Reflection on Oratorio Messiah (16): Christ’s Suffering

Redemption atau penebusan adalah sebuah momen yang penting di dalam sejarah manusia, karena melalui momen inilah arus sejarah dapat diputarbalikkan menuju kekekalan. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, sejarah manusia secara bertahap sedang menuju kepada kehancuran dan penghakiman kekal. Alkitab dengan jelas mencatat bagaimana kerusakan dan kebejatan manusia terjadi di dalam sejarah. Jikalau Tuhan tidak melakukan intervensi di dalam sejarah, walaupun dengan menyatakan murka-Nya, mungkin umat manusia saat ini sudah punah karena kerusakan dan kebobrokan mereka. Ambil contoh saja, zaman Nuh. Dengan jelas Alkitab mencatat bahwa apa yang dipikirkan oleh manusia hanyalah kejahatan semata. Bayangkan sebuah masyarakat yang di dalam hatinya penuh dengan keinginan berbuat jahat, itu pasti sebuah lingkungan yang begitu mengerikan dan mencekam. Di mana pun kita berada, kita pasti akan hidup dengan penuh kekhawatiran dan kecurigaan karena orang-orang di sekeliling kita memiliki motivasi yang jahat. Apa jadinya jikalau masyarakat yang seperti demikian dibiarkan hidup beberapa generasi lagi? Mungkin berbagai penyakit akan muncul, tindakan-tindakan kriminal yang begitu keji terjadi di mana-mana, dan cepat atau lambat manusia pasti akan mengalami kebinasaan. Di tengah situasi seperti ini, Allah melakukan intervensi dengan menurunkan air bah dan menyelamatkan sekelompok orang saja. Ini adalah bentuk pemeliharaan Tuhan bagi umat manusia di dalam sejarah. Masih banyak contoh lain seperti kisah Menara Babel, Sodom dan Gomora, dan masih banyak lagi intervensi Allah di dalam sejarah untuk memelihara manusia dari penghancuran diri mereka sendiri. Ini adalah salah satu bentuk pemeliharaan Allah dengan menyatakan murka-Nya kepada ciptaan-Nya.

Namun intervensi Allah yang terbesar terjadi bukan di dalam peristiwa-peristiwa tersebut, tetapi di dalam kehadiran Sang Allah Anak di dalam dunia ciptaan ini. Ia hadir tidak lagi untuk menyatakan murka Allah tetapi justru untuk menanggung murka-Nya. Bukan hanya itu saja, kehadiran Kristus menjadi titik balik (turning point) kehidupan kaum pilihan-Nya. Murka Allah dan kebinasaan yang menghantui kehidupan mereka kini berubah menjadi pengharapan akan hidup yang kekal. Karya keselamatan yang Kristus lakukan adalah sebuah pekerjaan yang tuntas dilakukan. Sehingga kita yang berdosa dapat diubahkan menjadi seorang yang dibenarkan. Ini adalah momen yang sangat penting bagi orang percaya. Karena melalui karya Kristus ini, kita mendapatkan jaminan hidup kekal. Di dalam Yesaya 53:4-6 dengan jelas dinyatakan bagaimana karya penebusan Kristus dijalankan demi kita. Dan bagian inilah yang juga dipakai menjadi salah satu bagian Oratorio Messiah. Sebuah bagian yang dirangkai di dalam tiga lagu chorus (dinyanyikan oleh paduan suara) secara berkesinambungan. Bagian inilah yang akan kita bahas secara singkat di dalam artikel ini.

24. Chorus: Surely, He hath borne our griefs

Surely, He hath borne our griefs and carried our sorrows; He was wounded for our transgressions, He was bruised for our iniquities; the chastisement of our peace was upon Him. (Isa. 53:4,5)

Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggung-Nya, dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya, Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita; Ia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya. (Yes. 53:4,5)

