Reflection on Oratorio Messiah (9): Suffering, Hope, and the Gospel

Adakah di antara seluruh umat manusia yang tidak memerlukan penghiburan? Tidak ada. Selama dosa masih ada, selama penderitaan dan kesulitan masih ada, penghiburan selalu diperlukan oleh siapa pun yang mengalami penderitaan tersebut. Jenis dari penderitaan yang dialami setiap orang pun berbeda-beda. Ada penderitaan yang merupakan akibat dari tindakan berdosa orang yang mengalaminya. Ada juga penderitaan yang dialami sebagai imbas dari kesalahan orang lain. Ada juga yang dialami karena faktor eksternal yang hampir tidak bisa dikendalikan oleh manusia, seperti bencana alam, wabah, krisis ekonomi, dan lain-lain. Apa pun yang menjadi asal atau penyebab penderitaan itu, setiap orang yang mengalaminya memerlukan penghiburan.

Hal yang serupa dialami oleh bangsa Israel ketika pembuangan ke Babel. Di masa pembuangan ini Israel mengalami banyak sekali penderitaan, mulai dari dihancurkannya tembok kota, dirobohkannya Bait Allah, perampokan dan penjarahan, banyak pemuda yang terbaik dijadikan sida-sida, dan lain-lain. Semua hal ini menghancurkan baik harga diri maupun identitas bangsa Israel. Bagi kita yang berada di zaman modern ini, kondisi yang dialami bangsa Israel mungkin mirip dengan kondisi perbudakan, di mana kita harus tunduk kepada suatu bangsa atau tuan dan menjalani kehidupan sesuai dengan keinginan tuan tersebut. Sederhananya, hak hidup sebagai manusia yang sewajarnya sudah tidak lagi dimiliki dan segala yang menjadi simbol identitas ataupun kebanggaan bangsa tersebut dihancurkan. Ini adalah suatu kondisi yang begitu menyedihkan dan penuh dengan penderitaan.

Di tengah kondisi pembuangan inilah pesan dari Yesaya 40 ini datang kepada mereka. Sebuah janji akan adanya pembebasan dan pemulihan kembali disampaikan kepada umat Allah. Pesan yang berisi pengharapan ini merupakan sebuah penghiburan yang besar bagi bangsa Israel. Janji yang Tuhan sudah berikan sejak nenek moyang mereka, kembali didengungkan bagi mereka di tengah pembuangan. “Comfort, O comfort my people…”, inilah pesan yang disampaikan langsung oleh Allah yang berdaulat. Sebuah resolusi yang Allah berikan bagi umat-Nya di tengah tekanan. Sebuah pesan yang menghibur dan memberikan pengharapan. Di balik pesan penghiburan dan pengharapan ini, yang menjadi focal point-nya adalah kehadiran dari Sang Messias.

Inilah kondisi atau latar belakang Yesaya 40 yang dijadikan teks pada bagian awal Oratorio Messiah. Kita mungkin sudah berulang kali mendengarkan karya Handel ini, bahkan kita bisa “sing along” ketika mendengarkannya. Namun ketika mendengarkannya kita mungkin hanya menikmati keindahan musiknya, tanpa benar-benar mengerti makna yang ada di baliknya. Di dalam artikel-artikel sebelumnya, kita sudah membahas mengenai makna Oratorio Messiah bagian pertama dari sudut pandang musik, maka pada artikel ini kita akan merenungkan dari sisi teks yang digunakan.

N. T. Wright memberikan sebuah pernyataan yang menarik mengenai bangsa Israel. Ia mengatakan bahwa titik nadir (titik paling rendah dalam kehidupan) bangsa Israel bukan ketika mereka dibuang ke Babel, tetapi ketika mereka berada di Bait Allah dan melakukan korupsi atau tindakan-tindakan berdosa lainnya. Pernyataan dari N. T. Wright ini menjadi sebuah refleksi yang harus kita renungkan baik-baik. Kita perlu menyadari bahwa penderitaan yang sesungguhnya adalah penderitaan akibat dosa. Momen pembuangan bangsa Israel ke Babel sebenarnya adalah gambaran dari manusia berdosa yang dibuang Allah. Manusia yang berdosa diserahkan ke dalam berbagai bentuk kelaliman yang ada di dalam dunia. Kalau bangsa Israel meratap karena pembuangan tersebut, ironisnya manusia berdosa banyak yang tidak meratap atas kehidupannya yang terjerat dosa. Bahkan mereka berpesta-pora di dalam jeratan dosa. Inilah kondisi manusia yang begitu jatuh terpuruk di dalam kubangan dosa.

