Dalam edisi yang lalu kita sudah membahas dua zaman besar yang memulai perkembangan musik Eropa, yaitu zaman Renaissance dan Baroque. Jika kita hendak menganalogikan musik dengan bahasa, musik Renaissance dapat diungkapkan sebagai building blocks suatu bahasa, yaitu gramatikanya, struktur kalimatnya, dan juga kosakatanya. Lalu musik Baroque adalah suatu cerita atau prosa yang digubah dengan memakai bahasa tersebut. Kalau yang pertama adalah means of expression, maka yang kedua adalah expression of meaning. Dalam artikel bagian kedua ini kita akan melanjutkan pembahasan kita dengan dua zaman besar berikutnya yaitu zaman Klasikal[1] dan zaman Romantik.
Zaman Klasikal (c.1750-1810)
Musik dalam periode ini dilatarbelakangi oleh semangat zaman yang sangat terkenal: Age of Enlightenment, yaitu gerakan yang menempatkan rasio sebagai otoritas tertinggi dalam menentukan segala sesuatu. Kita akan melihat bagaimana semangat ini mempengaruhi perkembangan musik, tapi sebelumnya kita harus melihat lebih dalam ide di balik Rasionalisme. Satu abad sebelumnya, Eropa sedang memasuki masa klimaks Humanisme. Kalau pada zaman Renaissance, pemikiran Yunani Kuno dijadikan acuan untuk berbagai ilmu, pada abad 16 dan 17 Eropa telah melahirkan orang-orang yang menemukan pemikiran dan ide orisinal, khususnya dalam bidang sains. Contoh yang mudah adalah Isaac Newton dengan rumusan gravitasi dan kalkulusnya. Perkembangan ini adalah pengaruh dari kekristenan dalam ilmu pengetahuan. Dalam periode tersebut, meskipun tidak semua orang Eropa adalah orang percaya, Alkitab diterima secara universal sebagai kebenaran. Christopher Marlowe, pembuat drama Dr. Faustus[2], dalam akhir kisahnya, ketika Faust dilempar ke neraka ia berkata demikian, “Lihat, lihatlah darah Kristus itu, satu tetes saja akan menyelamatkan jiwaku, bahkan setengah tetes, oh Tuhanku.” Marlowe, seperti tokoh Faust, adalah seorang unbeliever sampai pada akhir hidupnya namun ia mengetahui (paling tidak secara kognitif) darimana keselamatan berasal.
Pengaruh kekristenan seperti inilah yang membedakan abad ke-17 dengan zaman Yunani Klasik yang menganggap mitologi Yunani sebagai sejarah, bukan sebagai cerita belaka. Implikasi kepercayaan akan dewa-dewa yang personifikasinya adalah fenomena-fenomena alam mengakibatkan ilmu pengetahuan tidak berkembang. Petir, misalnya, adalah suatu kuasa alam yang diasosiasikan dengan Zeus, dewa tertinggi mereka. Laut merupakan kediaman Neptune, Matahari merupakan kendaraan Apollo. Bayangkan kalau ada yang mengusulkan bahwa petir bukanlah sesuatu yang supernatural melainkan hanya proses alamiah yang lumrah; Socrates bukan hanya dihukum mati karena dituduh merusak kaum muda di kota Athena, ia juga dituduh mempunyai konsep religius yang mendobrak mitologi Yunani. Namun pada abad ke-17 Alkitablah yang diterima sebagai sejarah, sama seperti mitologi Yunani pada zaman Yunani Kuno. Dan Kitab Kejadian mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan, bukan bagian dari Sang Pencipta itu sendiri. Maka petir boleh dipelajari, laut boleh ditelaah. Tanpa pengaruh kekristenan, sains tidak akan berkembang.