Pada lagu pertama dari tiga rangkaian lagu chorus ini, Handel kembali menggunakan rapid dotted rhythms seperti yang digunakan dalam lagu He was despised pada bagian “He gave His back to the smiters.” Dengan kembali menggunakan pola iringan seperti ini, kita seolah-olah kembali dibawa untuk membayangkan penyiksaan yang Kristus alami ketika mendengarkan bagian ini. Selain itu, pada kata “Surely”, biasanya koor akan menyanyikan dengan intonasi yang sangat kental bahkan terdengar seperti menyentak untuk memberikan penekanan seperti seorang yang sedang meyakinkan orang lain. Dan pada bagian ini pun melodi dinyanyikan secara dotted rhythms untuk memberikan intonasi yang kental. Dan hal ini diikuti dengan melodi dan iringan yang juga tetap memberikan kesan mencekam. Hal ini seolah-olah ingin mengingatkan kita bahwa segala berkat, anugerah, dan harapan yang kita peroleh dari karya keselamatan Kristus harus Ia jalani dengan melalui berbagai penderitaan. Kalimat “He hath borne our griefs and carried our sorrows” adalah bagian yang dinyanyikan oleh paduan suara dengan intensitas yang tinggi untuk memberikan penekanan dan keseriusan dari berita ini. Hal ini bagaikan seorang pengkhotbah yang sedang berteriak dan dengan tegas menyatakan bahwa Kristus benar-benar menanggung seluruh kesengsaraan yang seharusnya kita terima karena dosa-dosa kita.

Namun suasana dengan drastis berubah di kalimat “He was wounded for our transgressions, He was bruised for our iniquities.” Pada bagian ini, orkestra bergabung dengan paduan suara di dalam menyanyikan bagian yang memiliki alunan yang sustained, yang diisi dengan harmoni yang disonan dan ritme yang lebih stabil dengan penekanan pada kata “bruised” dan “our iniquities”. Bagian ini menjadi sebuah bagian yang seolah-olah membawa kita untuk merenungkan dengan lebih contemplative bagaimana kesengsaraan yang Kristus alami ketika Ia hendak disalibkan, semua itu adalah karena dosa-dosa kita yang ditanggung oleh-Nya. Bagian ini sering kali menjadi bagian yang sangat menyayat hati karena kita dibawa untuk benar-benar merenungkan kesengsaraan yang Kristus alami, dan semua itu dilakukan “for our iniquities”. Pada kata “our”, Handel memberikan nada yang harus ditahan 2-3 ketuk dan sering kali dinyanyikan dengan intensitas yang ditahan untuk menggambarkan hati yang terenyuh karena melihat penderitaan Kristus.

Setelah bagian ini, musik langsung kembali ke dalam iringan rapid dotted rhythms dengan paduan suara menyanyikan frasa terakhir dari chorus ini, “the chastisement of our peace was upon Him”. Pada bagian kata “the chastisement”, koor menyanyikannya secara bersahut-sahutan antara sopran–tenor dan alto–bas, serta dinyanyikan dengan staccato atau penekanan di setiap suku katanya, yang seolah-olah seperti menggambarkan siksaan-siksaan yang ditimpakan kepada Kristus agar kita memperoleh kedamaian.

25. Chorus: And with His stripes we are healed

And with His stripes we are healed. (Isa. 53:5)

Dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. (Yes. 53:5)

Di dalam lagu chorus yang kedua ini, Handel menggunakan teknik fugue yang sangat kental, yang dikenal dengan nama stile antico (old style) atau stylus ecclesiasticus (church style). Tema dari lagu tersebut diulang berkali-kali dengan menggunakan teknik fugue, dimulai dari satu suara menyanyikan tema tersebut lalu diikuti oleh suara lain, kemudian disusul oleh yang lainnya, dan teknik ini berada di sepanjang lagu. Sehingga kita akan mendengar tema lagu ini berkali-kali di sepanjang lagu, dinyanyikan bergantian oleh setiap suara di dalam paduan suara. Kita tidak mungkin melewatkan pesan dari lagu tersebut. Salah satu yang sangat menonjol adalah ketika menyanyikan frasa “His stripes” yang dikarang dengan nada yang melompat jauh ke bawah dan memiliki ketukan yang cukup panjang, serta dengan harmoni yang disonan di kata “stripes” untuk memberikan adanya tensio, sehingga kita bisa merasakan suatu perubahan harmoni di dalam frasa “we are healed” seperti sebuah resolution. Bagaikan sesuatu yang kurang pas lalu bertahap dibenarkan sehingga kita merasakan harmoni yang enak dan nyaman untuk didengar.

