Artikel pembahasan Oratorio Messiah saat ini sudah memasuki lagu terakhir dari Part 2 oratorio tersebut. Lagu penutup bagian kedua ini, “Hallelujah”, merupakan lagu yang paling terkenal di antara seluruh lagu yang ada di dalam Oratorio Messiah ini. Mayoritas paduan suara di dunia ini, baik paduan suara Kristen maupun non-Kristen, pasti pernah menyanyikan lagu tersebut. Bahkan banyak film yang mengambil potongan lagu ini sebagai soundtrack di dalam filmnya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa lagu ini merupakan lagu yang paling menarik bagi pendengar dan bisa dibilang yang paling agung dan megah di dalam Oratorio Messiah. Yang lebih menarik lagi, setiap lagu ini dipentaskan, seluruh penonton selalu diminta untuk berdiri selama mendengarkan lagu tersebut.
Hal ini terjadi karena sebuah tradisi yang dibentuk sejak tahun 1743, yaitu ketika pementasan premiere dari karya ini di London. Ketika itu Raja George II berdiri saat mendengarkan lagu ini dimainkan, dan hal ini mendorong penonton yang lain untuk ikut berdiri. Walaupun banyak tafsiran mengenai alasan Raja George II berdiri, tetapi ada beberapa sumber yang memperkirakan bahwa sang raja berdiri karena hatinya tergerak ketika mendengar lagu yang begitu agung ini. Sejak saat itulah terbentuk tradisi untuk berdiri ketika lagu tersebut dimainkan. Terlepas dari alasan berdirinya Raja George II, tradisi ini merupakan sebuah tradisi yang baik karena memang seharusnya kita menghormati Kristus yang telah mati dan bangkit untuk memberikan anugerah keselamatan kepada kita. Kristuslah Juruselamat yang layak menerima segala pujian dan hormat dari seluruh ciptaan ini, terutama umat tebusan-Nya.
44. Chorus: Hallelujah!
Hallelujah! For the Lord God Omnipotent reigneth! Hallelujah! The Kingdom of this world is become the Kingdom of our Lord and of His Christ, and He shall reign forever and ever. King of kings and Lord of lords. (Rev. 19:6; 11:15; 19:16)
Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja! Haleluya! Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-selamanya. Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan. (Why. 19:6; 11:15; 19:16)
Di dalam Wahyu 19, Yohanes menuliskan beberapa kali kata “haleluya”, dan teks yang digunakan dalam “Hallelujah” diambil dari ayat ke-6, yaitu “haleluya” ketiga kali yang digunakan dalam pasal ini. Di dalam “haleluya” yang ketiga kali ini, Yohanes mengaitkannya dengan perkawinan Anak Domba. Di dalam oratorio ini, “Hallelujah” ditempatkan sebagai pujian kemenangan atas para raja dan negara-negara yang memberontak kepada Allah. Kalau melihat hal ini, “haleluya” ini lebih cocok dikaitkan dengan “haleluya” pertama dan kedua dari Wahyu 19 ini, karena kedua bagian itu dikaitkan dengan kejatuhan Kerajaan Babel. Tetapi Jennens menggunakan ayat yang ke-6 karena ia ingin memberikan makna terkait dengan sukacita dari sebuah peristiwa yang begitu penting, yaitu perkawinan Anak Domba, atau di dalam Oratorio Messiah adalah diangkatnya Sang Anak Domba menjadi Raja. Sang Anak Domba telah menderita dan mati demi menanggung dosa seluruh dunia, dan yang juga telah bangkit dari kematian, lalu naik ke sorga. Ia adalah Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan yang memerintah untuk selama-lamanya.
Lagu ini dimulai dengan orkestra yang memainkan melodi salah satu dari dua motif nada dari kata “hallelujah”. Motif yang dimainkan sebagai pembuka adalah motif “HAL-le-lu-jah” yang dinyanyikan beberapa kali, lalu masuk ke dalam motif kedua “hal-le-LU-jah”. Kedua motif ini berulang kali digunakan di sepanjang lagu untuk membangun suasana yang riang dan sukacita. Hal ini ditambah dengan pola yang bersahut-sahutan menyanyikan “hallelujah” antara paduan suara dan orkestra.
