Music and Body (Bagian 1)

Kehidupan manusia sangat erat berkaitan dengan suara. Setiap hari kita mendengar berbagai macam suara di lingkungan di mana kita hidup. Bayangkanlah sebuah dunia tanpa suara, yang ada hanyalah keheningan yang mencekam. Dan bayangkan jikalau kita tidak memiliki kemampuan untuk mendengar, maka kita tidak akan pernah dapat menikmati kicauan burung ataupun suara binatang-binatang di padang, bunyi air sungai yang beriak ataupun air terjun yang bergemuruh, bunyi angin semilir ataupun angin menderu-deru, suara tertawa riang gembira dari anak-anak yang sedang bermain ataupun suara tangisan yang membangkitkan simpati, suara nyanyian manusia untuk memuji Tuhan ataupun nyanyian sepasang muda-mudi yang sedang memadu kasih, musik Gregorian chant yang begitu tenang dan transenden ataupun musik zaman Barok yang begitu megah dan meriah, musik zaman Klasik yang begitu anggun dan musik zaman Romantik yang sangat penuh perasaan, kata-kata teguran yang membangun dan penghiburan penuh kasih dari sesama manusia, dan sebagainya.

Manusia berkomunikasi dengan suara dan berespon terhadap suara. Suara juga sangat erat berkaitan dengan berkata-kata. Tanpa suara, maka manusia tidak akan pernah mungkin berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Kita tidak dapat mendengar perkataan orang lain, dan lebih lanjut, tanpa pernah mendengar maka kita juga tidak mungkin dapat berkomunikasi dengan kata-kata. Orang yang tuli secara total sejak lahirnya, pastilah juga dia akan menjadi bisu, karena tidak pernah ada bunyi apapun yang pernah didengarnya untuk diimitasi. Bahkan Tuhan juga menggunakan media suara untuk menciptakan dunia beserta seluruh isinya, dan dalam berkata-kata kepada manusia (cf. Kej. 1:3; 3:9; 9:1; 12:1, etc)[1].

Suara biasanya berasal dari getaran suatu objek.[2] Getaran ini kemudan merambat melalui medium yang mengelilinginya (biasanya udara) sebagai pola dari perubahan tekanan. Perubahan tekanan ini kemudian disalurkan melalui medium dan dapat didengar sebagai suara. Gelombang suara yang dapat didengar manusia hanyalah gelombang suara yang merambat melalui udara. Gelombang suara ini akan masuk melalui saluran telinga manusia (auditory canal) dan menggetarkan gendang telinga (tympanic membrane). Getaran ini kemudian diteruskan melalui bagian tengah telinga oleh tiga tulang kecil, disebut Ossicles (terdiri dari malleus (martil), incus (landasan), dan stapes (sanggurdi)) kepada sebuah lubang yang ditutup membran (the oval window) pada dinding tulang berbentuk spiral yang berisi cairan pada bagian dalam telinga, yaitu cochlea (rumah siput). Di dalam cochlea inilah getaran yang diterima oleh gendang telinga melalui Ossicles diubah menjadi sinyal-sinyal elektrik yang dikirim melalui saraf pendengaran kepada otak. Pada telinga bagian dalam ini juga terdapat semicircular canal, yang lebih berfungsi sebagai keseimbangan tubuh daripada pendengaran.[3]

Di dalam telinga yang sedemikian kompleks inilah manusia berinteraksi dengan suara. Dan salah satu keajaiban yang terjadi di dalam telinga ini adalah, bagaimana pada saat yang bersamaan manusia bisa mendengar begitu banyak suara, dan membedakan jenis suara, serta arah suara tersebut. Lebih lagi, bagaimana di tengah segala suara yang terdengar, manusia bisa memfokuskan kepada suatu suara, atau jenis suara yang diinginkan. Dan terlebih lagi, bagaimana manusia bisa berespon terhadap suara tersebut, di mana melalui suara yang sama, manusia bisa memberikan respon yang berbeda. Hal ini dapat digambarkan seperti ketika seseorang sedang berada di tengah jalan raya, ia dapat mendengar seluruh suara di jalan itu, dan dapat membedakan jenis suara yang didengar, dan dapat tetap mendengar suara yang diinginkan. Contoh yang lebih baik adalah, seseorang bisa mendengar bunyi alat musik yang berbunyi secara bersamaan dalam sebuah symphony, tetapi tetap dapat membedakan suara-suara yang dihasilkan dari masing-masing instrumen, atau mengkhususkan diri mendengar hanya suara dari instrumen tertentu, dan memberikan respon yang berbeda terhadap bunyi yang didengar.