26. Chorus: All we like sheep have gone astray

All we like sheep have gone astray; we have turned everyone to his own way; and the LORD hath laid on him the iniquity of us all(Isa. 53:6)

Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian (Yes. 53:6)

Terdapat perubahan yang cukup drastis di dalam chorus yang ketiga ini dibandingkan dengan dua chorus sebelumnya. Lagu ini dinyanyikan dengan kunci F mayor, sementara dua lagu sebelumnya menggunakan kunci F minor. Selain itu, lagu ini juga dinyanyikan dengan tempo yang cepat, harmoni yang sederhana karena tidak adanya harmoni yang disonan, dan tekstur lagu yang seperti melayang-layang dan tidak kompleks. Hal yang sangat sulit dibayangkan adalah keberadaan musik ini setelah dua lagu yang begitu berat dan serius, lalu secara mendadak di dalam lagu ini musik menjadi begitu santai, dan terkesan dangkal atau main-main. Sementara, teks dari lagu ini adalah sebuah pengakuan dosa. Rangkaian musik yang seperti ini mungkin dianggap sangat membingungkan dan menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana lagu yang terkesan begitu ceria dan main-main dapat menggambarkan sebuah pengakuan dosa?

Di dalam lagu ini, Handel melakukan suatu perubahan konsep. Jikalau di dalam dua lagu sebelumnya Handel menggunakan nada dan iringan yang tepat untuk menggambarkan kata-kata yang dinyanyikan, di dalam lagu ini Handel lebih menggambarkan natur dari orang yang mengakui dosa tersebut. Sehingga di dalam lagu ini kita dapat melihat sisi “kebodohan” dari orang-orang berdosa seperti domba yang tersesat menjauh dari sang gembala. Hal ini tercermin di dalam bagian melodi yang melismatik di kata “astray”. Pada bagian ini, Handel merangkai seolah-olah setiap suara bergerak ke arah masing-masing dan menimbulkan kesan menjauh. Selain itu, penggambaran yang lebih jelas ada di dalam kata “turned” di mana melismatik setiap suara terdengar seperti “kacau” bagaikan domba yang berjalan ke mana-mana, tercerai-berai, dan tersesat.

Lalu sebelum memasuki bagian terakhir, semua suara secara bersama-sama menyanyikan dengan tegas, biasanya dengan staccato, “we have turned every one to his own way”.

Lalu ketika memasuki kalimat yang terakhir dari lagu ini, musik secara tiba-tiba berubah menjadi sangat dramatis dengan iringan seperti di dalam lagu And with His stripes. Perubahan secara mendadak di dalam lagu “All we like sheep” ini adalah perubahan yang paling dramatis di dalam sejarah musik. Dan dalam kalimat terakhir ini, chord pun berubah menjadi F minor. Tempo secara mendadak menjadi lambat, dan pergerakan nada yang menurun bertahap ½ not memberikan sebuah kesan yang sangat berat dan serius di dalam bagian “and the Lord has laid on Him”. Lalu setelah kalimat ini, biasanya musik akan terhenti sejenak, dan secara perlahan musik menyanyikan “the iniquity of us all”. Ini adalah sebuah kontras yang sering kali diinterpretasi sebagai sebuah momen penyesalan dari orang berdosa. Ketika sebelumnya kita telah begitu sembrono berbuat dosa dengan riang dan gembira, pada satu titik kita akan menyesali segala perbuatan dosa itu. Penyesalan itu akan datang ketika kita bertemu dengan Kristus dan menyadari segala penderitaan yang telah Ia alami untuk menanggung dosa kita. Melalui bagian terakhir lagu ini, kita dibawa untuk kembali merenungkan kembali betapa bodohnya kita telah berdosa, dan kita diajak untuk melihat kembali kepada Kristus yang telah menderita dan telah menjadi Juruselamat kita.

