Interview Januari 2007

Interview dengan Pdt. Billy Kristanto

Pdt. Billy Kristanto adalah seorang hamba Tuhan yang terkenal karena kepiawaiannya memainkan piano serta pengetahuannya dalam theology dan musik. Saat ini Beliau sedang melanjutkan sekolahnya di Jerman, sekaligus melayani sebagai gembala sidang di MRII Berlin dan MRII Hamburg. Pillar (P) mendapatkan kesempatan untuk mengadakan interview singkat dengan Pak Billy (B). Yuk mari sama-sama kita simak perbincangan berikut ini.

P: Bisa tolong ceritakan latar belakang Pak Billy?

B: Saya lahir di keluarga Kristen. Saat itu ayah saya menjabat sebagai majelis gereja dan ibu saya adalah seorang guru Sekolah Minggu. Selain mereka, orang yang sangat mempengaruhi kehidupan masa kecil saya adalah tante saya, yang sering menyanyikan lagu-lagu Kristen, memberitakan cerita-cerita Alkitab sebelum tidur, dan juga menjadi teladan seorang yang suka berdoa. Pengaruh masa kecil ini merupakan bagian pembentukan Tuhan yang sangat penting bagi saya. Setelah lulus dari SMA saya berkesempatan melanjutkan studi musik di Berlin, dan pada waktu itu saya beribadah ke suatu Gereja Injili Pietis yang sangat menekankan pentingnya penyerahan total kepada Tuhan, kesungguhan hidup mengikut Tuhan. Saat itu saya mulai tertarik membaca buku-buku theologia untuk mengerti lebih dalam siapa yang saya percaya. Di situ saya bertumbuh dalam pelayanan yang dipercayakan Tuhan kepada saya (dari pelayanan musik sampai pernah juga menjadi Badan Pengurus) maupun melalui buku-buku theologia yang saya pelajari. Setelah lulus dari Berlin saya melanjutkan post-graduate study di Den Haag, di mana saya beribadah ke Gereja Kristen Indonesia Nederlands. Kuatnya sekularisme di Belanda menimbulkan perasaan kegalauan dalam hati saya bahwa tanpa Injil manusia tidak mungkin menikmati kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Dalam waktu studi ini juga saya mulai tertarik untuk mempelajari buku-buku filsafat, khususnya karena tuntutan studi di sana masih menyisakan waktu bagi saya untuk mengerjakan hal-hal yang lain, saya mempergunakan waktu tersebut untuk mempelajari bidang-bidang selain musik. Saya juga mulai terlibat dalam diskusi-diskusi di mailing list Kristen. Setelah lulus dari Den Haag saya kembali ke Indonesia, lalu dalam waktu setengah tahun saya diberikan kesempatan oleh Pdt. Stephen Tong untuk turut melayani dalam GRII.

P: Boleh ceritakan sedikit mengenai keluarga Pak Billy?

B: Saya dikaruniai seorang istri (Suzianty Herawati) dan seorang putri (Pristine Gottlob Kristanto). Umur anak saya, hmm, daripada menulis umur, mendingan saya tulis tahun lahirnya ya (supaya jawabannya berlaku sampai tahun-tahun yang akan datang). Dia lahir tahun 2004, 29 Januari kalau nggak salah (ya, urusan-urusan seperti ini istri saya jauh lebih tahu, thank God ada dia! Kalau nggak, saya mesti mengingat semuanya, selama dia masih hidup, hal-hal kecil biasa lebih banyak ditangani oleh istri saya, kalau nggak, akan terjadi banyak orang yang kecewa karena saya bukan hanya memiliki gangguan short term memory loss seperti Dori di film Nemo, tapi long term juga).

