Interview Juni 2006

Bekerja? Apa itu?

Saat kita berkenalan dengan seseorang, selain menanyakan nama orang tersebut, salah satu pertanyaan yang biasanya dilontarkan adalah, “Apakah pekerjaanmu?” atau “Kamu bekerja di mana?” Hidup ini sepertinya penuh dengan bekerja. Setiap pagi kita harus bangun, lalu bersiap-siap untuk pergi melakukan aktifitas kita. Apakah itu pergi ke kantor ataupun ke sekolah, dua-duanya termasuk bekerja. Saat kita mandi, makan, berjalan kaki, dan lain sebagainya, itu juga termasuk bekerja. Bahkan saat kita tidur, jantung kita pun tetap bekerja. Tentunya ini membuat kita menjadi bertanya-tanya, “Mengapa kita harus bekerja?” Masakan tanpa tahu alasannya kita akan terus bekerja? Pasti tidak. Karena bekerja itu melelahkan, bukan? Kalau begitu untuk apa kita bekerja? Apakah selama ini pemikiran atau konsep kita tentang bekerja itu benar? Untuk menjawabnya, Pillar telah mewawancarai Ev. Yadi S. Lima untuk sedikit mengupas tentang ‘bekerja’. Ev. Yadi saat ini melayani sebagai pembina Persekutuan Pemuda di GRII Pondok Indah. Mari kita simak interview Pillar (P) dengan Ev. Yadi (Y) berikut ini.

P: Mengapa manusia harus bekerja? Apakah tujuan manusia bekerja? 

Y: Ada tiga lapisan utama mengapa seseorang kita temukan sedang bekerja. Lapisan paling dasar adalah bekerja sebagai respon bertahan hidup (survival response). Di sini kita berespon kepada diri sendiri. Tujuannya adalah mempertahankan eksistensi. Misalnya, kita bekerja untuk mendapatkan ‘sesuap nasi’. Dalam lapisan ini kita tidak punya banyak pilihan. Mau tidak mau kita harus bekerja karena Tuhan menanamkan suatu respon dasar mendekati kenikmatan (kehidupan) dan menjauhi kesakitan (kematian) pada setiap mahluk hidup, termasuk manusia. Sampai detik ini saya percaya tak ada satu manusia pun yang sampai mati kelaparan saking keras-kepalanya menolak untuk bekerja. Karena mati pelan-pelan gara-gara kelaparan itu jauh lebih menyakitkan daripada ketidaknyamanan akibat bekerja, pasti orang akan lebih memilih bekerja. It’s a basic instinct. Saya percaya inilah artinya “Tuhan membentuk manusia itu dari debu tanah.” Ada aspek natural dalam diri kita. “Gratia non tollit naturam (Grace doesn’t suppress nature)”, kata Thomas Aquinas, karena nature itu sendiri adalah gagasan Tuhan.

Lapisan kedua adalah bekerja sebagai respon kepada orang lain. Dalam lapisan ini orang bekerja karena gengsi (malu kalau dicap pengangguran, makan gaji buta, benalu, disuapin istri, dan sebagainya), karena ingin diakui (maka ia bekerja sekuat-kuatnya untuk mencapai prestasi yang tidak sembarangan), ataupun karena cinta kasih, entah atas dasar ingin membanggakan orang tua, pasangan, ataupun ingin menyokong keperluan orang lain melalui pekerjaannya (kerja sosial, volunteer, dan sebagainya). Biasanya alasan ini dimiliki oleh orang-orang yang sudah tidak lagi bekerja demi survival. Bukan lagi mencari sesuap nasi, melainkan segenggam berlian. Inilah alasan mengapa orang masih bekerja juga walaupun simpanan di bank sudah cukup untuk berfoya-foya tujuh turunan.

Lapisan ketiga adalah ketika orang bekerja sebagai respon terhadap panggilan Tuhan. Jika yang dimaksudkan oleh pertanyaan di atas adalah apa yang seharusnya menjadi alasan manusia bekerja, maka saya menjawab bahwa lapisan ketiga inilah alasan paling utama seorang manusia bekerja. Jadi ini seharusnya menjadi lapisan paling dasar. Orang dicipta untuk bekerja bagi Tuhan. Memuliakan Tuhan dan menikmati Tuhan adalah alasan utama kita dicipta dan dipelihara oleh Tuhan. Sama seperti menjadi penerang adalah alasan paling utama sebuah lampu listrik dirancang, dibuat, dan dialiri listrik. Jika setelah ia dirancang, dibuat, dan dialiri listrik ternyata ia tak memancarkan terang sedikitpun, maka tak ada lagi gunanya selain ‘dibuang dan diinjak orang’.

