Modern Art and the Death of a Culture

Something is happening here, but you don’t know what it is, do you Mr. Jones?[1]

  1. Manifestasi Roh Zaman

Seni modern[2] memiliki tempat istimewa di hati penulis, sebab seni inilah yang memaksa penulis mengaitkan banyak hal yang rasanya bertolak belakang: keindahan (beauty) dan keburukan (ugliness), pengharapan dan keputusasaan, iman Kristen dan hidup. Banyak dari kita dididik untuk mengapresiasi seni Kristen yang ‘agung’—seni yang menyatakan kelimpahan kebenaran Alkitab lewat media yang sarat akan keindahan. Secara pribadi, penulis mendapati mudah untuk mencintai seni yang sedemikian. Pesan yang disampaikan bergema dengan apa yang penulis percaya, dan keindahan medium yang digunakan menolong penulis menyerap pesan tersebut[3].

Bacon, Head VI (ca. 1949).
Image courtesy of wikipedia.org

Tetapi rasanya tidak demikian ketika penulis berjumpa dengan seni modern. Estetika yang ditampilkan sangat berbeda. Hati dan pikiran penulis secara instingtif menolak memandang seni modern, karena karya-karya tersebut seolah-olah dengan sengaja mempertontonkan seksualitas, kengerian, kekejaman, absurditas, dan berbagai elemen lain yang menonjolkan sisi gelap dalam hidup.

Penulis percaya kita semua tidak naif. Kita tahu betul bahwa hidup itu penuh dengan penderitaan dan dosa telah sangat merusak ciptaan. Namun pesan apakah yang seni modern ingin sampaikan? Seni modern seperti sedang menjerit, tetapi penulis merasa jeritannya sulit dimengerti. Ketika sebuah lukisan menggambarkan elemen-elemen gelap tersebut, apakah sang pelukis sedang berusaha menyampaikan pesan penting, ataukah sekadar tantrum layaknya anak-anak yang tidak mampu menerima kenyataan? 

Caravaggio, The Calling of St. Matthew (ca. 1600).
Image courtesy of commons.wikimedia.org    
Picasso, Les Demoiselles d’Avignon / The Young Ladies of Avignon (ca. 1907).
Image courtesy of moma.org

Dalam buku ini, Rookmaaker[4] membukakan satu fakta penting: karya seni, khususnya karya orang-orang yang ‘membelokkan sejarah seni’ di suatu zaman, merupakan manifestasi roh zaman itu (zeitgeist). Pergeseran makna dan medium dalam karya-karya seni yang penting terjadi sejalan dengan pergeseran presuposisi yang dominan dalam pikiran publik. Lewat sudut pandang ini, mungkin tidak berlebihan jika kita mengatakan para seniman adalah juru bicara—bahkan ‘nabi’—bagi zamannya. Kita dapat melihat bagaimana mayoritas orang di suatu zaman memahami realitas melalui cara seniman di zaman tersebut menyatakan realitas.

Namun para seniman tidak selalu menjadi kelompok yang menyuarakan pendapat populer. Menurut Rookmaker, di setiap zaman selalu ada arus-arus kecil dalam sejarah seni, kelompok-kelompok marginal yang kecil secara jumlah dan berbeda dalam cara pandang, namun karyanya bersifat prophetic (kenabian). Sering kali mereka adalah kelompok pertama yang menyelidiki filsafat yang paling memengaruhi zaman, merenungkannya, kemudian menunjukkan ke arah mana zaman akan bergerak jika filsafat tersebut terus dijadikan juru kemudi. Kelompok ini merupakan kaum intelektual dan filsuf yang menyatakan pemikiran mereka lewat karya seni.

Kelompok kedua beserta karya-karya merekalah yang menjadi fokus pembahasan Rookmaaker dalam buku Modern Art and the Death of a Culture. Dalam buku ini, Rookmaaker melacak filsafat yang menuntun perkembangan zaman lewat kacamata seni visual, dan bagaimana perkembangan itu memimpin kepada lahirnya seni yang penuh kepahitan, nihilisme, absurditas, dan jeritan-jeritan lain yang seharusnya sangat memilukan hati orang Kristen—aliran yang kini kita kenal dengan nama seni modern. Rookmaaker menggambarkan seni modern demikian:

This art is the work of your neighbors, your contemporaries, human beings who are crying out in despair for the loss of their humanity, their values, their lost absolutes, groping in the dark for answers.”[5]