Nama anak saya, first name yang pilih istri, middle name yang pilih saya, sementara last name itu secara tidak langsung dipilih oleh orang tua saya (karena saya belum ada hak pilih sendiri waktu saya lahir). Pristine adalah kata umum, meskipun agak jarang dipakai, dalam bahasa Inggris, artinya pure/original. Saya sudah pernah menulis mengenai hal ini dalam buku kenangan kelahiran anak kami berdasarkan tafsiran surat Paulus kepada Timotius, bahwa yang dituntut dari seorang pelayan Tuhan adalah pertama kemurnian hati dan motivasi, dari situ lahir karakter Kristiani, dan setelah itu baru menyusul hal-hal yang berikutnya seperti keahlian dan kemampuan, fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelayan kita, public relationship dan sebagainya. Sayangnya sekarang banyak Gereja yang memutar balik urutan kriteria seorang pelayan yang baik. Akibatnya? Dihasilkan penilaian kerohanian yang kacau luar biasa! Kata “Gottlob” dari bahasa Jerman artinya pujian bagi Allah. Our life should be a total doxology, suatu Gottlob yang pristine, yang tidak dicampuri oleh puji-pujian diri yang sia-sia, mencari muka dan berusaha menyenangkan manusia daripada perkenanan dan wajah Allah. Ah, saya mesti berhenti di sini dulu, kalau nggak saya keterusan khotbah, padahal cuma diminta menulis latar belakang.

P: Kapan Pak Billy mulai menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan? Bagaimana pergumulan Pak Billy sebelum menyerahkan diri?

B: Ada mereka yang mengalami suatu momen yang spektakuler dalam hidupnya yang mempengaruhi keputusan dia menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan gerejawi penuh waktu. Saya termasuk kelompok yang kesaksian penyerahan dirinya “biasa-biasa” saja. Ya, Tuhan memanggil hamba-Nya dengan cara yang beraneka ragam. Namun, penting bagi saya untuk tetap menyadari bahwa setiap jengkal dari kehidupan saya, mulai dari saya lahir, sudah merupakan rajutan panggilan-Nya yang sempurna, dan penting bagi saya juga untuk tetap bertumbuh dalam anugerah Tuhan, mulai dari setia dalam perkara-perkara kecil yang dipercayakan Tuhan dalam hidup saya, sampai Tuhan memberikan kepercayaan yang lebih besar. Bagi Saudara/i yang memiliki pergumulan panggilan ini, saya menyarankan untuk terus menggalinya dengan terlibat dalam pelayanan gerejawi yang dapat kita kerjakan, jangan terlalu banyak memikirkan hal yang terlalu besar dan muluk-muluk, karena pada umumnya itu tidak akan membawa kita ke mana-mana. Belajar terlibat dan setia dalam perkara yang kecil, Tuhan mempercayakan perkara yang lebih besar.

P: Apakah sekolah musik lebih penting daripada sekolah theology? Bagaimana peran theology dan musik dalam kehidupan pelayanan Pak Billy?

B: Pertanyaan ini merupakan isi mata kuliah yang saya baru saja selesai mengajar di Institut Reformed pada bulan September 2006 ini. Untuk jawaban singkatnya, saya mengutip perkataan Luther yang mengatakan bahwa setelah Firman Tuhan (theologia), musik adalah karunia terbesar dari Tuhan untuk umat manusia. Bagi Luther, musik memiliki kemiripan yang sangat dekat dengan theologia karena bagi dia, theologia harus menjadi theologia yang berbunyi (sounding theology), dan musik merupakan outer container yang dapat menjadikan theologia berbunyi dalam pengertian yang sesungguhnya. Selain itu dalam komentarnya tentang Mazmur, yang bagi dia merupakan contoh par excellence, bagaimana kebenaran (theology) menjadi kebenaran yang dinyanyikan oleh pemazmur. Musik memiliki keunikan pendekatan affective untuk memberitakan kebenaran, yang memiliki kelebihannya sendiri.

Peran musik dalam kehidupan saya, selain sebagai kenikmatan yang disucikan dalam Kristus, juga memiliki tunjangan untuk kreativitas. Ini berkaitan erat dengan manusia sebagai gambar-rupa Allah, The Great Creator, yang menciptakan dunia dengan daya kreasi-Nya, memberikan hal ini juga kepada manusia. Dalam Perjanjian Lama, kita melihat bahwa mereka yang dipenuhi Roh Kudus bukan hanya para Nabi (yang bertugas untuk bernubuat, menyampaikan Firman Tuhan, mewakili Allah di hadapan umat), melainkan juga para seniman yang dikuduskan untuk tugas pekerjaan Bait Allah. Ada hubungan yang sangat dekat antara pneumatologi (doktrin Roh Kudus) dan fine arts, karena fine arts tidak mungkin tanpa kreativitas. Selain itu, musikologi yang baik tidak mungkin tanpa theologia; sebaliknya theologia juga bisa belajar dari musicological atau aesthetical insights untuk memperkaya perspektif theologis. 

