Dalam artikel bagian terakhir ini kita akan melanjutkan pembahasan kita dengan zaman Romantik yang merupakan suatu respons terhadap Gerakan Klasikal.
Zaman Romantik (c.1810-1920)
Poussin – Funeral of Phocion
Lukisan di atas adalah karya Nicolas Poussin, salah satu pelukis pada zaman High Baroque yang idenya sangat dipengaruhi oleh gerakan Klasikal. Ini adalah suatu lukisan klasik tulen, subject matter-nya adalah penguburan seorang pahlawan Yunani dan gaya arsitektur yang digambarkan adalah gaya arsitektur Roma. Dalam lukisan ini Poussin menggambarkan dunia menurut kaum rasionalis: dunia yang teratur dan indah, sebuah surga kaum Klasik. Kematian tetap ada, tapi tidak digambarkan sebagai sesuatu yang mengerikan (meskipun tidak juga dengan pengharapan). Air digambarkan begitu tenang, pohon-pohon tidak tertiup angin. Segala sesuatu terlihat jelas dan pada tempatnya. Misteri, horor, dan emosi tidak mempunyai tempat di sini.
Friedrich – The Wanderer Above The Sea of Fog
Lukisan yang kedua adalah hasil karya Caspar David Friedrich, seorang pelukis Romantik. Yang langsung membedakan kedua lukisan ini adalah unsur misterinya. Pemandangan di lukisan Poussin tidak terhalang sama sekali, tapi dalam lukisan Friedrich kabut yang tebal justru menjadi isi lukisannya. Friedrich tidak melukiskan pemandangan yang jelas, dan justru ”ketidakjelasan” itulah yang menjadi topik lukisannya. Yang digambarkannya bukan predictability, namun unpredictability. Si Pengembara berdiri dengan pose yang kurang stabil, rambutnya tertiup angin. Di hadapannya terbentang jurang yang tidak terlihat dasarnya, di ujung horison ada puncak-puncak gunung yang lebih tinggi dari tempat ia berada. Dalam lukisan ini, rasio tidak lagi memegang kendali. Gerakan Romantik adalah suatu respons terhadap Gerakan Klasikal: menolak rasio sebagai satu-satunya otoritas dalam segala sesuatu. Emosi, perasaan, misteri telah menantang posisi rasio. Bahkan usaha untuk mendefinisikan istilah Romanticism pasti akan berakibat reduksional sebab gerakan ini adalah gerakan yang pada intinya menolak definisi, menolak kekakuan sistem dan struktur. Ada suatu perkataan dari zaman Romantik yang mengatakan, “Heard melodies are sweet, but unheard ones are even sweeter.”[1]
Pada awalnya dampak dari semangat ini dalam musik hanya berakibat eksperimentasi dari pihak komponis; ekspresi hal-hal yang misterius dan di luar logika tidak bisa lagi hanya terpaku dalam sistem yang sudah eksis. Maka ilmu harmoni dan sistem tangga nada yang menjadi warisan zaman-zaman sebelumnya dilebarkan ke dalam area-area yang sebelumnya tidak digunakan. Kromatisasi[2], misalnya, dulu digunakan hanya sebagai suplemen, namun musik Romantik menggunakan kromatisasi bukan sebagai bumbu tapi sebagai lauk-pauk. Secara harmoni, musik Romantik juga menggunakan chord progression yang bersifat kromatik yang menyebabkan efek ambiguitas tonal; yaitu suatu lagu yang tidak terlalu jelas berada di tangga nada apa.
Chopin – Fantasie Impromptu Op. 66 bar 5[3]
Bukan hanya secara melodi dan harmoni, tapi ritme juga menjadi subjek eksperimen. Kalau Saudara memperhatikan partitur di atas, dalam satu ketuk tangan kanan memainkan 4 not sedangkan tangan kiri membagi waktu yang sama untuk memainkan 3 not. Permainan ritme yang iregular seperti ini tidak baru ditemukan pada zaman Romantik, namun pada periode sebelumnya hal seperti ini tidak lumrah ditemukan dengan durasi yang berkepanjangan. Dalam Fantasie-Impromptu karya Chopin hampir keseluruhan ritmenya berpola demikian.
Dalam karya musik Klasikal, not pertama atau chord pertama biasanya sangat jelas bunyi dan entry-nya, sesuai dengan prinsip clarity. Tidak demikian dengan musik Romantik. Beethoven misalnya[4], dalam Symphony No.9-nya ia sengaja memulai karyanya dengan sangat sangat lembut dan berangsur menjadi keras. Menurut seorang kritikus musik yang menghadiri pementasan pertama symphony tersebut, hal ini mempunyai efek seakan-akan musik tersebut sudah berjalan sejak dahulu kala dan baru sekarang terdengar! Besarnya suatu orkestra juga menjadi tempat eksperimen. Secara tradisional jumlah pemain di sebuah orkestra Klasikal biasanya berkisar antara 30-35 pemain. Hector Berlioz, seorang komponis zaman Romantik pernah mengatakan orkestra idamannya berjumlah 465 instrumen yang berisi antara lain: 120 violins, 45 cellos, 37 double basses, 30 harps, dan 30 pianos. Musik Romantik tidak lagi tetap tinggal dalam hal-hal yang sudah diketahui tetapi memulai suatu perjalanan terhadap hal-hal yang misterius dan indefinite.
