Musik menjadi bagian yang tak terlepaskan dari ibadah gereja. Perubahan zaman yang begitu cepat dan banyaknya pengaruh dunia yang masuk ke dalam gereja dapat terlihat jelas dari jenis musik yang dipakai dalam ibadah. Hal ini merupakan pergumulan banyak orang, terutama orang-orang yang mengerti semangat Reformed Injili. Ev. Victor Abednego, lulusan Fakultas Musik Gerejawi Institut Reformed Jakarta, yang sekarang melayani di GKA Zion, Bali, merupakan salah seorang pemuda yang terpanggil untuk mendalami bidang musik karena pergumulan tersebut. Mari kita simak interview Pillar (P) dengan Ev. Victor (V) berikut ini.
P: Bisa ceritakan sedikit latar belakang kamu?
V: Saya berasal dari keluarga yang memang sudah percaya Tuhan, so dari kecil sudah pergi ke Sekolah Minggu. Baru percaya secara sungguh-sungguh waktu remaja (3 SMP). Sejak remaja saya sudah terlibat pelayanan musik di persekutuan remaja. Mulanya main keyboard dan hanya bisa main di nada dasar C mayor. Kalau harus main di nada dasar lain tinggal pakai transpose nada dasar (fasilitas di keyboard). Sampai waktu SMA (tahun 2001) baru mulai belajar mengiringi pakai piano dan melayani di ibadah umum.
P: Sejak kapan kamu mempunyai panggilan untuk menjadi hamba Tuhan dan kenapa memilih untuk mendalami bidang musik?
V: Panggilan jadi hamba Tuhan sejak SMA, kalau tidak salah ingat kelas tiga, tapi sempat menghindar dulu. “Jalan-jalan” ke perhotelan dulu, dan sambil gumuli terus, sampai setelah pulang dari Singapura (training di Westin Singapore selama 6 bulan, Red.) baru bertekad untuk mempersiapkan diri masuk seminari. Kenapa di bidang musik? Ya karena saya merasa ada talenta di situ dan juga karena melihat ladang pelayanan, musik menjadi pergumulan yang tidak pernah selesai di gereja. Rupanya perdebatan musik tidak kalah seru dengan theologi ya? Jadi ada satu dorongan untuk belajar musik yang seperti apa yang benar.
P: Apakah sebelum studi di Institut Reformed, kamu sudah mengenal gerakan Reformed Injili?
V: Sama sekali belum pernah. Hanya pernah dengar nama Pdt. Stephen Tong. Apa itu Reformed waktu itu saya sama sekali tidak tahu.
P: Mengapa memilih untuk masuk ke Institut Reformed dan bukan sekolah-sekolah musik yang lain?
V: Karena diberitahu oleh Ibu Ester Nasrani. Tadinya saya mau ke SBC (Singapore Bible College, Red.), lalu dengar dari Ibu Ester kalau Pak Tong mau buka sekolah musik. Dengar nama Pak Tong saya langsung yakin pasti sekolahnya baik, dan juga karena ada alasan ekonomi. Kalau ke Singapura bisa jauh lebih mahal. Maka saya cari-cari di internet mengenai GRII/STTRII. Lalu dapat alamat Tanah Abang. Ya saya kirim surat minta info, brosur, lalu saya mendaftar.
P: Apakah paradigma kamu tentang musik mengalami perubahan sebelum dan sesudah kamu belajar di Institut Reformed?
V: Pasti. Dulu, buat saya pergumulan musik hanya pada masalah selera setiap orang. Saya dari dulu memang sudah sangat suka dengar klasik dan saya tidak tahu mengapa bisa lebih excited dengar klasik dibanding musik lain. Waktu itu saya hanya menganggap itu mungkin karena selera saya, maka demikian juga orang yang suka jenis musik lain. Di Institut Reformed saya mulai diajak untuk menggumulkan bahwa urusan musik juga harus dinilai berdasarkan kebenaran Firman Tuhan, karena kalau berbicara selera manusia, harus mengingat natur dosa juga mempengaruhi selera manusia.
P: Untuk kamu secara pribadi seberapa pentingkah musik itu? Seberapa besar musik itu dapat mempengaruhi hidup manusia?
V: Musik sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat mempengaruhi hidup manusia. Hal ini pernah dikatakan Aristotle. Menurutnya musik mengimitasi passion/keadaan jiwa seseorang dan akan membangkitkan passion yang sama pada orang lain yang mendengarnya. Maka, kebiasaan mendengar musik yang membangkitkan ignoble passion akan merusak karakter pendengarnya. Jadi, kita perlu memperhatikan musik apa yang kita konsumsi sehari-hari. Di Alkitab juga dicatat bagaimana musik yang dimainkan Daud di hadapan Saul mampu menenangkan Saul. Saya yakin waktu itu Daud memainkan musik yang membangkitkan noble passion.