Apa yang dijelaskan di atas menimbulkan sebuah pertanyaan, yaitu apa yang terjadi ketika kita mendengar? Apakah efek yang ditimbulkan dari suara yang kita dengar terhadap diri kita? Dan apakah respon yang diberikan manusia ketika mendengar suara? Dalam hal ini terlebih dahulu kita harus membedakan antara hearing, dengan psychoacoustics. Hearing adalah sensasi yang dihasilkan ketika suara dideteksi dan dianalisa. Psychoacoustics lebih melihat hubungan antara karakter physical dari suara, dengan apa yang sebenarnya dipersepsi oleh pendengar, dan melihat kepada kemampuan untuk membedakan bunyi. Maka apa yang akan kita bahas di sini adalah lebih kepada psychoacoustics, dan khususnya relasi antara suara (dalam konteks musik) dengan tubuh manusia, baik efeknya maupun respon dari tubuh itu sendiri.[4]

Mengapakah kita harus memikirkan apa yang kita dengar? Karena pendengaran memiliki efek yang sangat dahsyat terhadap hidup manusia. Pernahkah kita menjadi marah atau tersinggung secara tiba-tiba karena sesuatu yang kita dengar? Atau kita tiba-tiba merasa senang atas perkataan seseorang terhadap kita? Atau kita merasa begitu bersemangat ketika mendengarkan Symphony no. 3 “Eroica” dari Beethoven yang begitu gagah? Alkitab juga menekankan betapa pentingnya mendengar, dan juga apa yang kita dengar (bdk. Ul. 6:4; Mat. 11:15; dan lain-lain), bahkan mendengar juga dapat menentukan hidup mati kita ketika kita mendengar berita Injil, dan bagaimana kita berespon terhadapnya (bdk. Yoh. 5:24). Paulus juga mengatakan bahwa manusia dapat menjadi percaya adalah karena mendengar Injil (bdk. Rm. 10:14-15, 1Tes. 2:13), sebab iman yang menyelamatkan adalah datang dari pendengaran, yaitu pendengaran akan firman Kristus (bdk. Rm. 10:17).

Jikalau pendengaran memiliki peranan yang sedemikian penting dalam kehidupan manusia, maka kita harus mulai memikirkan dengan sungguh-sungguh terhadap apa yang kita dengar, bagaimana kita mendengar, dan bagaimana kita berespon terhadapnya. Karena jika iman pun dapat timbul dari pendengaran akan firman Kristus, maka terlebih lagi apa yang kita dengar sehari-hari dapat mempengaruhi kehidupan kita juga. Dalam konteks pembahasan kita, musik yang kita dengar sehari-hari juga dapat mempengaruhi kehidupan dan perilaku kita.

Apakah sesungguhnya yang ada di dalam musik, sehingga musik menjadi begitu powerful? Mengapakah kata-kata belaka seringkali kita lupakan, tetapi ketika digabungkan dengan musik menjadi begitu mudah untuk diingat, direnungkan, dan dimengerti? Mengapakah kita kadang merasa bosan ketika mendengar seseorang yang berbicara dalam intonasi yang datar, tetapi begitu menaruh perhatian ketika ia menggunakan intonasi yang baik? Mengapakah juga kita mungkin menjadi sangat terganggu ketika seseorang berbicara terlalu lambat, atau sama sekali tidak mengerti ketika seseorang berbicara terlalu cepat? Mengapakah juga kita menjadi sangat tidak nyaman ketika mendengar suara yang terlalu keras, dan sulit mendengar ketika suara terlalu lembut, tetapi terkadang dengan suara yang keras pun kita bisa menikmati, dan suara yang lembut juga mampu membuat kita tidak nyaman? Hal-hal di atas terdapat di dalam suara, dan lebih jelas lagi ada di dalam musik. Dalam bagian pertama ini, kita akan mulai melihat hal-hal ini terlebih dahulu di dalam musik.