P: Apa signifikansi musik dalam kekristenan, terutama dalam Gerakan Reformed Injili? Mengapa GRII sering mengadakan konser musik klasik sebagai bagian dari mandat budaya?

B: Saya percaya signifikansi musik dalam Gerakan Reformed Injili tidak boleh dimengerti dalam konteks karena pendiri gerakan ini (Pdt. Stephen Tong) memiliki talenta musik (saya khawatir kalau dibaca seperti ini, maka dasarnya akan sangat bersifat subjektif, dan agak sulit untuk dipertahankan karena argumentasinya bukan theologis). Bagi saya, sumbangsih dari para Reformator, khususnya Luther (Calvin baru belakangan menyadarinya, dan Zwingli tampaknya terus khawatir akan pengaruh negatifnya) membuka pengertian kita akan pentingnya musik dalam kehidupan orang percaya. Gereja adalah Gereja yang beribadah, dan di dalam ibadah, salah satu seni yang paling banyak dipergunakan adalah musik (musik mengambil persentase yang relatif tinggi dalam suatu ibadah, selain khotbah). Bahkan dalam Kitab Wahyu (sekalipun dalam bahasa apokaliptis), digambarkan bahwa orang-orang tebusan di sana memuji Tuhan selama-lamanya. Musik yang baik dan Alkitabiah sebenarnya merupakan suatu latihan mencicipi bahagia surgawi (foretaste of heaven). Selain itu, seperti dikatakan Luther, musik dapat mengeskpresikan iman yang bersukacita karena penebusan yang sudah dikerjakan oleh Kristus bagi kita. Iman yang bersukacita tidak mungkin tidak berkata-kata, dan kata-kata sukacita ini diekspresikan dengan sangat baik dan tepat dalam musik. Maka, sangat sulit membayangkan suatu gereja yang tidak bermusik (kita masih bisa membayangkan gereja yang tanpa lukisan, atau bahkan tanpa gedung arsitektur sekalipun, seperti pada masa penganiayaan, tapi tidak tanpa musik).

Mengenai mengapa dengan musik klasik, kita bisa mengaitkan hal ini dengan konsep Calvin mengenai musik yang baik yaitu yang tidak superficial and artificial, melainkan ada bobot dan dignitas. Nah, kata bobot khususnya menyatakan suatu penekanan terhadap sesuatu yang berkualitas tinggi. Saya pikir, Tuhan kita layak untuk mendapatkan yang terbaik dari anak-anak-Nya, karena Dia pun juga sudah memberikan yang terbaik untuk kita. Namun, kita perlu juga untuk waspada bahwa tidak semua orang berkesempatan untuk mengecap segala sesuatu yang berkualitas tinggi. Saya pribadi belajar untuk tidak menghina mereka yang tidak memiliki kesempatan tersebut, karena Tuhan sendiri juga tidak pernah menghina mereka yang kurang intelektual, kurang ada kesempatan belajar dan sebagainya. Kita perlu untuk selalu berhati-hati pada apa yang diingatkan oleh seorang penulis tentang salah satu dari empat dosa estetika, yaitu menjadi cultural elitist, yaitu menghina siapa saja yang tidak memiliki pengertian kualitas seni tinggi seperti kita. NAMUN, di sisi yang lain, sayangnya yang banyak terjadi saat ini adalah, mereka sebenarnya berkesempatan untuk belajar musik-musik yang lebih baik itu, namun tetap bersikeras untuk mempertahankan jenis kualitas yang lebih rendah. Dengan kata lain, orang-orang demikian sebenarnya tidak rendah hati untuk dikoreksi atau mau bertumbuh. Bagi saya, inilah tantangan kita yang sesungguhnya dalam Gerakan Reformed Injili, yaitu bagaimana meyakinkan mereka (dengan pengertian dan bukan dengan paksaan), bahwa ada musik yang lebih bermutu, lebih berbobot, lebih memiliki dignitas, dan bahwa ini bukan merupakan suatu barang baru, melainkan sudah ada sepanjang sejarah Gereja. Gereja zaman ini hanya perlu dengan rendah hati duduk bersimpuh di bawah para guru besar (baca: pahlawan iman) yang sudah mendahului kita, lalu dengan kekuatan tradisi yang diteruskan ini, menggubah karya-karya yang baru, nyanyian-nyanyian baru untuk zaman kita sekarang. Ini baru semangat yang integral.

