Reflection on Oratorio Messiah (14): Behold the Lamb of God

Di dalam pembahasan Kitab Kolose, John Calvin menyatakan demikian:

“For although in the cross there is nothing but curse, it was, nevertheless, swallowed up by the power of God in such a way, that it has put on, as it were, a new nature. For there is no tribunal so magnificent, no throne so stately, no show of triumph so distinguished, no chariot so elevated, as is the gibbet on which Christ has subdued death and the devil.”

Kematian Kristus adalah puncak dari misi Kristus di dunia ini dan salib adalah klimaks dari kisah di dalam Alkitab, karena melalui kematian Kristus, sejarah umat manusia berputar haluan dari kematian menuju kepada hidup yang kekal. Ini adalah titik balik yang paling signifikan di dalam sejarah umat manusia. Sebuah titik yang paling rendah di dalam kehidupan berubah menjadi kemenangan yang terbesar, dan salib yang merupakan simbol dari kutukan pada zaman itu, berubah menjadi simbol kemenangan atas dosa dan kematian. Betapa signifikannya karya kematian Kristus.

Oleh karena itu, bagian kedua dari Oratorio Messiah merupakan bagian yang paling dramatis. Berbagai nuansa musik, dari suasana tragis, mencekam, sedih, sukacita, hingga proklamasi kemenangan, ada di dalam bagian ini. Bagian kedua ini adalah bagian yang terpanjang dan cukup didominasi oleh lagu-lagu paduan suara.

22. Chorus: Behold the Lamb of God

Behold the Lamb of God, that taketh away the sin of the world. (Jo. 1:29)

Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia. (Yoh. 1:29)

Bagian kedua dari Oratorio Messiah ini dimulai dengan lagu “Behold the Lamb of God”. Ada dua hal yang serupa di dalam pembukaan bagian kedua dan bagian pertama Oratorio Messiah ini. Pertama, bagian pertama dibuka dengan gaya musik French Overture yang biasanya digunakan untuk menyambut kedatangan seorang raja. Pada bagian kedua, iringan yang digunakan memiliki pola yang sama, yaitu menggunakan iringan dotted rhythms yang merupakan ciri khas dari French Overture. Kedua, teks yang digunakan di dalam lagu pembuka bagian pertama dan kedua sama-sama menggunakan kalimat dari Yohanes Pembaptis. Recitative pembuka di bagian pertama menggunakan kalimat nubuat Yohanes, “The voice of him that crieth in the wilderness.” Sedangkan di bagian kedua, pujian paduan suara menggunakan kalimat dari Yohanes ketika ia sedang memperkenalkan Yesus di Sungai Yordan, “Behold the Lamb of God.

Gaya musik yang digunakan Handel dalam lagu pembuka bagian kedua ini memberikan unsur yang ironis. Di satu sisi, ia menggunakan gaya French Overture yang biasa digunakan untuk menggambarkan kemegahan sebuah kerajaan atau dalam upacara penyambutan raja. Sedangkan di sisi lain, teks dari lagu tersebut berbicara mengenai domba, binatang yang begitu lemah dan biasanya dikaitkan dengan korban persembahan. Ironi ini seolah ingin menggambarkan Yesus Kristus, Allah yang berinkarnasi dan rela untuk disalib demi menebus manusia yang berdosa. Selain itu, tangga nada yang digunakan adalah G minor, yang memberikan nuansa “tragic presentiment” (perasaan tragis).

Lagu ini dimulai dengan continuo yang melompat turun satu oktaf, lalu diikuti dengan violin yang melompat naik satu oktaf, untuk mengekspresikan kata “behold” yang dinyanyikan oleh paduan suara. Seperti yang pernah kita bahas di dalam artikel sebelumnya, bahwa salah satu ciri khas dari choral pada zaman Baroque adalah teknik “word painting”, atau pengaturan musik yang disesuaikan dengan teks dari lagu tersebut. Ini merupakan bentuk harmonis dari iringan musik dengan teks di dalam menyampaikan pesan dari lagu kepada pendengar. (Gambar 1)