“Seni ini merupakan hasil karya sesamamu, orang-orang yang hidup satu zaman denganmu, manusia-manusia yang menjerit dalam keputusasaan sebab mereka telah kehilangan kemanusiaan, nilai-nilai, serta kebenaran absolut mereka, meraba dalam gelap demi mencari jawaban.” (terjemahan bebas penulis)

Goya, The Dream of Reason Produces Monsters (ca.1799).
Image courtesy of wikipedia.org

Buku Modern Art and the Death of a Culture terdiri dari sembilan bab. Di bab 1, Rookmaaker memulai bukunya dengan menunjukkan bagaimana setiap lukisan merupakan interpretasi sang pelukis atas realitas. Pada bab 2, Rookmaaker membahas bagaimana di zaman Enlightenment,manusia, khususnya mereka yang hidup di negara-negara Barat, mulai memenjara diri sendiri lewat pengagungan mereka kepada rasio. Bab 3-7 membahas pergumulan para seniman yang karyanya bersifat kenabian. Roh zaman ‘memaksa’ para seniman tersebut untuk sedikit demi sedikit menanggalkan kemanusiaan mereka, hingga akhirnya karya mereka menyatakan pemahaman realitas yang sungguh-sungguh bertentangan dengan Alkitab. Di bab 8 dan 9, Rookmaaker mendiskusikan bagaimana orang Kristen seharusnya berespons. Keseluruhan buku ini ditulis dalam sudut pandang tradisi Reformed, namun Rookmaaker tidak segan untuk menelanjangi kegagalan-kegagalan orang Kristen dalam menjalankan panggilan menebus bidang seni.

  1. Realitas yang Terpecah

Proses apresiasi seni, khususnya lukisan, perlu dimulai dengan kesadaran bahwa setiap karya menyatakan kepada kita bagaimana sang pelukis memahami realitas. Saat kita berdiri di hadapan sebuah lukisan, kita memberi sang pelukis kesempatan untuk meyakinkan kita tentang berbagai hal yang ia percaya—pendapatnya tentang Tuhan, alam, kebenaran, moral, serta hal-hal lain yang menurutnya penting dalam hidup. Seorang maestro akan mencoba meyakinkan kita lewat komposisi warna, bentuk, ruang, dan pola yang menggugah hati. Elemen-elemen ini membentuk aspek visual dari lukisan. Namun, aspek yang tidak kalah penting adalah realitas apa yang sang pelukis sedang ajukan kepada kita. Apakah realitas itu benar?

Benar dalam konteks ini bukan berarti sebuah lukisan harus sama persis dengan apa yang dilihat oleh mata. Lukisan sedemikian justru tidak berharga, karena lukisan tersebut tidak berbicara tentang realitas apa pun di luar yang terlihat. Sebuah lukisan dapat menggambarkan langit dengan warna merah darah, namun hal itu benar ketika lukisan tersebut mencoba menggambarkan Hari Penghakiman. Sebaliknya, sebuah lukisan dapat menggambarkan Kristus sebagai manusia, namun hal itu tidak benar ketika lukisan tersebut menyatakan Dia hanya sebagai manusia tanpa natur Ilahi.

Rookmaaker menekankan bahwa setiap lukisan penting menyatakan pendapat yang tajam mengenai kebenaran yang tidak tampak. Di balik setiap warna, bentuk, dan elemen-elemen visual lain dari sebuah lukisan, terkandung pesan mengenai nilai-nilai, kepercayaan, makna hidup, serta hal-hal fundamental lain yang membentuk hidup sang pelukis:

“Art is bound up with the deepest things in life, that it reflects and expresses a particular view on life and its deep ultimate values.” (pg. 170)

“Seni berkait erat dengan hal-hal paling bermakna dalam hidup; ia memantulkan dan menyatakan sudut pandang tertentu atas hidup serta nilai-nilainya yang paling dalam.” (terjemahan bebas penulis)

Maka seorang Kristen harus menyadari tanggung jawabnya ketika ia berdiri di hadapan sebuah lukisan. Perbincangannya dengan sang pelukis, yang ia lakukan melalui proses apresiasi seni, bukanlah perbincangan ringan yang bisa dihampiri tanpa beban hati. Ketika seseorang dengan krisis iman atau eksistensial menghampiri kita untuk bertanya tentang kebenaran, hal yang keluar dari mulut kita bisa menentukan hidup dan mati kerohanian orang tersebut. Demikian pula bobot perbincangan seorang Kristen dengan pelukis besar—lukisan mereka mengajukan pandangan yang tajam tentang realitas, dan kita diminta berespons. Respons kita harus selalu dituntun oleh pertanyaan berikut: apakah interpretasi sang pelukis atas realitas, sebagaimana ditunjukkan dalam lukisan ini, sesuai dengan realitas yang dinyatakan Alkitab?