P: Saat ini pelayanan apa saja yang Pak Billy sedang kerjakan?

B: Saat ini, di samping kesibukan studi yang cukup berat, selama musim panas yang lalu saya disertai oleh keluarga yang mendampingi saya selama di Jerman. Ini adalah satu tanggung jawab pelayanan yang harus saya kerjakan yang tidak mungkin saya bisa alihkan kepada orang lain. Namun selama musim dingin, istri dan anak saya mengikuti pergerakan burung-burung yang migrate ke Selatan karena ndak tahan musim dingin. Nah, di situ saya berkesempatan untuk lebih banyak berdoa seperti dikatakan Firman Tuhan, tapi ayat yang sama itu juga mengatakan “untuk sementara waktu”. Selain pelayanan keluarga, saya juga melanjutkan jabatan yang sebelumnya dipegang oleh Pak Hendra Wijaya yaitu menjadi gembala sidang di MRII Berlin dan MRII Hamburg. Tahun ini kita baru meresmikan PRII Munich di bawah payung GRII, dan sekaligus juga sedang melanjutkan perintisan di Stockholm (Swedia). Ini semua bukan karena kita ingin melakukan ekspansi (kami sangat sadar keterbatasan diri), melainkan karena ada kebutuhan dari tempat tersebut dan kami tidak berani untuk menolaknya. Doakan untuk ketidakmungkinan (impossibility) menurut perhitungan manusia ini. Saya bersyukur kepada Tuhan, karena tahun ini pelayanan saya disertai oleh Ev. Steve Hendra yang juga berencana untuk melanjutkan studinya di Jerman. Saya coba share beban pelayanan di sini dengan dia. Selain itu, saya bersama istri juga mengelola satu mailing list Kristen ‘metamorphe’ dengan harapan bisa menyaksikan keunikan dan keindahan theologia Reformed Injili juga bagi gereja-gereja yang lain, termasuk bahkan untuk orang-orang non-Kristen. Milis ini terbuka untuk umum. Satu yang saya agak menyayangkan adalah terlalu sedikit penulis-penulis yang bertheologia Reformed memberikan tanggapan, sehingga terkadang saya merasa seperti berjuang sendiri. Tapi tidak mengapa, karena selama Tuhan menyertai pelayanan kita, tidak ada yang perlu kita risaukan. Saya berharap Tuhan membangkitkan lebih banyak orang-orang Reformed yang terjun ke medan pertempuran (termasuk resiko luka, keseleo, dan terkilir), bukan melawan manusia tapi melawan penguasa-penguasa di udara seperti kata Paulus – orang-orang yang bangkit dari kursi penonton, dari kursi dewan juri, yang lompat dari comfort zone untuk berperang bagi Kerajaan Allah.

  

P: Bagaimana pelayanan Pak Billy di Jerman? Bagaimana pergumulan jemaat MRII/GRII di Jerman? Apakah banyak desakan dari gerakan Kharismatik?  