Musik

Musik adalah salah satu anugerah Tuhan yang sangat besar bagi manusia, suatu bidang seni yang menggunakan suara sebagai medianya. Seni musik dan pengalaman sehari-hari akan suara dapat berlangsung tanpa suatu pengertian tentang physics, physiology, atau  psychology. Tetapi ketika kita mencoba menjelaskan pengalaman musik ini, kita harus belajar untuk mengerti hal ini secara keseluruhan, yaitu gelombang suara, impulse dari saraf, dan pengalaman akan suara. Tetapi objek utama kita adalah musik sebagai center dan core of interest. Karena itu terlebih dahulu kita harus mencoba untuk mengerti atribut psikologis dari suara, yaitu pitch, loudness, time, dan timbre, yang berdasarkan pada karakteristik fisik dari gelombang suara: frekuensi, amplitudo, durasi, dan bentuk. Melalui keempat hal ini kita bisa menyebutkan seluruh suara yang dapat kita bayangkan di dalam alam dan seni – vocal atau instrumental, musikal atau non-musikal. Maka ‘musical mind’[5] harus dapat menangkap keempat atribut suara ini.[6] Kita akan membahas secara ringkas keempat hal ini.

Pitch adalah atribut qualitative dari auditory sensation yang menunjukan tinggi atau rendahnya nada dalam skala musik dan dikondisikan terutama oleh frekuensi dari gelombang suara. Saat ini lazim menggunakan lambang ~ untuk menggambarkannya. Pitch adalah salah satu di antara empat atribut dari tonal sensation, yang menangkap perbedaan tinggi atau rendahnya nada-nada dalam musik, dan secara mental dan musikal berhubungan dengan frekuensi dari getaran yang membentuk bunyi suara. Batasan pendengaran manusia yang diterima secara umum adalah antara 16-20,000~.[7]

Sebagai contoh dari pitch, kita bisa mendengarnya dalam lagu “Joy to the World” bergerak dari nada “do” tinggi pada kata Joy ke “do” rendah pada kata come. Maka nada pada kata Joy dan kata come terdengar serupa. Frekuensi getaran dari kata come adalah persis setengah dari kata Joy. Jika nada pada kata Joy adalah 440~, maka nada pada kata come, satu oktaf lebih rendah, adalah setengah dari 440~, yaitu 220~ per detik. Jarak dalam pitch di antara dua nada ini disebut interval.

Loudness berhubungan dengan dinamik dari suara, dengan menggunakan istilah decibel (dB) untuk menentukan keras lembutnya suatu suara (selanjutnya akan menggunakan istilah volume). Semakin keras sebuah tuts piano ditekan, semakin keras pula bunyi yang dihasilkan. Batas atas kekuatan suara yang dapat ditanggung oleh telinga manusia adalah sebesar 125 dB. Di atas itu, maka telinga kita akan mulai menjadi sakit dan tidak dapat bertahan terus- menerus. Dan batas bawah pada pendengaran normal dianggap sebagai 0 dB. Di bawah itu kita mulai kehilangan sensitivitas terhadap bunyi. Dan wilayah paling sensitif dari telinga kita adalah sekitar 500 sampai 4,000~, yaitu wilayah yang paling signifikan untuk musik dan bicara. Di atas dan di bawah dari wilayah frekuensi ini, suara harus memiliki peningkatan kekuatan supaya dapat terdengar.[8] Sebagai gambaran, sebuah orkestra dengan 75 instrumen memiliki tingkat kekerasan bunyi kurang lebih sebagai berikut di atas batas minimum: ppp, 20 dB; pp, 40 dB; p, 55 dB; mf, 65 dB; f, 75 dB; ff, 85 dB; fff, 95 dB. Dan ketika seseorang berbisik dalam jarak antara 1-1.2 m adalah sekitar 20 dB di atas batas bawah, dan suara paling keras dari percakapan biasanya adalah sekitar 60 dB di atas batas bawah.[9]