Jikalau demikian, tidak ada satu pun dari kita yang terbebas dari konteks penderitaan tersebut. Namun yang menjadi pembeda adalah kita menyadari penderitaan ini atau tidak. Penderitaan ini bagaikan penyakit kanker yang berada di dalam diri seseorang. Ketika penyakit itu belum terdeteksi, orang itu mungkin merasa baik-baik saja, kalaupun ada gejala akan dianggap sebagai penyakit biasa yang wajar. Namun, kondisi seperti ini tidak akan berlangsung selamanya, kemungkinannya adalah terdeteksinya penyakit atau dibiarkan hingga titik di mana penyakit ini menjadi parah dan mendatangkan penderitaan yang jauh lebih berat. Bukankah hal ini serupa dengan manusia berdosa? Kita sering kali menyepelekan dosa, dan menganggap itu hal yang wajar terjadi. Namun, makin lama dosa makin menjerat kita hingga kepada titik kita mengalami penderitaan yang berat. Puncaknya, kita mengalami penderitaan yang bersifat kekal di dalam neraka.

Orang-orang Kristen yang ditindas atau dianiaya dan dipaksa tidak boleh beribadah adalah orang-orang yang menderita. Namun, yang lebih menderita dan sangat kasihan adalah orang-orang Kristen yang dapat beribadah dengan bebas tetapi sesungguhnya hatinya jauh dari Tuhan. Dalam perumpamaan anak yang hilang, si bungsu memang menghilang, pergi jauh meninggalkan ayahnya, tetapi pada akhirnya ia kembali. Di sisi lain, si sulung terus berada di dalam rumah ayahnya, tetapi ia terhilang, dan Alkitab tidak mencatat bahwa ia sadar dan “kembali” kepada ayahnya. Kehidupan orang Kristen seperti si sulung adalah seperti seekor tikus yang mati kelaparan di lumbung padi.

Maka, pesan yang disampaikan di dalam bagian pembuka Oratorio Messiah ini seharusnya menjadi sebuah perenungan sekaligus peringatan bagi setiap manusia, termasuk kita. Overture pembuka dari Oratorio Messiah membawa kita ke dalam gambaran kehidupan yang tanpa arah dan harapan. Kehidupan orang-orang yang terjerat di dalam dosa, yang secara tampak luar terlihat gembira dan bersukacita, tetapi di dalamnya penuh dengan kekelaman dan keterhilangan. Bagi orang-orang seperti inilah Kristus hadir untuk memberikan pengharapan dan penghiburan. Karena hanya di dalam Kristus, hati kita yang kosong menjadi kembali terisi. Kehadiran-Nya memberikan kita harapan, di tengah-tengah penderitaan yang kita harus lalui. Kristuslah yang menjadi puncak dari segala impian dan harapan manusia.

Banyak orang yang menjadikan kekayaan sebagai impiannya. Ada juga yang menjadikan karier atau pencapaian demi pencapaian sebagai hal yang ia kejar di dalam hidupnya. Namun, semua ini sebenarnya hanyalah sarana bagi kepuasan batin atau dirinya. Mereka berharap melalui kekayaan, prestasi, atau impian-impian lainnya, batin atau diri mereka memperoleh kepuasan. Berkaitan dengan hal ini, kita harus kembali mengingat perkataan yang pernah diucapkan oleh Pascal bahwa di dalam diri manusia ada ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh Kristus. Segala kepuasan, impian, dan kepenuhan yang manusia cari untuk mengisi kehidupannya, semua itu hanya dapat mereka temukan di dalam diri Sang Messias.

Pesan pengharapan inilah yang disampaikan Handel di dalam bagian awal oratorio ini. Pengharapan itu ada di dalam pribadi yang datang ke dunia ini dengan penuh kemuliaan. Kedatangan-Nya ke dunia ini digambarkan sebagai kemuliaan yang disingkapkan bagi kita, manusia yang berdosa. Sehingga orang-orang yang berjalan dalam kegelapan dapat melihat terang yang dapat memimpin mereka keluar dari kegelapan dan kekelaman tersebut. Melalui oratorio ini, kita diingatkan kembali mengenai siapa Kristus dan signifikansi kehadiran-Nya ke dalam dunia ini.

Namun, respons kita tidak bisa berhenti sampai di titik ini saja. Sebagai orang yang telah ditebus, kita dipanggil bukan hanya untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan, tetapi juga untuk menyatakan berita ini kepada orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Kita dipanggil untuk menyatakan berita ini di tengah-tengah berbagai ajaran dunia yang seolah terlihat lebih menjanjikan daripada Injil, termasuk berhadapan dengan segala serangan dari berbagai pemikiran dunia terhadap kekristenan. Seberapa berat pun misi ini, kita harus belajar untuk rela dan bersukacita menjalankannya. Jikalau kita tahu seberapa sulit dan menderitanya hidup di dalam jeratan dosa, kita perlu memiliki belas kasihan kepada orang-orang yang belum mengenal Tuhan karena mereka sedang menderita juga (baik disadari ataupun tidak). Semua ini kita lakukan karena kita menyadari siapa Allah yang kita percaya dan apa yang Ia telah kerjakan bagi dunia ini, khususnya bagi umat-Nya. Kiranya renungan singkat ini menyadarkan kita betapa signifikannya kehadiran Kristus dan juga pentingnya untuk rela menyatakan Injil kepada dunia yang berada di dalam kegelapan.

Simon Lukmana

Pemuda FIRES