B: Desakan dari Kharismatik, sepengetahuan saya, bukanlah faktor yang terbesar di Jerman. Ini dikarenakan kebudayaan Jerman yang cenderung kurang kondusif untuk perkembangan Kharismatik. Bahaya yang lebih banyak dihadapi di Jerman adalah sekularisme yang sudah menjadi semacam agama publik, sementara iman kepercayaan yang sejati dianggap fundamentalis dan masih belum mengalami pencerahan (enlightenment). Reduksi dari rasionalisme bisa meracuni bahkan iman orang-orang percaya, dan kalau kita tidak kritis terhadap hal ini, sama seperti di atas, kita bisa terjebak pada penilaian kerohanian yang salah (orang yang sudah banyak “tahu” theology merasa diri lebih dewasa dan lebih pintar daripada yang belum “tahu”). Konsep kedewasaan yang keliru ini perlu terus untuk diingatkan, karena pengetahuan, atau lebih tepat, pengenalan akan Allah yang diajarkan oleh Alkitab berbeda sangat jauh dengan pengetahuan yang dibahas di universitas-universitas. Mengetahui dalam standar akademis universitas, tidak tentu lulus jika diuji berdasarkan standar Alkitab. Namun kita bersyukur kepada Tuhan, di tengah-tengah keadaan yang seperti itu, Tuhan mengirimkan orang-orang yang dengan rendah hati mau belajar kebenaran di dalam Gerakan Reformed Injili. Ini tidak selalu mulus (seperti halnya di bagian dunia yang mana pun), ada saatnya pengaruh kebudayaan Jerman lebih mendominasi pembentukan karakter daripada apa yang diajarkan oleh Alkitab. Kita perlu terus mengingatkan untuk selalu berusaha kembali kepada Alkitab yang melampaui konteks kebudayaan manusia.

P: Di Eropa, benarkah gereja-gereja hanya didatangi oleh orang-orang tua? Bagaimana dengan generasi muda, apakah mereka tidak menghargai kekristenan lagi?

B: Sebenarnya gambaran ini bukan merupakan gambaran yang sepenuhnya. Di sini masih ada juga gereja-gereja Injili yang berusaha setia kepada Alkitab dan gereja-gereja seperti itu mencakup juga orang-orang muda. Ada juga penginjil yang dipakai Tuhan untuk berkhotbah dalam skala massa seperti Pak Tong (kita perlu untuk terus berdoa supaya Tuhan memelihara tongkat estafet dalam pekerjaan-Nya). Bahkan di universitas-universitas penting di Jerman masih ada profesor-profesor yang konservatif mengajar di sana. Kita percaya, Tuhan selalu menyisakan sekelompok orang-orang pilihan yang sekalipun seringkali sangat minoritas, namun dalam perkembangan Kerajaan Allah yang dikatakan dalam Firman Tuhan tersembunyi realitanya, pada saat penuaian hari terakhir akan ternyata bahwa biji sesawi itu ternyata bertumbuh menjadi suatu pohon yang besar. Kita tidak boleh pesimis dan berhenti berharap dalam hal ini.

Gambaran gereja yang hanya didatangi oleh orang-orang tua biasanya merupakan gambaran dari gereja negara (state church). Dan ini memang salah satunya disebabkan, seperti sering dikatakan oleh Pak Tong, karena hamba Tuhannya sudah menerima gaji yang tetap dari negara, terlepas dari gereja tersebut bertumbuh atau tidak. Percaya atau tidak, pekerjaan menjadi pendeta pernah menjadi urutan gaji terbaik kedua di Jerman setelah dokter (saya kurang tahu bagaimana sekarang). Maka dalam keadaan seperti itu, menjadi pendeta sama sekali bukan merupakan pekerjaan yang jelek (not bad at all). Celakanya adalah banyak orang yang melihat pekerjaan ini bukan sebagai panggilan Tuhan tetapi sebagai suatu jenis pekerjaan (job) yang lumayan menjanjikan masa depan (persis kebalikan dari konsep Luther yang melihat semua pekerjaan adalah panggilan Tuhan). Maka banyak orang-orang yang sebenarnya tercatat Kristen akhirnya menjadi kecewa melihat keadaan gereja yang seperti itu. Mereka tidak dilayani dengan baik, tapi gaji mereka terus dipotong untuk membayar pajak gereja (bayangkan, di Jerman ada satu gedung gereja yang secara kapasitas hanya bisa menampung sekitar 70 orang, namun mempunyai jemaat terdaftar 1000 orang lebih!). Yang terjadi akhirnya dari kekecewaan berubah menjadi penghinaan terhadap gereja sebagai institusi dan jika orang-orang seperti ini semakin terhilang, mereka akhirnya akan menghina kekristenan, bahkan menghina Tuhan. Gereja yang membuat orang menghina Tuhan pasti akan dihakimi oleh Tuhan! Pengaruh humanisme non-theistik (yang pada dasarnya lebih berusaha menyenangkan manusia daripada Tuhan) menghancurkan mimbar-mimbar dan pemberitaan Firman yang berkuasa. Gereja (atau orang Kristen) yang selalu mencari muka manusia bukan hanya akan kehilangan muka sendiri, bahkan wajah Tuhan pun akan berpaling daripadanya!  

