Homo narrans, manusia adalah mahluk yang bercerita. Segala aspek dalam kehidupan manusia dibentuk dan diinformasikan oleh narasi, mitos, hikayat yang kita teruskan dari satu generasi ke generasi yang lain. David Naugle dalam tulisannya mengenai Narasi dan Kehidupan (1999) menyingkapkan bahwa sentralitas narasi dalam kehidupan dan pengalaman umat manusia bukanlah sesuatu yang baru disadari saat ini. Narasi memiliki kekuatan dalam membentuk kesadaran dan menentukan tindakan manusia. Baik Plato maupun Aristoteles menyadari bahwa narasi memiliki kekuatan untuk mengubah seluruh jalannya sejarah, apa yang menjadi nilai hidup manusia, maupun bagaimana manusia memahami dan merespons seluruh realitas. Oleh karena narasi menyatukan karakter-karakter yang bergelut dengan realitas, berbagai ide dan alur cerita, narasi memiliki kemampuan untuk mementaskan proses berpikir, pertimbangan moral, dan kontestasi kehendak. Narasi dipenuhi kekayaan proses penafsiran yang menuju kepada pemahaman.
Masa postmodern yang melanda peradaban saat ini salah satunya ditandai dengan kebangkitan kembali narasi. Ide bahwa kualitas eksistensi manusia harus kembali ditemukan tidak terpisahkan dari sebuah narasi menyebar dan memengaruhi seluruh proses kebudayaan. Berbagai postulat, klasifikasi, kategorisasi, rumusan dalam segala bentuk manifestasinya mulai kembali menemukan daya tarik atau penggalian maknanya justru ketika disajikan dalam narasi.
Narasi dibutuhkan agar berbagai inti sari pengetahuan manusia yang sudah dirumuskan dengan singkat, padat, dan rapi dihidupkan kembali oleh manusia yang menceritakannya. Dengan manusia yang bercerita, pengetahuan yang sudah baku dan lepas dari asal-usul penemuannya dalam hidup manusia kembali ikut menghasilkan dan mereinterpretasi makna, kembali sanggup mengutarakan nilai hidup, pergulatan benar dan salah, dan pertanyaan akan identitas manusia dalam relasinya dengan sebuah konteks. Hanya ketika rumusan-rumusan itu disatukan kembali dalam bentuk cerita, maka seluruh aspek kehidupan manusia bukan hanya dapat dipahami, namun juga dihidupi. Ketika setiap pengetahuan, postulat, rumusan sehebat apa pun dilepaskan dari konteks cerita di mana ia ditemukan, maka ia tidak lagi memiliki identitas yang berakar pada suatu konteks dan kehilangan kapasitas untuk dapat memainkan peranan dalam hidup manusia maupun komunitasnya.
Narasi adalah bagian dari hidup, tetapi sering kali orang yang hidup didominasi alam pikiran modern melupakan kekuatannya. Kemungkinan besar karena narasi dirasa sebagai bentuk pernyataan yang tidak rapi dan tidak akurat. Narasi juga menuntut pembaca untuk mengerti akan konteks dari cerita, tidak seperti postulat yang lebih aman dari gangguan multi tafsir sebuah cerita.
Alasdair Macintyre menawarkan sebuah cerita yang menghibur untuk menunjukkan bagaimana kejadian tertentu bisa dimengerti hanya di dalam konteks cerita tersebut. Dia membayangkan diri sendiri di halte bus di mana seseorang yang berdiri di sebelahnya berkata, “Nama umum dari bebek liar adalah Histrionicus histrionicus histrionicus.” Anda bisa membayangkan betapa kaget dan bingungnya ia berduaan dengan orang ini. Mengapa? Karena dalam bahasa populer saat ini, apa yang dikatakan orang di sebelahnya di halte bus itu benar-benar tidak nyambung, tidak memiliki konteks apa pun. Tidak ada ujung ataupun pangkal, tidak ada petunjuk sama sekali orang ini sedang mengajak bicara di ranah ilmu biologi, atau ia sedang menceritakan sesuatu, atau apa pun. Meskipun kalimat yang ia ucapkan tadi lengkap, punya subjek, predikat, dan objek, kalimat yang benar secara struktur ini tetap tidak bisa memiliki makna apa pun. Mengapa demikian? Karena tanpa konteks, kalimat tadi tidak ada urusannya sama sekali dengan dirinya. Narasi mempunyai kekuatan, yaitu memberikan ruang bagi kerangka makna yang lebih luas. Dengan demikian, terkadang kita tidak memilih cerita sebagai pernyataan kebenaran, tepat sekali, dikarenakan ruang yang terlalu luas untuk makna.