Perkembangan sains telah merubah pandangan akan alam semesta, yang tadinya dianggap sebagai sesuatu yang diluar pengertian manusia telah menjadi sesuatu yang dapat dimengerti oleh rasio; kecepatan sebuah benda yang jatuh sampai dengan orbit sebuah planet telah dapat diprediksi dan dihitung. Alam semesta mulai dimengerti sebagai sesuatu yang teratur dan rasional. Pada awalnya, banyak filsuf dan pakar sains dalam periode ini bukan Atheis. Descartes menggunakan konsep “cogito, ergo sum”-nya untuk berapologetika; Newton juga mengatakan meskipun ia dapat menerangkan bagaimana planet-planet berinteraksi, hanya Tuhanlah yang dapat menciptakan keteraturan tersebut. Namun meskipun perlahan, deduksi rasional dan buku ilmu mulai menggantikan iman dan firman Tuhan, sebab implikasi dari Rasionalisme adalah meskipun adanya Tuhan, malaikat, setan, dan dunia yang tidak terlihat tidak diragukan, pengertian ini juga menyatakan tidak ada jalan lain untuk mengetahui semua itu di luar indera manusia atau di luar rasio manusia[3]. Ketika manusia berdosa mulai mendapatkan kebijaksanaan, mulailah ia melupakan siapa yang memberikan kepadanya kebijaksanaan tersebut. Hal ini tertulis di kitab Ulangan: “Lalu menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, –bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun–dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya”[4].
Rasionalisme dan sains yang mendominasi pemikiran Abad Pencerahan telah membuat keteraturan, kejelasan, dan sistematika sebagai nilai estetika. Kita akan melihat contoh dari arsitektur.
Jika kedua gaya ini dibandingkan, dekorasi Baroque mempunyai kompleksitas yang penuh dengan ornamentasi, bahkan yang ukurannya sampai melebihi pintunya sendiri. Sedangkan pintu Klasikal bukannya tidak didekorasi tapi desainnya jauh lebih terfokus pada simplisitas dan keteraturan. Desain seperti ini dicapai dengan memakai bentuk-bentuk yang jauh lebih mudah dimengerti; bentuk persegi lebih mudah “dicerna” otak daripada garis-garis lengkung yang kompleks misalnya. Desain Baroque juga menggunakan sebanyak mungkin variasi tema (contoh diatas mempunyai pilar, bentuk malaikat, bentuk binatang, dan lain lain). Desain Klasikal sebaliknya hanya memilih satu jenis tema yaitu dedaunan.
Musik dalam periode ini juga memiliki natur estetika yang mengutamakan keteraturan dan simplisitas tersebut. Saudara-saudara yang pernah mendengar musik Mozart dan membandingkannya dengan Bach akan langsung menyadari perbedaan ini. Musik Bach adalah musik yang sangat kompleks, jika dibahas bisa tidak habis-habis dari segi meaning, teknik musik, atau strukturnya. Sebaliknya, ada suatu lelucon mengenai musik Mozart: orang awam dapat mengagumi Mozart meskipun tidak tahu–entah kenapa. Hal ini dapat terjadi karena musik periode Klasikal mendasarkan teknik komposisinya dalam prinsip estetika rasionalis yang melihat beauty di dalam balance, clarity, and simplicity. Jika musik zaman Renaissance dan Baroque banyak menggunakan counterpoint dan polyphony, musik Klasikal mulai mengarah pada penggunaan teknik harmoni atau homophony yang lebih mudah dicerna: satu melodi yang diiringi oleh suara lain. Prinsip counterpoint tidak dibuang pada zaman ini namun penggunaannya berkurang dan kadang justru digunakan untuk merepresentasikan keadaan yang kurang teratur. Misalnya dalam oratorio The Creation karya Haydn ada suatu lagu choir yang menceritakan keadaan ciptaan setelah penciptaan terang. Dalam lagu ini Haydn menggunakan progresi dari keadaan yang kacau menggunakan polyphony (dengan teksnya ”Despairing, cursing rage, attends their rapid fall”) kepada keadaan yang teratur yang menggunakan homophony (dengan teksnya ”A new created world; springs up from God’s command”).
Kalau diperhatikan pasti bisa tertebak teknik komposisi mana yang terdengar lebih teratur. Maka karena sifatnya yang lebih cocok dengan estetika rasionalis dalam periode ini homophony menjadi teknik komposisi yang lebih banyak digunakan.