P: Selain aspek-aspek kehidupan manusia yang lain, mengapa musik juga harus di-redeem untuk kembali kepada Tuhan?
V: Karena musik berasal dari Tuhan. Tuhan menciptakan musik agar melaluinya kita bisa memuliakan Tuhan. Sayangnya manusia berdosa tidak lagi memuliakan Tuhan. Musik dieksploitasi sedemikian rupa hanya untuk dipakai memenuhi nafsu diri. Tidak heran ketika zaman makin maju dalam teknologi, justru makin banyak musik-musik yang bermunculan di pasaran yang isinya tentang perselingkuhan (misalnya TTM, Jadikan Aku yang Kedua), hujatan dan pemberontakan (banyak pada lagu-lagu keras—metal), frustrasi dan depresi. Bukan hanya teksnya saja, bahkan musiknya sendiri yang melawan kaidah-kaidah musik yang benar dan teratur bisa menjadi musik yang disukai masyarakat. Padahal musik yang demikian seperti dikatakan Aristotle bisa membawa pada ignoble passion. Karena alasan inilah maka musik harus ditebus juga. Musik yang memang seharusnya dipakai untuk memuliakan Tuhan harus dikembalikan ke tujuan asalnya.
P: Jenis-jenis musik yang seperti apakah yang bisa digunakan untuk memuji Tuhan? Apakah jenis-jenis musik seperti pop, rock, ataupun jazz bisa digunakan untuk memuji Tuhan?
V: Jenis musik yang sesuai kebenaran firman Tuhan. Memang Alkitab tidak menyebutkan jenis-jenis musiknya, tetapi Alkitab memberikan prinsip-prinsip kebenaran. Alkitab mencatat bahwa Allah kita adalah Allah yang kreatif dan teratur dalam mencipta. Maka manusia ketika menggubah musik juga harus kreatif dan teratur.
Kreatif yang tidak mau dibatasi dengan keteraturan akan menghasilkan musik yang liar tidak bertanggung jawab; musik rock adalah salah satunya. Musik rock dalam ritmenya justru melawan natur. Dalam birama 4/4 ketukan pertama dan ketiga seharusnya mendapat pukulan yang lebih keras, tetapi di dalam musik rock justru sebaliknya: ketukan kedua dan keempat lebih keras dan terjadi pada seluruh lagunya, ditambah lagi dengan ritme yang sangat menghentak dan volume yang keras. Ini semua akan mengganggu sistem kerja tubuh dan mental kita (ada topik tersendiri yang meneliti bagian ini). Kalau menurut Aristotle, ini bisa membangkitkan ignoble passion.
Contoh lain adalah musik jazz. Ini merupakan musik yang sangat penuh dengan improvisasi, sangat kreatif. Sayangnya harmoni yang digunakan hampir semuanya, bahkan ada yang semuanya memakai harmoni yang disonan, yaitu pemakaian chord VII (CM7 – Am7 – Dm7 – G7 – CM7). Memang chord-chord 7 inilah yang menyebabkan pemainnya bisa mengimprovisasi dengan sangat luas, tetapi di dalam kaidah musik yang benar harmoni-harmoni dissonan harus diselesaikan dengan harmoni konsonan. Harmoni dissonan yang tidak diselesaikan dengan konsonan sebenarnya menimbulkan satu kegelisahan, perasaan tidak selesai. Ibaratnya kalau ada permasalahan harus ada solusi yang menyelesaikannya. Itu baru dari segi harmoninya, belum lagi dari ritmenya di mana dalam aliran jazz tertentu (fusion, mainstream) ritmenya bisa menyerupai rock.