Sampai dengan zaman Klasikal, konsep aktualisasi diri bukanlah sesuatu yang dimiliki masyarakat Eropa[5]. Ada yang lahir dalam keluarga bangsawan, ada yang menjadi petani. Masing-masing kemudian menjalani hidupnya di dalam status kelahirannya. Namun pada abad ke-19 khususnya setelah Revolusi Perancis, sistem feudalis masyarakat Eropa mulai runtuh. Kapitalisme dan Merkantilisme menyebar luas dan individualisme mulai lahir. Sebelum Beethoven, para musikus mau tidak mau harus hidup dengan tunjangan seorang patron, biasanya seorang bangsawan. Sangat sulit bagi seorang musikus jika ia mau mencari nafkah secara independen, pada waktu tersebut prinsip copyright belum secara luas diterapkan. Tetapi Beethoven mendobrak hal ini, ia memanfaatkan Merkantilisme yang mulai bertumbuh dan berhasil menjadi musikus yang independen lewat konser-konser dan juga royalti dari penerbitan dan penjualan partitur karyanya. Seniman dan musikus yang lain pun mulai hidup dengan cara demikian. Kebebasan ini membuat untuk pertama kalinya dalam sejarah para seniman bebas; musik karya mereka tidak lagi digubah menurut selera publik umum, musik telah menjadi aktualisasi diri mereka.
Langkah-langkah ini telah mengakibatkan pengaruh yang luar biasa terhadap dunia musik. Kebebasan yang dibawa oleh periode Romantik bukan hanya mendefinisikan ulang apa itu musik dan keindahan, tapi juga kehidupan. Dan seperti kuda lepas dari kandang, kebebasan ini akhirnya menjadi kebablasan. Musik dari zaman Renaissance sampai Klasikal adalah musik yang digubah dengan mengetahui batas-batas ekspresi. Seperti yang sudah dibahas, musik Klasikal dibatasi oleh persepsi logika, musik Baroque dilimitasi oleh ilmu harmoni warisan zaman Renaissance, dan musik Renaissance sedikit banyak dilimitasi berdasarkan hubungan numeral. Bach dalam St. Matthew Passion telah menuliskan satu melodi yang begitu menyayat hati, yaitu ketika Petrus menyesal setelah ia menyangkal Tuhannya kali ketiga. Tapi sewaktu kita mendengarnya tentu tidak seperti mendengar orang yang menangis meraung-raung yang sudah pasti tidak akan terdengar musikal sama sekali. Dalam musik Baroque, tangisan pun mempunyai melodi yang mengikuti aturan musik. Namun atas nama ekspresi, gerakan Romantik tidak mau berhenti sampai di sini. Pada akhirnya, musik Romantik hancur di bawah beratnya sendiri.
Sebagai contoh adalah Richard Strauss dan operanya Salome, yaitu kisah ketika Yohanes Pembaptis dipenggal oleh Herodes untuk memenuhi permintaan anaknya (dinamakan Salome dalam opera ini) yang telah menari untuknya. Dalam adegan Salome mencium kepala Yohanes Pembaptis yang sudah terpenggal, Strauss menggunakan chord yang berisi 10 not berbeda untuk mengekspresikan suasana yang begitu menjijikan. Dalam tradisi harmoni musik Eropa, chord yang lengkap hanya dapat berisi 3 not yang berbeda. Chord extension seperti seventh chord berisikan 4 dan memerlukan resolusi ke chord yang lebih stabil, menurut ilmu harmoni. Bisa dibayangkan betapa ngerinya bunyi 10 not yang berbeda ketika dibunyikan bersamaan dan tanpa resolusi. Strauss sendiri membela keputusannya untuk menuliskan musik yang sedemikian disonans karena menurutnya tidak ada chord normal yang mampu menggambarkan kengerian yang ingin ia tampilkan, maka ia membuat “musik” yang tidak lagi menuruti prinsip dasar musik itu sendiri. Perkembangan ini tidak mungkin bertahan lama sebelum hancur, seperti bangunan yang mau dibangun tanpa memiliki fondasi, atau seperti ikan yang merasa dibatasi oleh air.