Manusia yang hidup didominasi alam pikiran modern kadang merasa bahwa proposisi dan postulat adalah pencapaian tertinggi dari pengetahuan manusia. Memiliki kekuatan yang sangat besar dalam pertanggungjawaban proposisi dan postulat seakan lebih memberikan kita kepastian tentang makna, apalagi jika dibandingkan dengan cerita yang bisa selalu berbeda tergantung siapa yang menceritakannya. Proposisi, menurut kamus, adalah sebuah rancangan usulan, ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal dan dibuktikan benar-tidaknya. Postulat adalah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya, sebuah anggapan dasar, sebuah aksioma.
Namun, kekuatan dari proposisi dan postulat juga adalah kelemahannya. Proposisi dan postulat memberikan kejelasan, keakuratan dan kerapian akan makna, namun dia tidak bisa serta merta diterapkan tanpa termediasi oleh konteks realitas hidup yang tidak pernah serapi dan sejernih prinsip yang dirumuskannya. Kita perlu sadar bahwa proposisi dan postulat tidak ditujukan sejak awal untuk mengajak orang menempatkan diri di dalamnya. Justru agar lebih stabil, proposisi atau postulat harus ditajamkan sampai bisa benar, sedapat mungkin tidak dipengaruhi oleh kapan dan di mana rumusan tersebut disampaikan. Hal ini berbeda dengan narasi, yang tidak rapi dan mempunyai kemungkinan melebar ke segala arah. Kekuatan narasi (yang sering dianggap sebagai kelemahan bagi yang membutuhkan rumusan akurat) adalah menyediakan semua perangkat di mana setiap orang dapat menemukan dirinya di dalam cerita yang sedang diutarakan.
Kita ingat bahwa Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya menggunakan berbagai teknik pembawaan pesan. Salah satu kekuatan bentuk pengajaran Tuhan Yesus adalah memberikan kebenaran lewat narasi perumpamaan. Misalnya cerita Tuhan Yesus tentang bendahara dari seorang yang kaya di Lukas 16. Tuhan Yesus menampilkan seorang karakter bendahara yang emosional tetapi cerdik, sebuah karakter yang sebenarnya bukan seorang yang dapat diteladani. Kemungkinan jika karakter ini berada di sebuah film, kita sudah dapat membayangkan wajah aktor yang akan dipilih oleh sutradara. Cerita bendahara orang kaya ini menghabiskan delapan ayat lebih. Di akhir narasi ini, Tuhan Yesus menyimpulkan pesan dari cerita ini yang dimuat hanya dalam dua ayat saja. Mengapa Tuhan Yesus harus menyampaikan narasi terlebih dahulu sebelum memberikan konklusi pesan yang disampaikan? Apakah Tuhan Yesus (atau penulis Injil Lukas) tidak mengetahui bahwa cerita mungkin saja menarik tetapi terlalu besar kemungkinan pendengar dapat menafsirkan lebih liar? Bukankah lebih akurat jika cerita sudah dirumuskan saja menjadi beberapa poin kesimpulan?
Narasi selalu memiliki elemen-elemen yang kaya interpretasi. Kelemahan narasi yang tidak rapi dan seakan-akan bisa ke segala arah adalah juga sekaligus kekuatannya. Narasi bukan deduksi linear, bukan merupakan garis lurus, melainkan nuansa (nuances) yang menyediakan wadah untuk setiap pendengarnya berelasi dengan sisi yang paling relevan dan bermakna terhadap konteks hidup pendengar atau pembaca. Sifat bernuansa ini juga yang menyebabkan narasi bisa menjadi wadah untuk menggali tafsir dan menghasilkan postulat (dalil atau hukum) atau proposisi dari nilai-nilai yang tersusun di dalamnya. Narasi sendiri bukan postulat, bukan proposisi, sehingga tidak dapat dibaca dengan pendekatan secara akurasi, presisi, atau bahkan debat kalimat. Narasi mempunyai perangkat fabula (cara merangkai cerita), plot (alur cerita), dan relasi antara aktor, aktor lain, dan pembaca. Narasi lebih sering digunakan untuk menentukan makna atau refleksi dibandingkan dianalisis habis-habisan untuk menentukan akar katanya.
Narasi harus diterima akan selalu memiliki lebih dari satu versi yang berkompetisi satu sama lain, dia tidak merasa penting dan memang bukan naturnya untuk harus menyisakan satu proposisi yang akurat. Meskipun demikian, tetap saja narasi seakan lebih mudah memperoleh kesetiaan dan partisipasi. Narasi memiliki dua karakter penting menarik. Pertama, narasi sambil bercerita dapat memuja masa lalu, tetapi bukan sebagai bukti-bukti sejarah yang dipatok sebagai objek yang tidak bergerak, melainkan sebagai sesuatu yang bisa dimiliki setiap pendengar, ditafsir ulang dan diimajinasikan kembali. Kedua, narasi memiliki kekuatan energeia (deskripsi yang hidup) yang menarik dengan partisipasi emosi sebagai tujuan akhirnya. Ketika narasi dihadapi dengan penekanan analisis yang berlebihan, daya pikatnya menjadi cermin bagi yang mendengarnya sudah kering dan lenyap.
