Reflection on Oratorio Messiah (11): Terang di Tengah Kegelapan

Kelahiran Kristus sering kali digambarkan sebagai terang yang menerangi dunia yang berada di dalam kegelapan. Kelahiran-Nya terjadi di malam hari yang identik dengan kegelapan. Orang-orang majus dipimpin oleh bintang yang terang, para gembala datang menyambut-Nya karena dipimpin oleh malaikat terang. Semua hal ini mengindikasikan betapa signifikannya kehadiran Kristus sebagai terang bagi dunia ini. Signifikansi hal ini dimengerti dengan baik baik oleh Jennens, yang mempersiapkan lirik, maupun Handel yang menggubah melodi dari Oratorio Messiah. Sehingga, salah satu tema yang disorot di dalam bagian pertama Messiah ini adalah kehadiran Kristus yang menerangi bangsa-bangsa yang hidup di dalam gelap dan kekelaman. Oleh karena itu, di dalam artikel ini kita akan merenungkan signifikansi Kristus sebagai Sang Terang.

Jikalau kita menelusuri berbagai bidang ilmu di dalam kehidupan manusia, kita akan menjumpai banyak sekali metafora dari kontras terang dan gelap. Secara visual tentu saja kita bisa merasakan dengan jelas perbedaan suasana antara lampu yang dinyalakan dan dimatikan. Secara kontras bisa kita rasakan hal ini. Namun di dalam aspek komunikasi baik lisan maupun tulisan, terdapat metaforanya tersendiri. Misalnya, kita sering menggambarkan ide dengan gambar lampu yang menyala, bahkan saat pengetahuan yang baru ditemukan, kita menggunakan istilah “mendapatkan pencerahan”. Di dalam kaitan dengan moralitas, orang-orang yang hidupnya bermoral disebut sebagai orang yang hidup di dunia yang terang, berlawanan dengan orang yang tidak bermoral yang dikatakan sebagai orang-orang yang hidup di dalam dunia yang gelap. Uniknya, mayoritas dari metafora ini selalu mengidentikkan terang dengan hal yang positif dan gelap sebagai hal yang negatif. Oleh karena itu, di dalam kehidupannya manusia selalu berusaha mencari terang dan menjauhi dunia yang gelap. Namun yang menjadi pertanyaan adalah “Cukupkah terang dari ilmu pengetahuan, ideologi, budaya, teknologi untuk menerangi kehidupan manusia?”

Theologi Reformed, di dalam Pengakuan Iman Westminter, menyatakan bahwa di dalam keberdosaan, terang natural tidak cukup untuk membawa manusia mengenal Allah. Ilmu pengetahuan tidak cukup memberikan terang yang diperlukan manusia, begitu juga dengan moral, budaya, ataupun politik. Semua hal ini hanyalah terang yang sudah direduksi bahkan sudah tercemar oleh dosa. Salah satu bukti di dalam sejarah adalah munculnya sebuah abad yang kita kenal sebagai sebagai Abad Pencerahan (Enlightenment). Salah satu alasan abad ini disebut sebagai Abad Pencerahan adalah karena abad ini dianggap membuka wawasan dari kekangan penguasa pada abad sebelumnya, yaitu Abad Pertengahan. Terdapat sebuah ironi di dalam Abad Pertengahan tersebut, karena abad ini adalah abad di mana kekristenan mendominasi. Kekristenan yang seharusnya menjadi terang dunia, pada zaman tersebut justru disebut sebagai Abad Kegelapan. Tentu saja bukan karena ajaran Kristen yang membuatnya menjadi Abad Kegelapan, melainkan kuasa politik dan agama yang saling memanfaatkan sehingga terjadilah abuse of power or authority. Sebagai reaksi dari Abad Kegelapan ini ,muncullah sebuah abad yang disebut sebagai Abad Pencerahan dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai “juruselamat” pada zaman ini. Namun benarkah ilmu pengetahuan adalah terang yang memberikan “keselamatan” bagi manusia? Sejarah menyatakan bahwa salah satu hasil dari Abad Pencerahan ini adalah meletusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Sehingga, terang yang diberikan oleh ilmu pengetahuan adalah terang yang di dalamnya terkandung dosa yang menjadi bom waktu bagi zaman tersebut.

Ketika hidup kita dipimpin oleh terang yang sudah tercemar atau palsu, maka sebenarnya hidup kita sedang dipimpin ke dalam kegelapan. Bukankah ini realitas yang sering kali kita hadapi? Para ilmuwan, yang berpikir bahwa ilmu pengetahuan adalah terang yang dapat menuntun hidupnya, adalah orang-orang yang akhirnya dibutakan oleh ilmu pengetahuan dan tidak bisa melihat kebenaran yang sesungguhnya. Orang-orang yang berpikir bahwa moralitas atau perbuatan baik adalah terang yang dapat memberikannya keselamatan, justru terjerat oleh hidup yang legalis tetapi di dalam hatinya penuh dengan kegelapan. Maka baik moralitas, ilmu pengetahuan, agama, maupun hal lain di dalam dunia ciptaan ini tidak dapat menuntun manusia dengan terangnya sendiri. Mereka menjadi orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan karena menolak terang yang sesungguhnya.

