Judul : When People are Big and God is Small
Penerbit : P&R Publishing Company
Penulis : Edward T. Welch
Tebal : 242 halaman
Takut adalah salah satu emosi terbesar di dalam hidup umat manusia. Sebagian perasaan takut itu bersifat sekarang dan sementara. Dimulai dari anak kecil yang takut kalau tidur sendirian di kamar yang gelap, kemudian tumbuh menjadi lebih besar dan takut kalau orang tuanya marah. Remaja mulai takut kalau tidak lulus sekolah. Mahasiswa takut kalau tidak lulus dengan nilai baik dan tidak mendapat pekerjaan. Orang yang bekerja takut dipecat ketika krisis ekonomi melanda, lalu takut kalau tidak mendapatkan pasangan hidup yang tepat. Setelah berkeluarga, takut kalau anak-anak tidak menjadi seperti apa yang diharapkan. Setelah menjadi tua, takut mati dan meninggalkan keluarga dan harta di dunia.
Perasaan takut juga ada yang berasal dari luka di masa lampau dan bersifat lebih permanen. Seorang anak kecil yang dibuang oleh kedua orang tuanya dapat menyimpan rasa sakit hati sampai masa dia berkeluarga sehingga takut untuk menerima kembali orang tuanya. Seorang gadis remaja yang dikhianati pacar yang dikasihinya mengakibatkan dia tidak pernah berani lagi untuk berpacaran. Mahasiswa yang ditolak mentah-mentah oleh teman baiknya ketika sedang mengabarkan Injil mengakibatkan dia tidak berani lagi untuk menginjili siapapun.
Dari mana datangnya ketakutan ini? Apa yang menjadi permasalahan yang paling dasar sehingga muncul ketakutan dalam kehidupan manusia? Jawabannya adalah relasi yang rusak. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang ingin berelasi. Sifat relasi ini berasal dari Allah sendiri. Allah adalah Allah yang berelasi di dalam diri-Nya sendiri. Relasi cinta kasih antara Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus inilah yang menjadi dasar relasi antara Allah dan manusia serta relasi antar manusia. Namun setelah manusia jatuh dalam dosa, relasi antara Allah dan manusia terputus. Putusnya relasi ini menyebabkan rusaknya relasi antar manusia.
Manusia menjadi takut kepada orang lain, lebih tepatnya kepada apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain. Orang Kristen juga tidak luput dari masalah ini, baik di dalam hidup sehari-hari maupun di dalam pelayanan di gereja. Mengapa kita melayani? Karena orang lain juga melayani. Kalau tidak melayani, seakan-akan kerohanian saya berada di bawah standar kerohanian yang normal. “Kan orang Kristen harus melayani, yah saya melayani dong.” Di dalam gereja yang sangat mementingkan pengertian theologi yang akurat dan semangat pelayanan yang berapi-api, kita cenderung untuk menghakimi orang yang melayani dan yang tidak. Tidak jarang terdengar pertanyaan-pertanyaan seperti ini: “Kok liturgis tidak datang persekutuan doa?”, “Sudah lama di gereja ini kok tidak ikut penginjilan?”, “Kenapa tidak ikut Persekutuan Pemuda?” Akhirnya semakin banyak jemaat yang berlomba-lomba mengikuti aktivitas di gereja – di mana dua tiga orang berkumpul, di sanalah juga dia – hanya untuk mendapatkan gelar “orang rohani” di mata orang lain.
Paulus mengajar kita untuk mengarahkan rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut (Rm. 13:7). Karena ketika perasaan takut kita mengarah kepada hal-hal yang tidak patut ditakuti, seluruh orientasi hidup kita menjadi kehilangan arah. Kita tidak lagi hidup berdasarkan apa yang Tuhan katakan mengenai diri kita, tapi berdasarkan apa yang orang lain katakan. Kita akan lebih takut terhadap orang lain daripada terhadap Tuhan kita sendiri.
Edward T. Welch, seorang konselor dan profesor di Westminster Theological Seminary, mengatakan bahwa ketika kita takut terhadap orang lain, mereka akan menjadi lebih besar daripada kita, bahkan lebih besar daripada Tuhan. Oleh sebab itu, kunci pertama untuk menghindarkan diri kita dari ketakutan terhadap orang lain adalah dengan mengenal kemuliaan dan keagungan Tuhan. Mengenal hal ini membuat kita tidak lagi takut terhadap orang lain melainkan takut kepada Tuhan. Dan ketakutan kepada Tuhan tidak lagi berdasarkan murka dan amarah-Nya, melainkan karena kita kagum akan anugerah dan pekerjaan tangan-Nya di dalam hidup kita.
Pengorbanan dan penebusan Kristus di atas kayu salib memberikan kita kekuatan untuk meninggalkan dan melupakan masa lampau yang menyakitkan, serta untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Kita tidak lagi hidup berdasarkan status dan penilaian orang-orang di sekeliling kita, tapi kita hidup di dalam status baru yang Tuhan anugerahkan kepada kita. Hidup tidak lagi mencari perhatian orang lain melainkan memberikan perhatian kepada orang lain.
Yesus Kristus berkata, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Welch mengerti kalimat ini di dalam sebuah prinsip, “Need other people less, love other people more.” Ketika setiap anggota gereja merasa bahwa dia memerlukan orang lain, yang muncul adalah relasi yang pasif. Namun saat setiap individu sadar bahwa orang lain perlu dikasihi, relasi yang aktif dan inisiatif pasti muncul dan berkembang. Pertanyaannya, bagaimana saya bisa mengasihi orang lain kalau diri saya sendiri kurang menerima kasih? Kalau begitu, mungkin kita harus berpikir sejenak, apakah kasih Kristus sudah cukup bagi hidup kita? Ataukah kita masih memerlukan sumber-sumber kasih yang lain?
Alangkah indahnya kehidupan di dalam sebuah gereja yang saling mengasihi dan memperhatikan di antara setiap anggotanya! Setiap orang tidak lagi mementingkan diri sendiri, tapi terus mencari apa yang dibutuhkan oleh orang lain. Hidup tidak lagi kosong karena merasa ingin terus diisi, tapi justru ingin terus membagikan kasih yang melimpah di dalam diri kita. Dan sebagai komunitas Kristen yang dipanggil dalam dunia yang berdosa, kita mampu bersatu padu di dalam kasih Kristus untuk bertahan menghadapi ancaman serigala di sekeliling kita, sampai kita bertemu dengan Tuhan sebagai kelompok pelayan yang baik dan setia. Soli Deo Gloria!
Darwin Kusuma
Pemuda GRII Singapura