Rookmaaker menelaah pandangan sang pelukis terkait Tuhan dan kebenaran-Nya di setiap lukisan yang ia bahas. Apabila realitas yang dinyatakan tidak sesuai Alkitab, maka seberapa pun indah dan menggugah lukisan tersebut, lukisan itu tidak benar. Lukisan itu sedang berbohong. Dan tidak ada yang lebih jauh dari keindahan sejati ketimbang kebohongan.

Di titik ini kita memiliki bekal yang cukup untuk mengapresiasi lukisan modern. Seniman modern bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan paling sulit dalam hidup. Apakah Tuhan ada? Bagaimana membedakan baik dan jahat? Adakah realitas di luar sensasi yang kita rasa? Apa itu realitas? Pertanyaan-pertanyaan demikianlah yang digumulkan para pelukis besar—Goya, Monet, Renoir, Gauguin, Van Gogh, Cézanne, Picasso, dan banyak lagi—sepanjang karier mereka, dan karya mereka menyatakan kepada kita jawaban yang mereka temukan. Lukisan mereka membagikan realitas yang mereka percaya. Namun apakah yang mereka katakan benar? Jika Picasso, lewat karyanya “Young Ladies of Avignon” mengatakan bahwa tidak ada moralitas objektif di dunia, sehingga prostitusi tidak perlu ditentang ataupun didukung—itu hanyalah ‘realitas’ yang perlu kita terima—apakah itu benar? Jika lewat menggambarkan salah satu gadis dengan teknik kubisme ia berkata bahwa individualitas manusia harus disingkirkan demi memberi tempat kepada ‘yang universal’, apakah kita harus menerimanya? Jika Gauguin, lewat karyanya “Whence, Wherefore, Whither”, mengatakan bahwa semua manusia akan menghabiskan masa dewasanya dalam kebingungan dan hilang arah, masa tuanya dalam isak tangis, kemudian mati tanpa menemukan baik kebahagiaan maupun damai yang sejati, apakah kita harus percaya? Apakah itu realitas? Bukan, dan kita tidak perlu percaya ataupun menerima apa yang mereka katakan, karena interpretasi mereka bertentangan dengan realitas yang dinyatakan Alkitab.

Gauguin, Whence? Wherefore? Whither? (ca. 1897).
Image courtesy: gauguin.org

Namun kasih Allah, yang Ia anugerahkan secara cuma-cuma kepada kita melalui Kristus, dan yang juga harus kita bagikan secara cuma-cuma, mendorong kita untuk mendengar serta mempertimbangkan apa yang mereka sampaikan. Jawaban mereka adalah jawaban yang seharusnya membuat orang Kristen menangis. Mereka gagal menemukan kebenaran yang utuh dan terpaksa hidup dalam realitas yang terpecah. Beberapa pelukis kehilangan kemampuannya untuk menghasilkan karya besar karena mereka tidak berani menghidupi jawaban yang mereka temukan. Mereka menyadari bahwa ada batas-batas dalam hidup yang tidak boleh dilanggar. Sebagian lain tetap teguh dan secara konsisten melangkahi batas. Mereka terus menghasilkan karya besar sepanjang karier mereka, namun kita melihat bagaimana interpretasi mereka akan realitas makin rusak seiring berjalannya waktu. Lukisan-lukisan mereka makin dipenuhi penderitaan, kekosongan, absurditas, dan kebencian terhadap dunia.

  1. Alasan Kita Berjuang

Kisah kelahiran seni modern adalah kisah tragis yang menceritakan bagaimana manusia yang membuang Tuhan pada akhirnya kehilangan kemanusiaan mereka. Dan ketika tindakan ini dilakukan secara kolektif oleh orang-orang yang berpengaruh di suatu bidang, dunia menyaksikan dengan tercengang bagaimana bidang yang awalnya bersumbangsih besar untuk mendidik manusia mengenal Tuhan, kebenaran-Nya, keindahan, serta kasih yang sejati, berubah menjadi sumber jeritan, kengerian, dan absurditas. Seni modern mengundang manusia untuk mengutuk Tuhan serta dunia ciptaan-Nya.