Batasan-batasan ini menjadi suatu anugerah besar dari Tuhan bagi kita, karena batasan-batasan ini menghindarkan kita dari mendengar bunyi bergemuruh yang terjadi di dalam alam, dan dari segala bunyi yang berfrekuensi tinggi yang selalu ada di dalam alam, tetapi tidak memiliki signifikansi untuk musik dan bicara. Dengan kata lain, telinga kita bersifat selective, yang hanya berespon terhadap wilayah bunyi yang paling signifikan dan berguna.[10]

Hal yang ketiga adalah Time (waktu). Di dalam musik, istilah yang dipakai adalah Rhythm (ritme). Rhythm sangat mendasar dalam kehidupan. Kita bisa melihatnya dalam siklus pergantian malam dan siang, ataupun pergantian musim. Lebih lagi, kita bisa merasakan rhythm ketika kita bernafas. Kita menemukannya di dalam detak jantung dan ketika kita berjalan. Esensi dari rhythm adalah pola berulang dari tension and release, yaitu dari penantian kepada penggenapan. Di dalam pengertian luas, rhythm adalah aliran musik melalui waktu. Di dalam pengertian yang lebih spesifik, rhythm adalah panjang pendeknya durasi sebuah nada dalam musik.[11]

Di dalam rhythm, ada beberapa hal yang berkaitan yaitu beat, meter, accent and syncopation, dan tempo. Beat adalah suatu pulsasi yang terus berulang, yang membagi musik secara sama rata dalam unit waktu. Contoh paling jelas adalah penekanan beat pada permainan drum. Meter adalah pengaturan beats di dalam suatu kelompok yang berulang. Dan satu kelompok yang mengandung jumlah beat yang tetap disebut measure. Sebagai contoh, ketika kita menyanyikan lagu “Terpujilah Allah” kita bisa merasakan beat 1-2-3, 1-2-3, dst. Maka pola beat 1-2-3 ini disebut triple meter, dan kelompok 1-2-3 disebut sebagai satu measure. Ketika satu measure memiliki 2 beats, misalnya pada lagu “Mary Had A Little Lamb”, maka lagu tersebut adalah dalam pola duple meter, dan kita menghitung 1-2, 1-2, dst:[12]

Garis vertikal menandai awal atau akhir dari sebuah measure. Ketukan pertama, atau beat yang mendapat tekanan (angka yang di-bold), disebut sebagai downbeat, sedangkan yang kedua disebut sebagai upbeat.

Accent adalah penekanan pada not tertentu, dengan dimainkan lebih keras dari not lain, atau ketika suatu not ditahan lebih panjang dan lebih tinggi secara pitch. Contoh, dalam lagu “Joy to the World”, kata King dalam “… Let earth receive her KING” mendapat accent. Di dalam berkata-kata, kita juga menekankan suatu kata dengan loudness¸ length, dan pitch. Ketika penekanan terjadi pada tempat yang secara normal tidak kita harapkan atau perkirakan, misalnya jatuh pada upbeat (atau bahkan offbeat, yaitu tidak pada ketukan downbeat ataupun upbeat), maka efek ini dikenal dengan istilah syncopation.[13]

Tempo adalah kecepatan dari beat. Tempo mungkin cepat atau lambat. Tempo yang cepat diasosiasikan dengan suatu perasaan mendorong, energik, dan semangat. Tempo yang lambat seringkali diasosiasikan dengan perasaan tenang, lirikal, dan damai. Asosiasi ini sangat erat kaitannya dalam perasaan dan tindakan kita. Ketika kita sangat bersemangat, jantung kita berdegup dengan lebih cepat daripada ketika kita sedang tenang, ataupun kita juga berbicara lebih cepat ketika sedang bersemangat.[14] Tetapi tempo belum tentu terus-menerus konstan. Di dalam tempo dapat terjadi perubahan yang gradual, seperti accelerando (semakin cepat), ataupun ritardando (semakin lambat). Accelerando, khususnya bila digabungkan dengan peningkatan pitch dan volume akan meningkatkan semangat, dan ritardando diasosiasikan dengan tension yang semakin berkurang, dan suatu perasaan akan conclusion.[15]