Setelah membuka dengan sukacita, lagu ini memasuki bagian yang menjelaskan mengapa bersukacita, yaitu “for the Lord God Omnipotent reigneth”. Pada bagian ini paduan suara menyanyikan secara unison dengan nuansa yang agung dan meriah. Salah satu bagian yang menjadi sorotan adalah lompatan nada satu oktaf dari tinggi ke rendah lalu langsung ke tinggi lagi di tengah frasa ini, di bagian kata “God Om-ni…”. Penggunaan lompatan nada ini menambah kekuatan dari lagu tersebut.
Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan melodi di dalam frasa ini terinspirasi dari melodi lagu “Wie schön leuchtet der Morgenstern” (How Lovely Shines the Morning Star) karya Phillip Nicolai. Melodi yang menjadi inspirasi adalah pada bagian frasa kelima dari bait pertama lagu ini, yaitu pada bagian “Mein König und mein Bräutigam” (My King and my Bridegroom). Bagian ini juga menceritakan kisah penobatan raja dan perkawinan.
Bagian ini dilanjutkan dengan mengulang kembali “hallelujah” menggunakan motif yang kedua, namun ditambah dengan alat musik trompet untuk menambah kemeriahan. Pola ini diulang sebanyak empat kali, hingga pada kali yang terakhir kalimat “for the Lord God…” dan “hallelujah” dinyanyikan secara paralel dan bersahut-sahutan, untuk menggambarkan sukacita yang disertai dengan sorak-sorai kegembiraan.
Lalu, lagu ini memasuki bagian kalimat “The Kingdom of this world…” yang dinyanyikan baik oleh paduan suara maupun orkestra di dalam range nada yang rendah. Setelah bagian “is become”, secara tiba-tiba paduan suara dan orkestra melompat menyanyikan “the Kingdom of our Lord and of His Christ” dengan menggunakan range nada yang tinggi. Ada beberapa penelitian yang mengaitkan melodi pada frasa “The Kingdom of this world…” dengan melodi lagu “Wachet auf, ruft uns die Stimme” karya Nicolai. Kedua lagi ini memiliki tema yang kurang lebih mirip, yaitu berkaitan dengan penyambutan kedatangan sang mempelai yaitu Kristus sebagai Mempelai Laki-laki dan Kepala Gereja.
Selanjutnya, lagu ini memasuki bagian “and He shall reign forever and ever” yang menggunakan “short fugal”. Setelah setiap suara di paduan suara menyanyikan bagian ini, lagu memasuki bagian “King of kings…” yang dinyanyikan secara berulang-ulang dengan nada yang makin tinggi, lalu ditutup dengan kalimat “forever and ever, Hallelujah, Hallelujah” yang dinyanyikan secara meriah dan bersahut-sahutan sebagai penutup lagu ini dengan suasana yang penuh sukacita.
Refleksi
Kata “haleluya” hanya muncul sebanyak dua puluh empat kali di dalam Perjanjian Lama dan empat kali di Perjanjian Baru. Di Perjanjian Lama, kitab yang paling banyak memuat kata “הַלְּלוּיָהּ” adalah Kitab Mazmur. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, kata “ἀλληλούϊα” hanya muncul di Wahyu 19. Istilah “haleluya” itu sendiri memiliki arti memberikan pujian kepada Allah, atau lebih tepatnya kata ini merupakan sebuah perintah untuk memuji Allah. Yang menarik dari kata ini adalah ketika kita mengucapkannya, kita sedang memerintahkan pendengar untuk memuji Allah, sekaligus pada saat bersamaan kita memuji Allah melalui kata itu sendiri.