Pada akhirnya, Romanticism yang mengkritik gerakan Klasikal sebagai gerakan yang sempit karena mengutamakan rasio, telah jatuh ke ekstrim yang lain: menjadi gerakan yang irasional. Komponis-komponis berikutnya meneruskan semangat ekspresi gila-gilaan ini, dan pada akhirnya ilmu harmoni ditolak secara total, masuk ke dalam zaman musik atonal[6] dan periode Modern yang kacau.
Tidak semua musik Romantik sedemikian ekstrim tentunya, khususnya karya-karya yang digubah pada pertengahan pertama abad ke-19 masih mempunyai keseimbangan antara ekspresi emosi dan aturan musik, khususnya oleh komponis-komponis yang cenderung old-fashioned seperti Johannes Brahms, Felix Mendelssohn, Robert Schumann, dan lain lain. Mendelssohn, khususnya, sebagai seorang Kristen yang takut akan Tuhan mempunyai banyak karya yang sangat indah, dan sesuai dengan semangat Romantik karyanya mempunyai kekuatan dramatis dan emosional yang sangat dalam tapi tanpa kehilangan keteraturan. Dua oratorionya, St. Paul dan Elijah adalah beberapa karya teragung sepanjang zaman. Sayangnya, selain Mendelssohn boleh dibilang tidak ada komponis besar Kristen lainnya, dan kemerosotan moral pada abad ke-19 telah mengakibatkan banyak karya-karya musik zaman Romantik berkisar pada tema-tema yang sangat tidak Alkitabiah. Symphony terakhir Tchaikovsky yang dielu-elukan sebagai karya terbaiknya, menurut adiknya, Modest Tchaikovsky, adalah ekspresi kefrustrasian Tchaikovsky terhadap dunia yang menyerang homoseksualitasnya.
Bukan hanya karya non-Alkitabiah, akhirnya karya-karya yang didasarkan pada cerita Alkitab pun hasil akhirnya sama sekali tidak Alkitabiah karena tidak setia kepada prinsip Alkitab. Sebagai contoh, opera Salome tadi mengambil kisah Alkitab tetapi kemudian menceritakan kembali dengan mindset Romantik yang sama sekali tidak tertarik untuk memperjuangkan kebenaran Alkitab atau untuk memuliakan Allah; adegan yang menjadi hidangan utama malah adalah tarian Salome yang dinamakan Dance of the Seven Veils, di mana soprano yang memerankan Salome harus turun derajat menjadi stripper dan berakhir dengan kematian Yohanes Pembaptis, serta Salome yang akhirnya dieksekusi ayahnya sendiri.
Tidak berarti musik atau seni yang baik adalah seni yang tidak realistis, yang tidak mengenal rasa frustrasi atau ketidaksusilaan. Kitab Mazmur pun dipenuhi dengan berbagai keluhan dan seringkali mengungkapkan kehidupan manusia yang dipenuhi dengan sengsara. St. Matthew Passion dari Bach juga tidak dipenuhi kebahagiaan atau keindahan, tetapi seperti di dalam Alkitab selalu ada resolusi. Kitab Mazmur yang meskipun dimulai dengan keluh kesah, selalu diakhiri dengan pengharapan dan iman kepada Tuhan. Maka seni yang baik adalah seni yang mengembalikan kondisi yang rusak kepada kondisi yang Righteous.
Righteousness dalam seni bukan berarti segala sesuatu harus tanpa dosa, sebab hal ini pasti berlawanan dengan realita. Menjadi Righteous mempunyai arti membenarkan, membuat apa yang kacau menjadi harmonis. Sebab Allah kita bukanlah Allah yang menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera. Kiranya tulisan ini boleh membawa kita mengerti kelebihan dan kekurangan musik yang menjadi warisan kita, dan boleh membantu kita dalam menggunakannya untuk kemuliaan Tuhan. Soli Deo Gloria.
Jethro Rachmadi
Pemuda MRII Melbourne
Mahasiswa Bachelor of Music di University of Melbourne
[1] Arnold Whitall, Romanticism. (London: Thames and Hudson, 1987) 9
[2] Kromatisasi adalah pergerakan not naik atau turun dengan beda setengah, misalnya 1 1/ 2 2/ 3 dalam not angka.
[3] Garis putus-putus adalah realisasi ritme antara tangan kiri dan tangan kanan.
[4] Beethoven adalah komponis yang lahir dan memulai karirnya dengan musik Klasik, namun pada masa pertengahan hidupnya gaya komposisinya telah berubah menjadi musik Romantik.
[5] Misalnya, pada zaman sekarang anak kecil sering ditanya, “Mau jadi apa kalau sudah besar?”
[6] Atonal = tanpa tonalitas. Kalau Saudara mendengar musik ini, tidak akan tahu musik itu dimainkan secara benar atau salah karena semuanya terdengar tanpa harmoni.