P: Apakah theologi Reformed masih mempengaruhi pola kehidupan dan kultur orang-orang di Jerman?

B: Saya harus dengan jujur mengatakan bahwa sekarang keadaannya tidak lagi demikian. Semangat presisi, kejujuran, kesungguhan, kualitas tinggi yang seringkali dikaitkan dengan etos kerja Kristen, pengaruh Reformasi, sudah bukan lagi merupakan gambaran umum akan kebudayaan Jerman. Kebudayaan di sini sudah banyak dihancurkan oleh enlightenment (abad pencerahan) yang menghasilkan orang-orang egois dan tidak memiliki belas kasihan (mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Hitler). Di sini kita belajar satu hal, bagaimanapun kuatnya pengaruh mandat budaya Kristen, tanpa adanya mandat penginjilan, kekuatan pengaruh kebudayaan Kristen itu akan kehilangan substansinya yang paling penting. Di sini kita masih bisa menyaksikan pegelaran konser-konser musik-musik Kristen, arsitektur-arsitektur Kristen yang masih berdiri dengan megah, literatur-literatur Kristen dan sebagainya, namun penafsirannya sudah sama sekali berbeda. Mandat kebudayaan Kristen yang tidak disertai fokus Injil di dalamnya akan kehilangan arti, arah, dan tujuannya. Kiranya Tuhan membangkitkan orang-orang Kristen yang sanggup mengintegrasikan kedua hal tersebut.  

P: Apakah Gerakan Reformed Injili bisa juga jatuh dalam perangkap yang sama seperti gerakan Reformed di Eropa? Bagaimana agar kita tidak terperangkap di dalam kesalahan yang sama seperti gerakan Reformed di Eropa?

B: Sebagian sudah saya katakan di atas, yaitu mandat kebudayaan harus selalu memiliki ujung tombak Kristologis-soteriologis (menyaksikan Injil Yesus Kristus). Di sisi yang lain, kita melihat kecenderungan reduksi dari orang-orang Injili, yang hanya melihat penginjilan sebagai suatu aktivitas menginjili yang terpisah dari totalitas hidup (ini bahaya yang lain lagi). Jika kita membaca tulisan Paulus yang mengatakan bahwa ia memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa selain Yesus Kristus yang disalibkan, kita dapat menyimpulkan berdasarkan kesaksian hidup Paulus bahwa yang dimengerti di situ bukanlah konsep zoom, melainkan fokus. Zoom hanya melihat penginjilan, tidak tahu apa-apa tentang yang lain (atau lebih tepatnya tidak mau tahu): tidak mau tahu sastra, tidak mau tahu musik, ekonomi, ekologi, politik, natural science, psikologi, atau filsafat. Ini merupakan reduksi dari konsep “Injili”. Injili yang kita terima dari Paulus adalah salib sebagai fokus, bukan sebagai zoom. Hidup kita perlu untuk berada dalam segala kelimpahan (seperti dalam hidup Paulus sendiri), namun semua keanekaragaman aspek hidup itu harus berfokus satu yaitu kesaksian Injil Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu. Sekali lagi, perlu pengolahan integrasi mandat budaya dan mandat Injil yang lebih jelas dalam theologia Reformed Injili, otherwise kita akan jatuh dalam salah suatu reduksi (entah mandat budaya tanpa Injil, atau Injil yang tidak mempedulikan mandat budaya).