Hal lain yang cukup menarik adalah ketika kita membandingkan dengan kebiasaan orang Kristen saat ini yang sering sekali mengucapkan kata “haleluya”, karena ternyata tidak terlalu banyak digunakan di Alkitab, apalagi di dalam Perjanjian Baru yang hanya digunakan sebanyak empat kali. Seperti yang sudah dibahas di awal artikel ini, penggunaan kata “haleluya” di dalam Wahyu 19 dapat kita rangkum hanya di dalam dua konteks, yaitu kehancuran Babel dan perkawinan Anak Domba; yang pertama di dalam konteks pernyataan keadilan (righteousness) Allah dan yang kedua di dalam konteks perayaan kehadiran Sang Anak Domba ke dunia ini.
Bagian akhir lagu menegaskan fakta bahwa kehadiran Allah bukan hanya untuk menyatakan kasih dan belas kasihan-Nya kepada umat pilihan-Nya, tetapi juga untuk menyatakan keadilan-Nya terhadap dunia berdosa ini. Di dalam Wahyu 19, tiga kali penggunaan kata “haleluya” justru terkait dengan konteks pernyataan keadilan Allah yang menghancurkan Babel, atau bisa juga dimengerti sebagai hancurnya kerajaan dunia. Babel di dalam konteks ini adalah segala bentuk keduniawian yang menghalangi atau merebut kemuliaan yang seharusnya kita berikan kepada Allah. Maka sebenarnya ketika kita mengucapkan “haleluya”, kita sedang merelakan segala “kerajaan dunia” yang sedang kita bangun, seluruh hal yang mungkin mengalihkan doksologi hidup kita kepada Allah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kebiasaan orang Kristen saat ini yang dengan mudah mengucapkan “haleluya” bahkan untuk hal-hal yang egois, yang sebenarnya menarik mereka makin jauh dari kehidupan yang memuji Allah. Memang di dalam setiap berkat yang kita terima sudah seharusnya kita memuji Allah, tetapi yang sering kali tidak kita sadari adalah hal yang kita anggap berkat bisa jadi adalah kutukan yang membawa kita makin jauh dari Allah. Oleh karena itu, sebagai orang percaya, seharusnya kita dengan teliti dan jelas melihat setiap hal yang terjadi di dalam hidup kita. Karena sebagai umat tebusan-Nya, seharusnya seluruh fokus hidup kita diarahkan hanya untuk kemuliaan Tuhan, bukan kepada hal yang lain, apalagi kepada diri kita sendiri.
Selain itu, dari konteks pertama penggunaan kata “haleluya” di Wahyu 19, kita pun harus belajar untuk memuji Allah di tengah kesulitan atau malapetaka yang kita terima. Melalui pembelajaran di dalam Alkitab, kita dapat menyadari bahwa Tuhan beberapa kali membiarkan atau bahkan secara aktif mengirimkan bangsa kafir datang untuk menghancurkan bangsa Israel. Semua itu dilakukan sebagai sebuah hukuman atas Israel yang sudah “melacurkan” dirinya kepada berhala-berhala pada zaman itu. Dari pembelajaran ini kita juga dapat melihat bahwa Allah dapat berkarya melalui malapetaka ataupun musibah yang kita alami untuk menyadarkan serta melepaskan kita dari jeratan dunia dan akhirnya kembali kepada Allah. Inilah anugerah Allah yang diberikan kepada kita melalui penderitaan dan kesulitan, atau di dalam Alkitab hal ini juga sering dikenal sebagai “baptism of fire”.
Penggunaan istilah “haleluya” yang kedua adalah di dalam konteks perjamuan kawin Anak Domba, atau terkait dengan kedatangan Yesus yang kedua kali, perkawinan antara Kristus sebagai Kepala Gereja dan Gereja sebagai tubuh-Nya. Peristiwa ini tentu merupakan sebuah peristiwa yang sangat kita nanti-nantikan sebagai orang percaya, peristiwa di mana kita akan dipersatukan dan hidup bersama dengan Kristus di dalam kekekalan. Ketika hal itu terjadi, kita semua sudah disempurnakan dan hidup di dalam sukacita bersama dengan Allah di dalam langit dan bumi yang baru. Kiranya kehidupan kita dipenuhi dengan pujian kepada Allah, bukan hanya sebagai ucapan di lidah saja, tetapi sebagai sebuah komitmen kehidupan yang dipersembahkan sepenuhnya bagi kemuliaan Allah.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES