“Seseorang hanya dapat melihat dengan sebaik-baiknya melalui hatinya, karena yang terpenting (dalam kehidupan) tidak terlihat oleh mata.”
Ini adalah kalimat terkenal dari novel berjudul “Le Petit Prince” (Sang Pangeran Kecil) [1], novel yang sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 500 bahasa, kedua terbanyak setelah Alkitab. Ceritanya tampak sederhana dan seolah-olah ditujukan kepada anak-anak: seorang pangeran kecil meninggalkan planetnya karena dia bertengkar dengan bunga mawar yang dia sayangi. Di dalam petualangannya, dia menjelajahi berbagai planet dengan penghuni-penghuni yang unik, hingga akhirnya sampai ke bumi. Di bumi, dia bertemu dengan seorang pilot, ular, dan rubah yang dapat berbicara.
Akan tetapi, novel ini mengandung banyak sekali nilai-nilai menarik yang dapat kita renungkan. Tema yang menonjol di dalam novel ini adalah mengenai betapa anehnya dunia orang dewasa di mata anak-anak. Dalam perjalanannya, sang pangeran bertemu dengan macam-macam orang dewasa di planet-planet yang dia kunjungi, dan banyak hal yang sangat mengherankan baginya: seorang raja yang sangat haus untuk ditaati namun tidak memiliki rakyat, seorang sombong yang selalu ingin dipuja, atau seorang pebisnis yang menghabiskan waktunya untuk menghitung bintang dan dengan demikian menganggap mereka sebagai miliknya. Diceritakan dari cara pandang polos sang pangeran yang masih kecil, novel ini mengajak kita merenungkan lagi nilai-nilai yang mungkin sering kita temui di sekitar kita.
Salah satu cerita yang amat menarik bagi saya adalah ketika di planet keenam dia bertemu dengan seorang ahli geografi. Pekerjaannya mencatat sungai, danau, atau gunung-gunung di planetnya, tetapi lucunya, ia tidak pernah meninggalkan mejanya, karena ia hanya mau mendengar dari para pengembara yang mengunjungi planetnya. Sang pangeran tertarik dan mulai menceritakan tentang planetnya, termasuk bunga mawarnya yang amat ia sayangi. Sang ahli berkata, “Ah, aku tidak peduli dengan bunga mawar, karena itu hanya fana! Aku hanya peduli dengan hal-hal yang kekal dan tidak berubah, seperti gunung-gunung besar yang kokoh.” Sang pangeran tertegun dan amat sedih mendengar itu. Dia tidak pernah berpikir bahwa bunga mawarnya itu fana, hanya sementara, dan akan berakhir suatu hari.
Ada sebuah kontras yang ditunjukkan di sini antara sang ahli geografi yang begitu mengagungkan hal-hal yang “kekal” seperti gunung yang tidak berubah, dan sang pangeran kecil yang mengasihi bunga mawarnya yang fana. Jika kita mengikuti jalan cerita buku ini, kemungkinan besar kita akan bersimpati dengan sang pangeran kecil, dan menganggap ahli geografi itu salah; hal-hal kekal yang dia agungkan tampak bagi kita sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan kasih sang pangeran kepada bunga mawarnya. Akan tetapi, kita perlu merenungkan dengan lebih dalam: manakah sesungguhnya hal yang lebih penting dan berharga, yang kekal atau yang sementara? Di satu sisi, tentu kita bisa menyebut hal-hal sementara yang bagi kita berharga, seperti lagu yang merdu, pohon-pohon yang baru berbunga, atau bahkan relasi dengan orang yang kita kasihi, yang kita tahu akan ada akhirnya. Tetapi di saat yang bersamaan, kita pun sering berharap bahwa hal-hal yang sementara itu dapat bertahan dan tidak berlalu. Kita tentu lebih menghargai relasi yang dapat bertahan lama. Jadi manakah yang lebih berharga, yang sementara, atau yang kekal? Di artikel ini, mari kita merenungkan hal ini terutama dari perspektif Alkitab.
Sebelum membahas lebih dalam, mungkin baik untuk kita mengingat betapa kuatnya suatu cerita dapat menyampaikan sebuah ide kepada pembacanya. Seluruh alur cerita novel Sang Pangeran Kecil mengarahkan kita untuk mempertanyakan hal-hal yang tampaknya lazim di dunia orang dewasa. Melalui alur cerita, percakapan, dan contoh-contoh yang diberikan, kita disuguhkan suatu ide yang menjadi mudah diterima oleh pembaca. Suatu ide yang sama bisa digambarkan amat baik atau amat buruk, tergantung niat sang pengarang, melalui cerita yang ia sampaikan. Francis Schaeffer [2] pernah mengatakan bahwa ide-ide baru dalam filsafat paling mudah diterima oleh masyarakat umum ketika ide tersebut muncul di cerita-cerita yang dikonsumsi orang banyak, misalnya melalui novel atau bahkan lagu. Dengan mengingat ini, kita bisa belajar untuk lebih peka dengan apa yang kita baca, dengar, atau tonton, terutama terhadap ide-ide di belakangnya yang mendasari karya tersebut.
Pengkhotbah: Kesementaraan yang sia-sia
Kembali ke bahasan kita, jadi bagaimana Alkitab memandang kekekalan dan kesementaraan? Kitab Pengkhotbah adalah salah satu kitab yang sangat kencang berbicara tentang hal ini. “Kesia-siaan, segalanya adalah sia-sia!” demikian kalimat yang sering diulang-ulang di kitab ini. Bagi Pengkhotbah, segala usaha manusia di “bawah matahari” adalah sia-sia, karena satu alasan utama: semua itu sementara. Kamu berhasil mengumpulkan harta yang banyak? Itu akan habis. Seorang raja membangun kerajaannya dengan baik? Itu akan hancur di generasi-generasi selanjutnya. Tidak ada yang kekal di bawah matahari, dan baginya itu amat melelahkan. Segala jerih upaya kita hanya sementara; bahkan orang bijak nasibnya sama dengan orang fasik, sama-sama mati dan menjadi debu, dan hasil kerjanya tidak ada yang bertahan. “Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari” (Pkh. 2:11).
Kekekalan menurut Pengkhotbah amatlah penting, namun di dunia ini kita dihadapkan dengan kesementaraan yang sungguh melelahkan. Ada dua ayat penting di mana ia membandingkan manusia dengan Allah dalam hal kesementaraan. Yang pertama di Pengkhotbah 3:11: “… Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” Di satu sisi, ayat ini menjelaskan mengapa manusia begitu mendambakan kekekalan, yaitu karena Allah sendiri yang memberikan kekekalan itu di dalam diri kita. Namun, ini dikontraskan dengan pekerjaan Allah yang amat besar. Kita merindukan kekekalan, tetapi kita tidak bisa memahami pekerjaan Allah dari awal sampai akhir, terbatasi oleh kesementaraan kita.
Ayat yang kedua yaitu di Pengkhotbah 3:14 yang mengatakan, “Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya, itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia.” Pekerjaan Allah amat kontras dengan manusia; yang kita kerjakan sifatnya sementara, tetapi pekerjaan Allah tetap ada untuk selamanya. Bukan hanya itu, tetapi juga bahkan tidak dapat ditambah atau dikurangi; artinya, yang kita lakukan tidak menambah apa pun terhadap pekerjaan Allah. Ketika kita menyadari kesementaraan kita dan melihat kekekalan pekerjaan Allah, kita dihadapkan pada perbedaan yang begitu besar antara kita dan Allah, yang membuat kita gentar dan “takut akan Dia”. Siapakah kita, jika dibandingkan dengan Allah? Ayat ini mengajar kita untuk rendah hati, terlepas dari apa pun yang pernah kita kerjakan di bumi ini.
Melalui Kitab Pengkhotbah, amatlah jelas bahwa kekekalan memiliki nilai yang jauh lebih besar dari hal-hal yang fana. Perkataan Tuhan Yesus pun bernada sama: kita diarahkan untuk mencari harta di sorga yang kekal, bukan harta dunia yang mudah rusak oleh karat dan ngengat (Mat. 6:19). Dapatkah kita menyimpulkan bahwa pengarang Sang Pangeran Kecil salah besar ketika dia menekankan justru hal yang fana? Di sini saya mau mengajak kita berpikir lebih jauh: kalau memang yang dikatakan itu salah, kenapa sebagai pembaca, amatlah mudah bagi kita untuk tetap bersimpati dengan sang pangeran kecil ketika dia lebih mengasihi bunga mawarnya yang fana? Bahkan dalam pengalaman pribadi kita pun, pasti ada saat-saat di mana kita bersukacita karena hal-hal demikian: melihat matahari terbenam yang indah, pohon-pohon berbunga, atau pelangi setelah hujan. Banyak hal-hal yang tidak kekal namun tampak amat berharga. Benarkah hal-hal demikian tidak ada harganya? Apakah kita seharusnya hanya menikmati hal-hal sorgawi yang bersifat rohani dan kekal, dan memandang rendah hal-hal sementara tadi? Jika hal-hal yang fana itu tidak ada artinya, kenapa kita amat mudah bersimpati dengan sang pangeran kecil?
Jika dipertajam lagi pertanyaannya, dapatkah kita menikmati atau menghargai sesuatu yang sementara, jika yang kekal itulah yang penting? Menurut saya, jawabannya iya, dengan satu kondisi: selama kita dapat mengaitkan hal-hal sementara itu dengan yang kekal.
C. S. Lewis: Kesementaraan sebagai tanda menuju Allah
C. S. Lewis [3][4] pernah mengatakan bahwa ketika kita menikmati hal-hal indah di bumi ini, misalnya ketika kita mengagumi keindahan matahari terbenam, ada kecamuk dalam hati kita. Di satu sisi, kita merasakan sukacita, tetapi di saat yang bersamaan kita juga merasakan “inconsolable longing” (kerinduan yang tak terhiburkan). Ada perasaan sedih dan kosong ketika hal yang kita nikmati itu berlalu; kita mengharapkan mereka tetap ada dan bertahan. Bagi C. S. Lewis, ini menunjukkan bahwa keinginan kita yang terdalam tidak sepenuhnya terpenuhi dengan hal-hal tersebut, dan bahwa kita diciptakan untuk hal-hal yang lebih besar dari itu, yaitu yang kekal, Allah sendiri. “For they are not the thing itself; they are only the scent of a flower we have not found, the echo of a tune we have not heard, news from a country we have never yet visited.” Di sini kita bisa melihat kesukaan kita akan hal-hal yang sementara secara positif. Hal-hal tersebut Tuhan tempatkan di bumi ini sebagai petunjuk, sebagai tanda yang mengarahkan kita kepada Tuhan. Ketika kita menikmati puisi yang indah, lagu yang merdu, atau kasih dari orang yang kita sayangi, hal-hal itu bisa menjadi pengingat bagi kita bahwa Allah lebih indah, lebih merdu, dan lebih hangat bagi jiwa kita. Segala pengalaman sukacita kita dengan hal-hal yang fana harusnya mengajak kita merenungkan betapa besarnya sukacita yang kita dapatkan ketika kita bersama dengan Allah.
Agustinus: Kesementaraan dalam tatanan ciptaan Allah
Kita juga bisa merenungkan kesementaraan sebagai bagian dari penetapan Allah yang indah. Di bukunya yang berjudul Confessions [5], Bapa Gereja Agustinus membahas ini melalui perenungan akan kata-kata. Kata-kata hanya dapat dimengerti jika setiap suku katanya memiliki awal dan akhir. Bayangkan jika semua suku kata dalam kalimat “Bunganya indah, ya!” terus-menerus terdengar bersamaan, bunyinya tidak akan dapat kita mengerti. Atau jika kita memainkan semua nada di dalam sebuah lagu secara bersamaan, bukan lagu indah tetapi hanya kebisingan yang kita dengar. Dalam kebijaksanaan-Nya, Tuhan menetapkan waktu dan kesementaraan menjadi bagian dari ciptaan ini. Dengan demikian, kita pun bisa menikmatinya tanpa menempatkannya lebih tinggi dari yang kekal. Yang kacau adalah ketika kita menjadikan hal-hal yang sementara seolah-olah bersifat kekal. Tanpa sadar, harapan yang seharusnya kita taruh di dalam diri Tuhan kita tempatkan dalam hal-hal tadi, dan tentunya akan berakhir dengan kekecewaan dan kesedihan.
Paulus: Pekerjaan kita di dalam Allah tidak ada yang sia-sia
Pengkhotbah berkata, “Segala sesuatu di bawah matahari adalah sia-sia.” Namun Paulus berkata, “Segala pekerjaan kita bagi Tuhan tidaklah sia-sia” (1Kor. 15:58). Ini bagi saya penghiburan yang amat besar, apalagi jika disandingkan dengan keputusasaan Pengkhotbah. Kita mungkin pernah merasa bahwa hidup kita sia-sia karena apa yang kita kerjakan seperti tidak mengubah apa-apa. Banyak yang kita lakukan tampaknya hanya sementara saja. Mungkin kita berusaha membawa perubahan dalam diri kita, keluarga kita, atau gereja kita, tetapi tampaknya tidak ada perubahan yang berarti. Mungkin kita berusaha memiliki dampak positif di masyarakat, tetapi seperti menggarami lautan, tidak ada yang bertahan. Akan tetapi, Paulus berkata, segala pekerjaan kita tidak sia-sia, selama kita kerjakan bagi Allah. Di sini, yang sementara bertemu dengan yang kekal; hal-hal yang tampaknya sementara, jika kita lakukan bagi Allah, sesungguhnya memiliki nilai kekekalan. Apa pun dampak langsung yang kita amati di kehidupan kita, kita bisa memercayai perkataan Paulus, bahwa selama kita mengerjakan semua itu bagi Allah, itu berdampak di kekekalan.
Penghakiman terakhir: Mengenai makan dan minum
Saya menutup artikel ini dengan mengajak kita merenungkan perkataan Yesus di Matius 25:31-46 mengenai penghakiman terakhir. Alangkah herannya orang-orang benar itu ketika mereka tahu, minuman dan pakaian yang mereka berikan kepada sesamanya diingat oleh Allah. Bukankah minuman itu sementara, dan yang meminumnya akan haus lagi dalam hitungan jam? Bukankah pakaian itu akan kotor dan rusak? Tetapi Sang Raja berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Semoga perenungan ini membantu kita memikirkan akan hidup kita, yang sementara dan yang kekal, yang sia-sia dan yang berharga, dan mari kita terus mengingat: yang kita lakukan bagi Allah, sesungguhnya tidak sia-sia.
Teguh Santoso Lembono
Jemaat MRII Berlin
Referensi:
- https://en.wikipedia.org/wiki/The_Little_Prince
- The God Who Is There, Francis Schaeffer.
- https://www.cslewisinstitute.org/resources/reflections-january-2010/#:~:text=The%20stunning%20beauty%20of%20a,plants%20eternity%20in%20our%20hearts.
- The Weight of Glory, C. S. Lewis.
- Confessions, St. Augustine.