P: Apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan semangat Reformed di dunia, khususnya di Jerman?

B: Wah, ini pertanyaan yang sangat besar. Kita perlu lebih banyak menangis, berdoa, dan berpuasa. Pemaparan visi ini tidak gampang untuk diteruskan. Secara sederhana, mari kita belajar untuk mengenal talenta yang pasti Tuhan sudah percayakan dalam hidup kita masing-masing. Berapa besar takaran itu ada dalam kedaulatan Tuhan. Yang menjadi bagian kita adalah mengenali talenta tersebut, lalu kita menjalankannya dengan setia di hadapan Tuhan seumur hidup kita. Saya percaya ketika setiap orang Kristen sadar akan panggilan Tuhan secara umum dan secara khusus dalam pribadi masing-masing, maka kekristenan akan memiliki pengaruh dalam dunia yang hambar dan gelap ini. Namun perkembangan Kerajaan Allah jangan dimengerti sebagai sesuatu yang harus bisa dilihat secara kasat mata (seperti kesalahan Gereja Roma Katolik abad pertengahan). Sebaliknya kita membaca dalam Injil bahwa Yesus Kristus sendiri mengatakan bahwa Kerajaan Allah itu seumpama biji sesawi (yang kecil dan tidak berarti, tidak diperhitungkan orang pengaruhnya), namun yang pada akhirnya bertumbuh menjadi besar, bahkan menjadi satu-satunya realita yang akan dinilai oleh Allah dalam kekekalan. Kerajaan Allah selalu akan tersembunyi seperti biji sesawi yang kecil, namun pengaruh dan kuasanya akan menghancurkan semua kuasa-kuasa yang lainnya, yang sementara kita hidup bisa terlihat lebih besar, lebih megah, lebih dahsyat. Berbahagialah mereka yang tidak jenuh-jenuh, terus bertekun dalam menabur benih yang kekal itu.

P: Dari dulu sampai sekarang, banyak barang yang dibuat di Jerman adalah barang yang bermutu tertinggi, tetapi saat sekarang orang tidak lagi mampu untuk membeli barang buatan Jerman, akhirnya mereka beralih ke barang buatan Asia (yang pada umumnya berkualitas lebih rendah dan murah). Bahkan di Eropa sendiri, barang-barang buatan Asia mulai membanjiri pasaran sehingga pabrik-pabrik yang menghasilkan barang bermutu tinggi akhirnya bangkrut bila mereka tidak beralih ke Asia. Apa yang terjadi? Apakah manusia tidak lagi menghargai barang yang bermutu tinggi? Apakah our quality of life menjadi lebih rendah?

B: Ya, inilah yang terjadi ketika modus ekonomi menjadi raja dan mengintimidasi semua modus yang lain. Yang terjadi adalah, sekali lagi, reduksi kekayaan hidup manusia. Ketika uang berbicara terlalu keras, kehidupan pasti akan menyeleweng dari apa yang dikehendaki Tuhan. Beberapa waktu lalu saya sempat mendengar kabar bahwa di Jerman dilakukan penyelidikan diam-diam mengenai bagaimana respon restoran-restoran di sana tentang pemasaran daging yang sudah kadaluwarsa. Yang mengagetkan adalah, di negara yang dulu pernah terkenal dengan etos yang dipengaruhi Reformasi ini: 2 restoran menolak untuk menerima daging busuk itu, 10 menerimanya, dan lebih dari 20 sedang “bergumul” mau terima atau tidak. Selamat datang dalam realita hidup masa kini! Inilah saat di mana manusia (terutama orang Kristen!) belajar apa artinya providensia Allah dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Dapatkah saya masih mempercayai Tuhan yang sanggup memelihara hidup saya ketika saya memutuskan untuk tetap memelihara kehidupan yang bersih, yang tidak mengelabui dan menipu orang lain? Ketika uang menjadi melodi utama dalam pertimbangan hidup manusia, maka terjadilah penggenapan apa yang sudah dikatakan oleh Firman Tuhan: manusia akan ditimpa berbagai malapetaka yang tidak perlu.

