluarganya.
Bab terakhir mengulas tentang kesulitan-kesulitan dalam keluarga dan kunci kebahagiaan dalam keluarga. Beberapa kesulitan yang dibahas adalah kesulitan karean ketidakseimbangan cinta, misalnya suami lebih mencintai istri daripada istri mencintai suami; kesulitan dalam hal mendidik anak, karena baik suami maupun istri memiliki sistem pendidikan keluarga yang berbeda; kesulitan untuk tetap merasa bersyukur atas pasangan karena pernikahan adalah waktu yang panjang, dan semakin lama kita akan merasa semakin biasa atas anugerah Tuhan; kesulitan karena dunia ini penuh dengan pencobaan, karena itu usahakan agar keluarga menjadi tempat untuk menikmati privacy, keindahan, ketenangan dan kemanisan; kesulitan karena mid-life crisis, baik untuk laki-laki maupun wanita sangatlah penting untuk tetap takut akan Allah; kesulitan karena kita pasti menjadi semakin tua dan adanya kemungkinan jatuh sakit bahkan sakit yang berkepanjangan; kesulitan ketika mengalami perubahan status ekonomi. Beberapa hal kecil namun penting yang menjadi kunci kebahagiaan yaitu masing-masing memperhatikan penampilan untuk kenikmatan pasangannya, bukan untuk orang lain; menjaga perkataan, jangan sampai di masa depan menanggung akibat dari perbuatan di masa lampau; menghormati pasangan dalam “I and Thou relationship” bukan memperalat pasangan; jangan membiarkan adanya pribadi ketiga yang turut campur dalam kehidupan keluarga; dan yang terakhir adalah senantiasa memikirkan kebahagiaan keturunan di dalam takut akan Tuhan.
Yana Valentina
Pemudi GRII Pusat