Pengaruh Rasionalisme bukan hanya masuk ke dalam teknik komposisi namun juga struktur suatu komposisi. Hal ini bukan baru ditemukan dalam periode Klasikal, Vivaldi (komposer zaman Baroque) mengatakan dalam musik harus ada predictability, salah satu aesthetic pleasure dalam musik dapat timbul dari ekspektasi yang terpuaskan. Contohnya suatu refrain dalam lagu hymn, refrain tersebut tidak dinyanyikan terus menerus namun dinyanyikan selang satu ayat. Ada suatu kepuasan tertentu sewaktu kita kembali menyanyikan refrain yang sama dan sudah diketahui bukan? Maka dalam musiknya, Vivaldi biasanya menggubah suatu ritornello (kata refrain berasal dari kata ini) yang muncul beberapa kali didalam suatu karya. Bentuk ini dinamakan concerto dan menjadi sangat popular. Periode Klasikal meneruskan strukturisasi ini, dan bentuk-bentuk seperti Sonata, Symphony, String Quartet yang kita kenal pada zaman ini adalah hasil standardisasi pada periode Klasikal. Misalnya Sonata pada zaman sebelumnya hanya berarti ”untuk berbunyi”[5] namun pada zaman Klasikal kata Sonata menunjuk khususnya pada Sonata form, yaitu struktur musik yang mengatur progresi suatu karya dalam tangga nada yang berbeda-beda sehingga terdengar jelas dan teratur[6].
Di manakah tempat musik seperti ini dalam kehidupan kita? Apakah musik yang prinsip estetikanya terpaku erat dalam rasionalitas dapat kita pertanggungjawabkan sebagai ciptaan Tuhan yang seharusnya mencari prinsip estetika dari Alkitab? Tidak hanya itu saja; kalau dalam zaman Renaissance dan Baroque masih banyak komponis-komponis yang takut akan Tuhan seperti Palestrina, Lassus, Schütz, atau Bach, maka dalam periode Klasikal komponis-komponis besar seperti Mozart dan Beethoven hidupnya tidak beres; Mozart menganut Freemason, Beethoven sangat dipengaruhi Pantheism; Haydn mungkin perkecualian, tetapi ia seorang Katolik. Di sinilah kita dapat belajar mengaplikasikan prinsip bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Rasio adalah ciptaan Allah; lewat prinsip penciptaan kita sekali lagi melihat bahwa hubungan keteraturan, keseimbangan memang adalah kebenaran Allah. Musik yang memakai prinsip demikian jelas bukanlah musik yang salah. Kedua, dalam kedaulatan Tuhan, berkat yang hendak Ia berikan pada manusia tidak akan berubah hanya karena motivasi manusia yang terpengaruh oleh dosa. Mozart mungkin tidak mempunyai kepercayaan yang benar, namun sadar tidak sadar dalam karyanya ia telah menuruti prinsip wahyu umum yang Tuhan berikan. Dalam artikel edisi lalu Saudari Stanly Maria sudah menjelaskan mengenai hal ini.
Namun kalau prinsip rasio adalah kebenaran Allah, bukankah itu berarti musik Klasikal adalah musik yang tertinggi? Musik mana lagi yang lebih jelas mengutarakan keteraturan daripada musik yang digubah berdasarkan prinsip keteraturan tersebut? Paulus dalam 1 Korintus 14:33 mengatakan, ”For God is not a God of disorder but of peace”. Jelas disorder bukan kebenaran, tapi Paulus tidak mengkontraskannya dengan order melainkan dengan peace (terj. Ind. “damai sejahtera”). Allah kita bukan Allah yang kacau tapi juga bukan Allah yang “hanya” teratur. Kalau Saudara melihat mesin bekerja, ada keteraturan dan order, tapi di manakah damai? Rasio memang adalah kebenaran Allah, tapi rasio bukanlah keseluruhan kebenaran apalagi kebenaran yang tertinggi. Dengan menjadikan rasio sebagai penentu utama konsep estetika, musik Klasikal telah kehilangan banyak aspek yang melampaui rasio[7].