Jikalau kita mempelajari sejarah kekristenan, kita akan menyadari bahwa yang menjadi pencetus terjadinya peralihan dari Abad Kegelapan kepada Abad Pencerahan bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan Reformasi. Justru melalui Reformasi inilah masyarakat disadarkan akan penyalahgunaan otoritas gereja dan banyak orang disadarkan akan kebenaran yang sejati, yang dinyatakan di dalam Alkitab. Melalui pengaruh dari tokoh-tokoh Reformasi seperti Martin Luther dan John Calvin, banyak manusia dicelikkan akan kebenaran yang selama ini dimonopoli dan disalahgunakan oleh para penguasa. Sebagai orang Kristen seharusnya kita menyadari bahwa terang yang sesungguhnya tidak terdapat di dalam dunia natural ini, tetapi terang yang sesungguhnya adalah pribadi yang menyatakan diri-Nya dengan hadir ke dalam dunia ini, yaitu Yesus Kristus.

Hal ini disadari dengan baik oleh Jennens yang mengambil teks dari Yesaya 60:2-3 yang dilanjutkan dengan Yesaya 9:1:

“Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu. Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu.” (Yes. 60:2-3)

“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.” (Yes. 9:1)

Kegelapan di dalam konteks ini bukan sekadar orang yang tidak memiliki pengetahuan ataupun yang tidak bermoral, tetapi mereka adalah orang-orang yang hidupnya terhilang dari kebenaran. Kehidupan mereka adalah kehidupan yang terasing dari Allah yang adalah sumber terang itu sendiri. Sehingga jiwa mereka terhilang di dalam kegelapan dosa dan menuju kebinasaan. Keterasingan dari Allah inilah yang menjadi inti dari kegelapan hidup mereka dan berdampak kepada aspek lain dalam kehidupan mereka seperti rasio, emosi, dan kehendak.

Maka signifikansi kedatangan Kristus adalah terutama untuk mengembalikan kehidupan manusia berdosa kepada Allah yang adalah Terang Sejati itu. Allah sebagai Terang Sejati berarti juga mengacu kepada moralitas-Nya yang absolut dan murni, serta kemahatahuan-Nya. Dengan kata lain, di dalam diri Allah tidak ada kecacatan moral ataupun kurang pengetahuan. Kitab Ibrani mencatat bahwa Kristus adalah puncak dari wahyu Allah kepada manusia, sehingga melalui Kristuslah manusia bisa mengenal Allah dan kembali bersekutu dengan-Nya. Maka Kristus adalah titik pertemuan antara Allah dan manusia yang sangat penting keberadaan-Nya. Tanpa Kristus, kita akan tetap berada di dalam kegelapan dan keterasingan dari Allah. Inilah signifikansi Kristus sebagai terang yang menerangi bangsa-bangsa di dalam kegelapan.

Namun sebagai orang yang kehidupannya sudah diterangi, kita tidak bisa hanya menjadi pasif. Karya penebusan Kristus bukan hanya memanggil kita kembali kepada Terang yang Sejati, tetapi juga menuntut kita untuk berjalan di dalam terang, menjadi anak-anak terang. Seperti yang dikatakan Paulus dalam Efesus 5, bahwa kita harus menjadi anak-anak terang yang meneladani kehidupan Kristus. Khususnya di dalam ayat ke 8-10, ia mengatakan, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran, dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan.” Inilah kehidupan dari anak-anak terang, yaitu menghasilkan buah. Bahkan di ayat 11, Paulus dengan tegas menyatakan, “Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu.” Inilah tugas kita sebagai anak-anak terang, yaitu memberitakan Injil, membawa terang ini kepada orang-orang yang masih hidup di dalam kegelapan.

Oleh karena itu, Oratorio Messiah bukan hanya sebuah karya yang baik untuk dinyanyikan atau dipentaskan, tetapi juga sebuah karya yang membawa pesan Injil melalui musik. Sebagaimana Handel yang mengatakan, “I should be sorry if I only entertained them, I wish to make them better.” Kiranya ketika kita mementaskan karya Messiah ini, kita bukan hanya berusaha untuk menampilkannya dengan teknik musik yang baik, tetapi juga perlu ada semangat penginjilan yang disampaikan melalui musik ini. Melalui musik yang agung, kita menyatakan terang Kristus yang membebaskan jiwa-jiwa yang masih hidup di dalam kegelapan. Kiranya Tuhan menolong kita untuk menjadi anak-anak terang di tengah kegelapan.

Simon Lukmana

Pemuda FIRES