Maka penulis ‘terpaksa mencintai’ seni modern setelah membaca pemaparan Rookmaaker. Jika tidak mampu mencintai, setidaknya setiap orang Kristen harus memberi telinga untuk mendengar jeritan seni ini. Seni ini adalah ungkapan hati orang-orang yang membuang Tuhan dan kebenaran-Nya dari hidup mereka, kemudian mendapati bahwa kemanusiaan mereka ikut hancur bersama kebodohan tindakan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan Injil. Tetapi Rookmaaker menunjukkan bagaimana orang Kristen, khususnya di zaman modern, gagal berespons atas hal ini. Orang Kristen bukan hanya buta dan tuli terhadap pergumulan zaman, namun dengan sangat memalukan memberi stigma buruk kepada bidang seni.

Penulis tidak mampu mencegah diri memikirkan bidang mana lagi yang telah kita telantarkan. Ribuan, mungkin jutaan orang berteriak membutuhkan Injil di berbagai bidang, namun kebodohan, kemalasan, serta ketidakpedulian kita meninggalkan mereka dalam gelap. Mereka mungkin terpaksa memercayai kebohongan yang zaman ini berulang-ulang bisikkan ke telinga mereka. Mereka terpaksa percaya bahwa tidak ada pengharapan, keindahan, kebaikan, serta kasih yang sejati di dunia ini—realitas yang seharusnya kita hadirkan sebagai orang Kristen.

Namun Rookmaaker menutup bukunya dengan pengharapan. Bukan sebuah pengharapan kosong, melainkan pengharapan yang dijanjikan Tuhan sendiri. Sebab Mazmur 136, ketika mengingatkan bangsa Israel mengenai berbagai perbuatan-Nya yang ajaib di masa lampau, berulang-ulang mengatakan:

            Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!

Dan kita tahu bahwa janji ini masih berlaku, sebab Ia tidak berubah (Mal. 3:6; Ibr. 13:8). Bukan kita yang akan menebus berbagai bidang kebudayaan, Ia sendiri yang akan melakukannya. Namun tugas kita adalah menjadi rekan sekerja-Nya (1Kor. 3:9). Ini merupakan kehormatan sekaligus tanggung jawab besar. Mampukah kita? Pasti, karena bukan kita, melainkan Dia yang hidup di dalam kita (Gal. 2:20). Sebab bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.

Oleh Martin Lutta


Judul               : Modern Art and the Death of a Culture

Pengarang      : H. R. Rookmaaker

Penerbit          : Crossway

Tahun              : 1970

Halaman         : 255


[1] H. R. Rookmaaker, Modern Art and the Death of a Culture (Crossway, 1994), pg. 9. Kalimat ini merupakan potongan lirik lagu Ballad of a Thin Man karya Bob Dylan.

[2] Sejalan dengan Rookmaaker, sepanjang tulisan ini penulis membatasi seni yang dibahas hanya pada seni visual (visual arts).

[3] Pernyataan ini mengasumsikan bahwa media sebuah pesan serta pesan yang dibawanya dapat dipisahkan, namun itu belum tentu benar. Ketika media komunikasi mengalami transformasi radikal di pertengahan abad ke-20, para pemikir penting (seperti Neil Postman) mulai menyadari bahwa media sebuah pesan, yang sering kali dianggap netral dan hanya bertugas ‘mengamplifikasi’ efek pesan, sesungguhnya memengaruhi penerima sama besarnya dengan pesan yang media tersebut bawa. Jika ini benar, maka media adalah pesan itu sendiri. Hingga kini konsep ini masih ditelusuri oleh para seniman kontemporer yang bereksperimen menggunakan bahan-bahan non-konvensional.

[4] H. R. Rookmaaker menghabiskan masa kecilnya di Hindia Belanda (i.e. Indonesia). Ketika menjalani studi doktoral, Rookmaaker bertemu dengan Francis Schaeffer, salah seorang pemikir Kristen paling berpengaruh di Amerika pada abad ke-20. Keduanya menjadi sahabat dekat dan saling membentuk pikiran satu sama lain, sehingga pembaca yang teliti mungkin akan mendengar gema pemikiran Schaeffer dalam tulisan Rookmaaker, begitu pula sebaliknya. Setelah lulus program doktoral, Rookmaker menerima tawaran untuk membangun departemen Sejarah Seni di Vrije Universiteit Amsterdam. VU Amsterdam sendiri didirikan oleh Abraham Kuyper, seorang yang sangat berpengaruh terhadap posisi theologi publik gerakan kita saat ini. STTRII juga menjalin MoU dengan VU Amsterdam, dan beberapa hamba Tuhan gerakan kita memperoleh gelar magister/doktoral dari universitas ini.

[5] H. R. Rookmaaker, Modern Art and the Death of a Culture (InterVarsity Press, 1970). Pg. 136.