Setelah loncatan nada satu oktaf dalam kata “behold”, musik menggunakan pola melodi “descending scale”, atau rangkaian nada yang menurun dengan kunci minor, pola iringan dotted rhythms, dan tempo yang lambat. Musik seperti ini memberikan perasaan adanya suatu beban yang berat (weightiness). Nuansa musik ini sangat kontras dengan chorus penutup dari bagian pertama, yaitu “His yoke is easy”. Hal ini sesuai dengan pesan yang diberikan. “His yoke is easy and His burden is light” bagi orang-orang yang datang kepada Kristus, tetapi Kristus sendiri harus menanggung segala beban dosa kita yang ditimpakan kepada-Nya dan ini adalah hal yang berat. Maka Handel dengan tepat sekali menggambarkan hal ini dengan memberikan kontras di antara kedua lagu ini. Kontras ini memberikan kita pengertian yang jelas mengenai Kristus sebagai domba yang disembelih untuk menggantikan hukuman atas dosa-dosa kita.

Lalu pada bagian “that taketh away the sin of the world”, pola melodi yang menurun berubah menjadi naik. Pola ini seolah menjelaskan bahwa Kristus tidak hanya menanggung dosa, tetapi Ia membawanya pergi. Mazmur 103:12 menyatakan, “Sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita.” Ini adalah salah satu karya penebusan Kristus yang bukan hanya menanggung segala dosa kita, tetapi Ia menyelesaikan seluruh beban dosa ini dengan menanggung segala hukumannya. Ini adalah sebuah penghiburan bagi kita yang percaya kepada-Nya. Hal ini digambarkan oleh Handel pada bagian tengah dari lagu ini ketika sopran menyanyikan bagian “the sin of the world” dengan nada yang naik menuju nada tertinggi dari bagian sopran dan musik pun berubah menjadi kunci mayor, seolah memberikan sebuah resolusi. (Gambar 2)

Pada second half dari lagu ini, Handel memberikan penekanan yang lebih di bagian “that taketh away the sin of the world”. Ia menggabungkan bagian resolusi ini dengan memasukkan elemen-elemen yang memberikan nuansa weightiness. Pada bagian ini, sopran menyanyikan “that taketh away the sin of the world” dengan nada yang sama, sementara suara yang lain menyanyikannya dengan iringan dotted rhythms dan terkesan seperti orang yang berjalan dengan begitu lesu karena memikul beban berat, dan mereka menyanyikannya dengan pola melodi yang cenderung naik tetapi terasa tidak terlalu jauh atau signifikan. Penggabungan dua bagian ini menimbulkan suatu perasaan yang cukup paradoks, suara sopran seolah memberikan nuasa resolusi, tetapi di bagian yang lain kita merasakan beban berat dari dosa kita yang sedang dipikul oleh Kristus. Lagu ini seolah mengingatkan kita bahwa melalui Kristus kita dibebaskan dari kuasa dosa dan jeratan maut, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa semua itu dikerjakan oleh Kristus melalui sebuah misi tragis yang harus Ia jalani dengan begitu berat. Hal ini akan dijelaskan pada lagu berikutnya yang menjelaskan seberapa beratnya beban yang harus Kristus pikul di dalam menjalankan karya keselamatan ini.

Refleksi

Salah satu sebutan yang diberikan kepada Yesus Kristus adalah “Anak Domba Allah”. Sebutan ini secara eksplisit diucapkan pertama kali oleh Yohanes Pembaptis. Anak domba sering kali dikaitkan atau menjadi simbol sebagai persembahan yang tidak ada cacat atau murni. Dengan kata lain, Yohanes sedang menyebutkan bahwa Yesus adalah Juruselamat yang datang dari Allah. Ia akan menjadi korban tebusan yang sempurna dan terakhir. Maka Yohanes sedang memperkenalkan Yesus kepada orang banyak sebagai Sang Mesias yang akan menebus umat manusia. Ini adalah sebuah berita yang signifikan bagi bangsa Yahudi pada masa itu, karena hal ini berkaitan dengan sistem korban persembahan. Di dalam konteks theologi penebusan, kita mengenal istilah “substitusi” yang berarti korban (sacrifice). Konsep substitusi ini membawa kita kepada pengertian mengenai kematian Kristus yang menggantikan kematian kita karena dosa. Untuk memahami konsep ini lebih lagi, kita akan melihat beberapa bagian di dalam Alkitab yang sering kali digunakan untuk menjelaskan konsep ini.