Untuk dapat memuliakan dan menikmati Tuhan, ada sarana (means) yang Tuhan tetapkan dari semula sebagai media kita menggenapi tujuan ini. Sarana itu adalah 1) barang-barang (termasuk alam semesta, tumbuhan, dan hewan) dan 2) manusia. Bagi Augustine kedua hal ini tak boleh dinikmati dalam dirinya sendiri (frui). Mereka hanya boleh dipakai (uti) sebagai sarana kita menikmati (frui) Tuhan. Lain daripada ini hanya menjadi sumber frustrasi dan kesia-siaan belaka. Dari sudut pandang ini, maka lapisan kedua menjadi sarana lapisan puncak (bekerja sebagai respon kepada panggilan Tuhan) tercapai. Tapi lapisan kedua ini tak mungkin exist tanpa orang-orang tersebut hidup dan hidup dalam alam semesta yang terpelihara. Ini adalah fungsi sesungguhnya dari lapisan dasar. Jadi urut-urutan benarnya adalah: Kita hidup untuk Tuhan, hidup itu selalu hidup di tengah-tengah interaksi dengan orang lain (di dalam segala kesulitannya), dan semua orang ini butuh makan dan pra-sarana hidup yang telah ditetapkan Tuhan untuk tersedia melalui kerja.

P: Sebenarnya untuk apa orang Kristen bekerja? Bukankah Tuhan berjanji akan memelihara umatnya? Jadi kenapa kita perlu bekerja?

Y: Ketika orang Kristen berdoa, “Berilah kami makanan kami yang secukupnya pada hari ini,” Tuhan tidak menjatuhkan sekarung beras atau sebakul nasi dari langit. Pada detik kita berdoa seperti itu, Tuhan menurunkan hujan, memelihara kestabilan reaksi fusi di dalam inti matahari (beserta kesetimbangan lapisan-lapisan gas dalam atmosfer guna menyaring radiasi berbahaya dari sinar matahari itu), memelihara interaksi rumit yang terjadi di dalam tanah antara organisme-organisme dan zat-zat kimiawi tanah, jalur-jalur distribusi pertanian, sarana transportasi, mekanisme bursa komoditas, kesetimbangan moneter internasional, arus ekspor-impor, kondisi keamanan dalam-luar negeri, dan lain-lain, sampai pada akhirnya sepiring nasi beserta lauk-pauk ada di hadapan kita. Dengan kata lain, Tuhan memelihara kita melalui media-media anugerah. Tuhan selalu memakai media. Dia tidak pernah ‘intervensi langsung’ (api dari langit yang membakar persembahan Elia, manna dari surga, itu semua tetap saja mengambil bentuk benda-benda fisik). Obsesi akan ‘intervensi langsung’ Tuhan kepada problem kita tentu saja mengandung asumsi-asumsi gnostik dan deistik. Mengapa Tuhan memilih memakai media? Jawabannya simple, karena Dia memutuskan demikian (dan Dialah yang adalah Tuhan, bukan kita). Dalam abad pertengahan dikenal satu istilah untuk menyebut hal ini: Media gratia. Alat-alat anugerah. Secara tradisional alat-alat anugerah ini adalah Khotbah, Doa, dan Sakramen. Tetapi saya memperluas paradigma ini sampai meliputi segala sesuatu yang diciptakan Tuhan dan dipakai-Nya untuk menopang eksistensi kita dan menggenapkan tujuan baik-Nya dalam diri umat pilihan.

Dalam Roma 8:28 Paulus mengatakan bahwa Allah memakai segala sesuatu untuk kebaikan kita umat pilihan. Yang dimaksud ‘kebaikan’ di sini adalah proses ‘pemanggilan,’ sampai ‘pemuliaan’ kita. Jadi untuk apa orang Kristen bekerja, toh Tuhan memelihara? Ayat yang biasa disalah tafsir di sini adalah Matius 6:25-33. Tapi kita harus ingat, yang dikatakan Tuhan Yesus adalah ‘jangan kuatir akan hidupmu’, sama sekali bukan ‘jangan bekerja untuk memenuhi kebutuhanmu.’ Burung-burung di langit memang tidak menuai dan menimbun dalam lumbung, tapi mereka ‘mencari makan’ seharian. Demikian akar-akar tanaman dan chlorophyll, mereka bekerja keras mencari air, mineral, dan berfoto-sintesis mengolah itu semua menjadi makanan siap pakai. Ingat prinsip media gratia. Anugerah Tuhan diberikan cuma-cuma, tetapi kita harus berespon secara aktif. Tuhan menurunkan manna, umat Israel mengumpulkannya dengan rajin. Bagaimanapun berusaha mereka tak akan dapat membuat manna itu dari tidak ada menjadi ada, tetapi sewaktu manna itu diberikan, mereka toh harus mengumpulkannya juga. Inilah ketetapan Tuhan yang indah.

P: Pekerjaan seperti apa yang orang Kristen harus atau tidak boleh kerjakan? Apakah menjadi bartender minuman keras atau tukang parkir di casino boleh dikerjakan?