P: Apakah kita masih perlu mencari kualitas tertinggi bila kualitas yang biasa-biasa saja (seperti barang buatan Asia) sudah cukup baik? Memang kualitas yang baik itu baik, tetapi tidak praktis di zaman sekarang karena biaya yang tinggi dan memakan waktu yang lama. Bagaimana pendapat Pak Billy mengenai hal ini?

B: Perlu dijabarkan lagi secara komprehensif apa artinya “biasa-biasa” tersebut. Beberapa waktu yang lalu saya sempat mendengar bahwa jenis pakaian yang dianggap biasa-biasa itu ternyata bisa menimbulkan kanker kulit! Ini baru salah satu penyingkapan dalam skala kecil. Dan katakanlah yang kita gunakan itu tidak memberikan dampak negatif pada pengguna (konsumer), ini tidak langsung membenarkan produksi yang ‘biasa-biasa’ itu. Bagaimana dengan dampak ekologis yang terjadi di China (yang pasti suatu saat akan memiliki dampak global bagi umat manusia) atas pengurangan biaya-biaya produksi supaya bisa menjual harga lebih murah? Barang-barang dari Eropa misalnya terkenal mahal karena salah satunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pertimbangan ekologis ini. Jika standar ini akhirnya dirombak juga, mengikuti negara-negara yang dapat menghasilkan barang lebih murah, maka bumi akan menjadi tempat tinggal yang semakin gelap. Jadi, tidak cukup hanya dengan memikirkan suatu barang itu baik berdasarkan perspektif diri sang pengguna saja (ini penilaian yang sangat egois dan self-centered!). Lalu, seperti juga sudah terkandung dalam pertanyaan di atas: pertimbangan practical yang hanya dinilai berdasarkan biaya rendah dan memakan waktu yang lebih pendek adalah pertimbangan yang sangat gegabah karena tidak Alkitabiah. Berapa lama waktu yang “dibutuhkan” Tuhan untuk menggarap kebangunan rohani pada zaman Reformasi? Membaca sejarah Gereja dengan teliti, kita semua sepakat bahwa Luther bukanlah orang yang pertama. Jauh sebelum dia lahir, Tuhan ‘perlu’ untuk mempersiapkan segala sesuatunya hingga pada waktu-Nya terjadilah penancapan 95 tesis itu. Tidak ada yang instan dalam kehidupan Kristen, kecuali kita mau menjadi pemimpi-pemimpi siang hari bolong yang hobinya adalah berilusi dan berdelusi!

Kembali pada apa yang dikatakan Calvin tentang bobot dan dignitas. Kita sekarang berhadapan dengan pragmatisme (suatu bentuk reduksi yang lain lagi) yang tidak mempertimbangkan suatu hal secara komprehensif dan integral. Selain pragmatisme, pengaruh dari kebudayaan pop-culture juga turut meracuni iman Kristen. Salah satu yang menjadi karakteristik utamanya adalah kedangkalannya. Ini bahkan dapat dikatakan menjadi suatu keharusan dalam pop-culture, sebab jika tidak demikian ia tidak mungkin bisa dikonsumsi oleh khalayak ramai. Sekarang banyak gereja yang menggunakan pendekatan pop-culture: menggunakan musik yang lebih bisa dikonsumsi oleh sebanyak mungkin orang, khotbah yang dapat diterima oleh sebanyak mungkin orang, pelayanan yang menyenangkan sebanyak mungkin orang (bukan dalam pengertian Paulus demi Injil, melainkan karena ketakutan tidak ada pasar). Gereja akhirnya kehilangan kewibawaan dan dignitasnya. Di sini Calvin sudah melihat jauh ke depan, bahwa ketika bobot dikorbankan demi semangat konsumerisme (seperti terjadi dalam pop-culture misalnya), maka bersamaan dengan itu dignitas juga akan lenyap. Mari kita belajar mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang saleh yang sudah meninggalkan jejak kaki mereka ketika mereka mengikuti jejak kaki Kristus. Kiranya Tuhan menguatkan dan menyempurnakan kita semua. Sola fide.

Wawancara oleh Redaksi Pelaksana PILLAR