Pertama, kisah ketika Allah memberikan perintah kepada Abraham untuk mempersembahkan Ishak, anaknya, sebagai korban bakaran di tanah Moria. Ketika di dalam perjalanan Ishak bertanya kepada Abraham, “Di sini sudah ada api dan kayu, di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?” Abraham menjawab, “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku” (Kej. 22:7-8). Kita semua mengetahui bahwa setelah ini, Allah mengirimkan malaikat-Nya untuk mencegah Abraham mengorbankan anaknya, dan Ia menyediakan domba untuk menggantikan Ishak sebagai korban. Meskipun bagian ini pada dasarnya merupakan sebuah ujian terhadap iman Abraham, kita tetap bisa melihat adanya substitusi. Allah menyediakan korban pengganti untuk Abraham, menggantikan Ishak yang hendak dikorbankan. Hal ini merupakan sebuah bayang-bayang mengenai kisah penebusan yang sebenarnya, yaitu “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua” (Rm. 8:32a). Kristus, Sang Anak, datang ke dunia dan menyerahkan diri-Nya sebagai korban pengganti atas dosa-dosa kita.

Kedua, ketika Allah, melalui Musa, hendak membebaskan Israel dari Mesir. Pada tulah yang terakhir, Allah memerintahkan bangsa Israel untuk mempersiapkan seekor anak domba yang tidak bercela dan menyembelihnya. Lalu darahnya harus mereka bubuhkan pada kedua tiang dan ambang atas pintu rumah. Hal ini dilakukan untuk melindungi mereka dari tulah terakhir yang Allah berikan kepada Mesir, yaitu kematian anak sulung (Kel. 12:11-13). Sejak peristiwa ini, persembahan anak domba menjadi sebuah sistem persembahan yang dilakukan oleh bangsa Israel setiap tahunnya. Sistem ini terus berlangsung di sepanjang Perjanjian Lama sebagai simbol dari keseriusan Allah terhadap dosa, dan persembahan ini adalah jalan pendamaian dengan-Nya. Namun, sistem ini pada dasarnya tidak pernah cukup atau mampu untuk memenuhi tuntutan Allah, sehingga sistem ini memerlukan korban yang sejati, yang sempurna, dan berkenan di hadapan Allah. Hal ini jelas dinyatakan di dalam Ibrani 10. Seluruh sistem persembahan di sepanjang Perjanjian Lama adalah bayang-bayang dari karya penebusan Kristus di atas kayu salib. Melalui karya penebusan ini, Kristus membungkus kita dengan darah-Nya dan melindungi kita dari kematian.

Kristus adalah Anak Domba Allah yang merupakan korban persembahan yang sempurna. Ia adalah satu-satunya jalan pendamaian kita dengan Allah. Kristus menjadi substitusi kita, sehingga Allah mencurahkan murka-Nya atas segala dosa kita kepada Kristus, bukan kita. Betapa signifikannya karya Kristus di dalam keselamatan yang kita peroleh. Oleh karena itu, kita harus berkata seperti Yohanes Pembaptis, “Behold the Lamb of God.” Melalui perkataan ini, setidaknya ada dua hal implikasi praktis yang kita harus terus jalankan. Pertama, di sepanjang sisa hidup ini, marilah kita terus memandang kepada Kristus. Sebagai umat yang sudah ditebus-Nya, sudah seharusnya kita memiliki kerinduan untuk makin mengenal Dia dan terus mengikuti-Nya. Kasih terbesar dan teragung yang Ia nyatakan di atas kayu salib seharusnya mendorong kita untuk mengasihi-Nya dengan terus memandang dan taat kepada-Nya. Kedua, dengan hidup dan perkataan kita, marilah kita bersaksi mengenai Sang Anak Domba Allah. Dunia ini tidak mungkin memiliki pengharapan yang lain selain Kristus. Dengan jelas Alkitab sudah menyatakan berulang kali bahwa Kristus adalah satu-satunya jalan pendamaian kita dengan Allah. Hanya melalui-Nya seluruh dosa kita diselesaikan dan kita dapat memperoleh hidup yang baru. Melalui pujian pembuka bagian kedua Oratorio Messiah ini, marilah kita kembali merenungkan seluruh pengertian ini, terus memandang kepada-Nya, dan makin hari makin berani untuk menjadi saksi-Nya. Kiranya Tuhan menolong kita!

Simon Lukmana

Pemuda FIRES