Y: Pekerjaaan yang harus dikerjakan oleh orang Kristen adalah pekerjaan yang pada akhirnya dapat memfasilitasi memuliakan dan menikmati Tuhan. Apa itu memuliakan Tuhan? Bikin orang makin kenal Tuhan (karena untuk itulah ia hidup) dan makin cinta Tuhan (karena apa lagi yang lebih berharga daripada ini?) Bartender? Saya pikir pelayan yang menuangkan bir ke gelas Martin Luther dan Melanchton (Betul. Mereka suka minum bir bersama) sewaktu mereka diskusi teologia mungkin sekali sedang memuliakan Tuhan. Tapi sangat mungkin bartender, tukang parkir casino, dan para akuntan yang terhormat tidak pernah tahu apa hubungannya pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hari dengan kemuliaan Tuhan. Jadi gimana dong? Jangan buru-buru lompat ke kesimpulan. Pelajari dahulu teologia baik-baik, lalu hayati pekerjaan anda dan gumuli di hadapan Tuhan. Baru nanti kita diskusi lagi kasus per kasus. 

P: Apakah yang kita kerjakan bernilai kekal?

Y: Saya menduga pertanyaan ini berkaitan dengan immortality. Setiap orang ingin terus dikenang. Hal ini berdampak pula pada pekerjaan kita. Tidak ada orang yang sudi bekerja dengan sia-sia. Konon banyak tawanan perang dunia ke-2 yang mati gara-gara frustrasi karena dipaksa mengerjakan sesuatu yang absurd seperti menggali lobang, lalu disuruh menguruknya kembali di akhir hari, lalu menggalinya lagi keesokan harinya. Hannah Arendt dalam buku The Human Condition membagi tingkatan kekekalan kerja manusia ke dalam tiga tahapan. Tahap terendah adalah labour. Cari nafkah. Kerja yang hanya sekedar cari sesuap nasi begini tak akan meninggalkan bekas apapun setelah orangnya meninggal. Seumur hidup anda kerja cari makan untuk bertahan hidup, setelah anda mati, kerja anda tidak lagi ada bekasnya. Misalnya, jika tukang tahu goreng jualan tahu hanya supaya dapur ngebul, maka setelah ia mati tak ada lagi bekas-bekas hasil jerih lelahnya. Tahap kedua adalah work. Berkarya. Karya-karya seni bertahan lebih lama daripada senimannya. Ingat saja Monalisa. Lalu tahap tertinggi dalam semesta Hannah Arendt yang tak meliputi kekekalan Tuhan adalah bekerja sebagai action. Aksi sosial. Jika anda bertindak mengarahkan sejarah, maka kerja anda akan berdampak terus selama umat manusia ada. Anda akan dikenang oleh sejarah. Inilah makna hidup di sini, yang bukan melulu seperti padang gurun yang hanya sekedar numpang lewat, sebagaimana dipercaya Augustine.

P: Lalu apa hubungannya menyapu dengan kekekalan?

Y: Selama menyapu itu menjadi fasilitas orang memuliakan dan menikmati Tuhan, menyapu itu akan bermakna sampai kekal, karena orang yang kepadanya sapuan itu dilayankan adalah kekal. Ingat saja perempuan yang ‘menyapu’ kaki Yesus dengan rambut dan air matanya.

P: Apa gunanya kita mengejar kekekalan, kita kan sudah diselamatkan? 

Y: Keselamatan itu sendiri adalah sarana. Kita ini ‘diselamatkan untuk ……’ bukan ‘….. untuk diselamatkan.’ Yang pertama itu bersifat Reformed, sedangkan yang kedua memiliki paradigma Pelagianisme. Paulus mengatakan, “Kita dipilih sejak dunia belum dijadikan supaya menjadi kudus…. (Efesus 1:4)” Paulus tidak mengatakan, “Kita dipilih karena dijadikan kudus.” Jangan sampai terbalik hubungan sebab-akibatnya di sini. Justru kita ini diselamatkan untuk bekerja. Mengerjakan pekerjaan Allah. Menjadi media gratia Allah untuk merealisasikan rencana kekal dan rencana mulia Allah. Dia bisa saja melakukannya sendiri atau menciptakan semilyar malaikat untuk melakukan semuanya, tetapi Ia memilih kita manusia-manusia konyol ini untuk mengerjakannya. Bangga khan?

P: Dari mana kita tahu kalau apa yang kita kerjakan sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak?

Y: Tuhan menghendaki manusia jadi manusia. Jadi manusia itu berarti memuliakan dan menikmati Tuhan. Jika yang anda kerjakan itu dimotivasi oleh tujuan ini, dan memang menghasilkan hal ini. Go ahead! Lakukan dengan rajin. Anda sudah berada di track yang benar.

Wawancara oleh Adhya Kumara