Salah satu alasan mengapa oratorio The Creation adalah musik yang sangat baik adalah karena prinsip keteraturan sangat nyata dalam topik penciptaan. Tapi karyanya yang lain, The Seven Last Words of Christ, jika dibandingkan dengan St. Matthew Passion karya Bach tetap berbeda jauh[8]. Kesedihan yang Bach utarakan menembus batas rasio, sedangkan kesedihan dalam karya Haydn terkesan dibatasi logika dan proses kognitif.
Sekali lagi, saya harap kita tidak terjatuh dalam ekstrimisme penolakan total (atau juga penerimaan total). Harapan saya adalah supaya kita boleh belajar menilai seni, budaya, dan ilmu-ilmu di bawah terang Firman Tuhan. Hal ini bukan hanya berarti melihat apa yang sesuai dengan Alkitab dan apa yang tidak, tetapi juga berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Sebagaimana manusia yang jatuh dalam dosa telah ditebus, demikianlah kita harus melihat musik sebagai budaya yang tidak terlepas dari korupsi dosa, dan dengan tanggung jawab kita harus menebusnya kembali dalam kebenaran Allah. Pada edisi berikutnya kita akan melanjutkan pembahasan kita memasuki zaman Romantik, yaitu suatu respon terhadap Gerakan Klasikal: menolak rasio sebagai satu-satunya otoritas dalam segala sesuatu. Kiranya Tuhan membukakan pikiran kita sehingga peka dalam melihat kejatuhan manusia di bidang musik.
Jethro Rachmadi
Pemuda MRII Melbourne
[1] Istilah musik “klasik” adalah istilah yang sedikit bermasalah karena dapat digunakan untuk menunjuk kepada seluruh musik dalam empat zaman yang kita bahas. Istilah Klasik sendiri sebenarnya menunjuk pada budaya Yunani Kuno. Dalam artikel ini saya akan menggunakan istilah “Klasikal” untuk menunjuk kepada gerakan Klasik di abad ke-18.
[2] Dr. Faustus berkisah tentang seseorang yang menjual jiwanya kepada setan. Salah satu tema yang disodorkan dalam kisah ini adalah bagaimana manusia terjatuh kedalam fatalisme penghukuman dosa; Dalam pikiran Faust semua manusia berdosa dan tidak mungkin luput dari hukuman, maka ia tidak mencari pengampunan dalam hidupnya tapi menempatkan setan di tempat Tuhan.
[3] Rasionalisme harus dibedakan dari Rasional. Bersikap rasional berarti memakai rasio, tapi Rasionalis berarti menempatkan rasio diatas segala sesuatu. Orang Kristen seharusnya rasional tapi tidak rasionalis.
[4] Ulangan 32:15
[5] Sonata = “to sound”, untuk dibedakan dengan Cantata = “to sing”. Sonata pada zaman tersebut hanya berarti suatu musik yang diperuntukkan untuk instrumen, bukan untuk penyanyi.
[6] Sonata form secara dasar terdiri dari 3 unsur: Exposition, dimana satu atau dua tema diperkenalkan di tangganada awal dan memasuki tangganada dominant (berjarak perfect 5th, kalau awalnya di C maka masuk ke G). Development, tema-tema yang sudah diberikan dikembangkan, misalnya ditambahkan atau dikurangi, dan biasanya dalam section ini masuk ke beberapa tangganada yang berbeda. Recapitulation, yaitu kembali ke materi exposition tapi secara keseluruhan berada di tangganada awal dan mengakhiri seluruh piece di tangganada tersebut. Struktur seperti ini membuat suatu musik terdengar sangat teratur karena meskipun materinya sangat bervariasi semuanya didasarkan kepada beberapa tema saja.
[7] Tentunya tidak hilang secara total, namun jika dibandingkan dengan musik Baroque yang sangat ekspresif atau musik Romantik yang sangat dramatis dan emosional, musik Klasik bisa cenderung mekanikal.
[8] Saya membandingkan dua karya ini atas dasar subject matter yang masih dalam satu kategori, yaitu kisah penyaliban Tuhan Yesus.