Hal yang keempat, adalah Timbre (tone color) / warna suara. Hal ini digambarkan dalam beberapa kata seperti bright, dark, brilliant, mellow, dan rich.[16] Apa yang dimaksud adalah, misalnya ketika sebuah trumpet dan flute berbunyi bersamaan, bahkan memainkan melodi yang sama sekalipun, kita bisa membedakan bunyi kedua instrumen ini, karena masing-masing memiliki warna yang berbeda. Untuk konteks musik, hal ini sangat limpah dalam sebuah symphony. Kita memiliki kesan yang berbeda ketika alat-alat musik yang beragam memainkan melodi yang sama. Juga ketika violin memainkan sebuah melodi, sebuah oboe mungkin dipakai untuk melodi yang lain sebagai kontras. Atau misalnya ketika menggambarkan suara burung, seorang komposer menggunakan instrumen flute atau piccolo, sedangkan ketika menggambarkan gajah, menggunakan instrumen trombone dan tuba. Atau menggambarkan suara gemuruh dan guruh, menggunakan instrumen timpani.

Tetapi hal yang paling erat dengan kita tentang musik, yaitu bahwa untuk kita, musik berarti melody. Melody adalah rangkaian not dengan pitch dan rhythm yang beranekaragam, yang membentuk satu keseluruhan. Inilah yang seringkali kita dengar, kita nyanyikan, ataupun kita mainkan. Di dalam memainkan melody ini nantinya juga akan berkait dengan loudness dari suara dan timbre dari instrumen yang dimainkan.

To be concluded…

Aldo Lammy

Mahasiswa Institut Reformed Jakarta

Fakultas Musik Gerejawi


[1]              Bahasa Ibrani menggunakan kata rm;a’ ‘amar {aw-mar’} yang berarti to utter, say, dengan suara. (bdk. Kis. 9:4)

[2]               Dalam hal ini, saya tidak mengasumsikan Tuhan sebagai objek yang bergetar untuk menghasilkan suara. Istilah suara di sini digunakan untuk menyatakan suatu peristiwa fisika yang terjadi pada suatu instrumen musik. Dan Tuhan tidak berada di bawah hukum alam, melainkan supra alam/melampaui alam, sehingga Ia tidak harus dibatasi dengan hukum-hukum alam yang kita ketahui.

[3]               Stanley Sadie, ed. “Grove Dictionary of Music & Musician

                   www.indiana.edu/~emusic/acoustics/ear.htm

[4]               “Dictionary of Music and Musician” hal. 294

[5]               Musical mind dapat diterjemahkan sebagai pikiran yang musikal, yang sebenarnya adalah pikiran biasa yang ada pada setiap orang. Yang membuatnya menjadi musikal adalah apakah pikiran tersebut, dalam derajat yang cukup, memiliki kapasitas yang esensial untuk mendengar, merasakan, mengerti, secara normal, bentuk-bentuk ekspresi musik.

[6]               Carl E. Seashore. “Psychology of Music.” New York: Dover, 1967. hal. 2

[7]               “Psychology of Music.” hal. 54-55

[8]               Ibid, hal. 82-83

[9]               Ibid, hal. 89. ppp (pianisissimo) = sangat-sangat lembut; pp (pianissimo) = sangat lembut; p (piano) = lembut; mf (mezzoforte) = agak keras; f (forte) = keras; ff (fortissimo) = sangat keras; fff (fortisissimo) = sangat-sangat keras.

[10]             Ibid, hal. 83

[11]             Roger Kamien. “Music: An Appreciation, 8th edition.” New York: McGraw Hill, 2004. hal. 38-39

[12]             Ibid, hal. 39-40

[13]             Ibid, hal. 41

[14]             Ibid, hal. 41

[15]             Ibid, hal. 42

[16]             Ibid, hal. 8