Narasi memanusiakan pengalaman hidup kita yang sementara ini. Karya-karya fiksi merupakan variasi dari imaji (image), adalah peralatan yang memungkinkan eksplorasi dan eksperimen dengan pengalaman hidup manusia yang sedang berlangsung. Diktum Aristoteles mengenai puisi juga dapat diaplikasikan setara dengan karya fiksi. Karya fiksi lebih mengandung filsafat daripada sejarah, karena fiksi berurusan dengan hal yang lebih universal daripada yang partikular. Fiksi, dengan demikian, adalah bentuk narasi yang sesuai untuk mengeksplorasi kemungkinan hidup dari manusia yang berada di waktu sekarang. Fiksi memungkinkan pengembangan pandangan kita melampaui kenyataan di hadapan kita. Tidak heran bila sebagian besar sistem kepercayaan di belahan dunia mana pun di masa pra-modern selalu tidak hanya berbentuk rumusan atau kumpulan proposisi, namun kumpulan mitos yang dari dalamnya prinsip-prinsip dan rumusan yang diyakini diturunkan.
Untuk merefleksi kritis sebuah narasi, maka kita harus mengerti dan menempatkan narasi pada tempatnya. Narasi mengandung nilai, namun bukan nilai itu sendiri. Narasi mengumpulkan dan menuturkan, sehingga nilai-nilai yang ada dalam kehidupan bisa direnungkan, ditolak, diterima dan diharapkan. Narasi memiliki kekuatan retorika yang dominan di wilayah ethos dan pathos. Pada cerita bendahara orang kaya di Lukas 16, respons dari pendengar tentunya akan memosisikan dirinya sebagai berbagai karakter yang ditampilkan oleh Tuhan Yesus. Tidak mungkin pendengar lalu sekadar mengambil jarak dan menganalisis kumpulan rumus kebenaran Tuhan Yesus. Justru karena kebenaran disajikan dalam bentuk narasi, mustahil tidak memberikan reaksi yang menyingkap nilai diri yang mendengar terhadap narasi yang Tuhan Yesus berikan.
Postulat dan proposisi mempunyai tempat dan tujuan yang penting dalam pengajaran, dalam menyelidiki kedalaman dan kekayaan Injil Tuhan. Narasi pun demikian adanya, jika ditempatkan secara benar. Namun narasi seringkali ditempatkan bukan sebagai wadah di mana diskursus nilai berlangsung, namun sebagai suatu bentuk yang harus dipilih atau dipertandingkan dengan proposisi. Ini sepertinya tidak terlalu bijaksana. Narasi perlu dihadapi dengan narasi, bukan dengan postulat, bukan dengan proposisi. Jika kita memosisikan diri memegang narasi agung Kitab Suci terhadap narasi dunia, alangkah baiknya bila kita pun membangun narasi yang bersaing, bukan menghadapi narasi dunia hanya dengan bersenjatakan postulat atau proposisi. Mengapa kita sekarang tidak sanggup lagi bernarasi, ketika hampir sebagian besar dari Kitab Suci kita sebenarnya menyampaikan kebenaran Ilahi melalui cerita? Apa yang terjadi dengan alam pikiran modern kita, ketika kumpulan atau daftar proposisi menjadi narasi kita? Bukankah kita memiliki cerita terbesar yang pernah ada, narasi agung Allah Tritunggal yang membentang dari penciptaan hingga konsumasi? Bukankah ketika kita menghidupi narasi agung Tuhan kita dalam kasih karunia-Nya maka dengan sendirinya narasi hidup kita makin berpadanan dengan narasi agung yang diwahyukan Tuhan dalam Kitab Suci-Nya? Atau jangan-jangan kita memang tidak sanggup melawan narasi dunia dengan narasi hidup yang memuliakan Kristus, sehingga kita tinggal menyisakan kedahsyatan postulat dan proposisi kita? Ketika semua orang ingin membaca cerita hidup kita, apakah mereka akan menemukan Kristus yang tersalib dipertuhankan di dalamnya? Soli Deo gloria.
Yenty Rahardjo
Jemaat GRII BSD
Referensi
- Craig G. Bartholomew & Michael W. Goheen (2014). The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical Story, 2nd Edition.
- Bernhard W. Anderson (2006). The Unfolding Drama of the Bible, 4th Edition.
- Roger Lundin (2014). Beginning with the Word: Modern Literature and the Question of Belief.
- Hendrik Hart (1984). Understanding Our World: An Integral Ontology.
- Brian J. Walsh & J. Richard Middleton (1984). The Transforming Vision: Shaping a Christian Worldview.
- Calvin G. Seerveld, John H. Kok (Ed.) (2014). Normative Aesthetics.
- Ruth Webb (2009). Ekphrasis, Imagination and Persuasion in Ancient Rhetorical Theory and Practice.
- Jeffrey Dudiak (2022). Post-Truth? Fact and Faithfulness: Currents in Reformational Thought.
- Elemér Hankiss (2001). Fears and Symbols: An Introduction to the Study of Western Civilization.