Refleksi

Seperti yang pernah kita bahas di dalam beberapa artikel sebelumnya, karya penebusan yang Kristus kerjakan di dalam hidup-Nya merupakan sebuah pekerjaan yang secara tuntas dikerjakan. Ia tidak hanya menebus dosa kita saja, tetapi Ia juga memberikan kebenaran-Nya kepada kita, sehingga kita bisa diterima oleh Allah kembali.

Di dalam theologi, kita mengenal sebuah istilah yaitu double imputation. Hal ini berarti bukan hanya kesalahan dan dosa kita saja yang ditanggung oleh Kristus, tetapi juga kebenaran Kristus diberikan kepada kita juga. Untuk mengerti hal ini dengan lebih jelas, kita akan sedikit membahas mengenai ketaatan Kristus.

Di dalam theologi, ketaatan Kristus dibagi menjadi dua jenis yaitu active obedience dan passive obedienceActive obedience berarti di dalam kehidupan-Nya, Kristus sepenuhnya taat kepada Allah sejak dari Ia lahir hingga akhirnya mati disalib. Seperti yang dinyatakan di dalam Filipi 2:8, “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Seluruh kehidupan yang Kristus jalani adalah kehidupan yang sepenuhnya taat kepada seluruh rencana keselamatan Allah. Dan kehidupan seperti inilah yang benar dan berkenan kepada Allah. Kebenaran inilah yang diimputasikan kepada kita yang berdosa, sehingga kita dianggap benar oleh Allah. Bukan karena kebenaran diri kita sendiri tetapi karena kebenaran Kristus.

Ketaatan Kristus yang kedua adalah passive obedience yang berarti ketaatan Kristus di dalam kesengsaraan dan kematian-Nya. Ini berarti Kristus taat di dalam menjadikan diri-Nya sebagai korban penebusan bagi umat-Nya. Terdapat beberapa istilah theologi yang sering kali digunakan untuk mengerti hal ini.

1. Expiation yang berarti Kristus menanggung dosa-dosa kita, dan menjadikan diri-Nya berdosa di hadapan Allah. Ia menjadi substitusi dari segala dosa kita, sehingga seluruh ganjaran dari dosa-dosa kita ditimpakan kepada-Nya yaitu hukuman mati. Maka kita tidak perlu lagi takut akan maut karena semuanya itu sudah ditanggung oleh Kristus. Segala kesalahan kita sudah ditanggung oleh Kristus sehingga kita dianggap benar di hadapan Allah.

2. Propitiation, hal ini berarti Kristus menanggung segala murka Allah akibat dari dosa kita. Murka Allah atas dosa yang seharusnya ditimpakan kepada kita, akhirnya ditanggung oleh Kristus di atas kayu salib. Sehingga ketaatan Kristus di atas kayu salib adalah ketaatan yang meredakan atau memuaskan murka Allah.

3. Reconciliation, karena kita sudah dianggap benar oleh Allah (expiation) dan Ia tidak lagi murka kepada kita (propitiation), maka kita sudah berekonsiliasi dengan Allah dan Ia tidak lagi menganggap kita sebagai seteru-Nya (2Kor. 5:18-19). Kita sudah hidup berdamai dengan Allah, bahkan kita hidup bersekutu dengan Allah di dalam kekekalan.

4. Redemption, yang berarti menebus atau membeli kembali. Di dalam Markus 10:45, Yesus berkata bahwa Ia datang untuk memberikan diri-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang. Pengorbanan Kristus di atas kayu salib adalah sebuah pekerjaan agung untuk menebus banyak orang dan menjadikan mereka sebagai milik kepunyaan-Nya. Sehingga kita semua adalah milik Allah baik karena Ia adalah Sang Pencipta maupun Sang Penebus kita.

Di dalam konteks Jumat Agung dan Paskah, kita semua diajak kembali untuk merenungkan makna sengsara dan kematian Kristus di atas kayu salib. Karya penebusan yang Kristus sudah tuntas kerjakan di atas kayu salib. Biarlah ketika kita mendengar bagian Oratorio Messiah ini, kita dapat kembali mengingat akan segala derita dan sengsara Kristus yang karenanya kita ditebus dan dibenarkan di hadapan Allah.

Simon Lukmana

Pemuda FIRES