Kalau berbicara musik pop sebenarnya ada banyak jenis musik di dalamnya. Pop merupakan satu budaya yang tujuannya memuaskan kebutuhan pasar seluas-luasnya, yang penting masyarakat senang dengan produknya (dalam hal ini musik), musik yang diproduksi laku di pasaran. Maka tidak heran dalam musik pop banyak terjadi pendangkalan, ditambah lagi budaya pop juga dibarengi dengan semangat pragmatis, serba mau cepat, instan, yang penting pendengar senang. Sebenarnya ada banyak produk musik pop, seperti rock, ballad, rock ’n roll, dan lain-lain. Elemen penting dari musik pop adalah teks, ritme, dan melodi. Musik rock menekankan ritme, musik ballad menekankan melodi yang mengalun lembut, membuai perasaan kita. Yang sering kita maksudkan dengan pop biasanya ballad. Pendangkalan yang terjadi dalam musik pop membuat kita tidak mau belajar lebih dalam. Dalam lagu rohani sekarang teksnya seringkali mengalami pendangkalan karena cenderung hanya terdiri dari satu bait dan reff dan hanya membicarakan relasi aku dengan Tuhan saja, ditambah dengan melodi yang “enak didengar.” Memang enak didengar, mudah dinyanyikan, tetapi kalau kita menikmatinya terus menerus, apalagi tidak lagi mau belajar lagu-lagu yang baik, ya lama-lama kitanya akan menjadi orang yang dangkal juga.
So, bagi saya lagu yang tepat dalam ibadah adalah lagu yang secara musiknya mengikuti kebenaran firman, melodinya bisa dinyanyikan dengan baik dan benar, dan memakai teks yang mengandung kedalaman makna firman Tuhan. Semuanya ini demi mendidik kita sebagai orang percaya untuk makin mengenal Tuhan dengan lebih dalam dan makin memuliakan Tuhan.
P: Di zaman ini, kebanyakan orang lebih menyukai jenis-jenis musik pop, rock, ataupun jazz, sedangkan musik klasik dianggap membosankan. Apa yang membuat orang lebih memilih untuk mendengarkan musik pop, rock, ataupun jazz ketimbang musik klasik? Apakah karena musik klasik itu benar-benar membosankan?
V: Musik pop dan rock lebih gampang dicerna buat masyarakat sekarang. Musik pop dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar yang sedang nge-trend sehingga seringkali tidak memperhatikan kualitas. Musik rock dibuat karena ketidakpuasan yang dihadapi lalu dikeluarkan dengan pemberontakan melalui musik. Ya ini juga yang terjadi dengan masyarakat zaman ini, apalagi para remaja pemuda yang jiwanya penuh dengan gejolak yang mau melawan kemapanan di lingkungannya. Jazz sendiri ada berbagai macam aliran, yang paling mudah dinikmati adalah cool jazz karena memberikan perasaan rileks, santai (ujung-ujungnya menghindari masalah). Musik jazz yang complicated seperti mainstream sebenarnya agak sulit untuk dinikmati secara luas; penikmatnya biasanya orang-orang tertentu yang benar-benar mempelajarinya.
Klasik orang kurang suka kerena secara generasi sangat jauh dengan budaya kita sekarang. Musik ini sering dianggap membosankan dan sulit untuk dimengerti, padahal sekali kita mengerti musik klasik, sulit bagi kita untuk tidak menyukainya. Saya rasa sekarang ini kurangnya pengetahuan dan keinginan belajar membuat orang akhirnya enggan untuk mengerti dan mencintai musik klasik. Bisa juga karena sudah biasa menikmati musik zaman sekarang yang tidak teratur lalu badan kita juga sudah terbawa di dalam ketidakteraturan tersebut, maka sulit sekali untuk disembuhkan ke keadaan yang teratur.
P: Setelah lulus dari Institut Reformed, apa yang membuat kamu terpanggil untuk kembali melayani di gereja asal kamu?
V: Melihat kebutuhan ladang. Di Bali saya belum pernah melihat ada hamba Tuhan di bidang musik yang benar-benar menangani musik gereja secara khusus dan bisa membuka wawasan musik yang sangat luas. Maka saya terdorong untuk membagikan apa yang pernah saya pelajari dan alami untuk bisa membangun jemaat di sini dalam hal musik.
P: Bagaimana dengan perkembangan musik di gereja yang kamu layani sekarang? Apa yang kamu harapkan dari pelayanan kamu di sana?
V: Masih banyak hal yang bisa dikembangkan di sini. Saya berharap di kesempatan-kesempatan mendatang di sini bisa diadakan seminar dan pembinaan musik untuk memperdalam wawasan musik, sehingga musik-musik yang baik bisa dimengerti dan dinikmati semua kalangan, dan selagi saya di sini, saya terus terbeban untuk follow up supaya apa yang diceramahkan bisa diaplikasikan.
P: Apakah harapan kamu sebagai pemuda di zaman ini dalam meresponi perkembangan musik di zaman ini?
V: Saya berharap kita sekarang waspada terhadap musik-musik yang berkembang. Tidak semua musik yang muncul saat ini baik dikonsumsi, apalagi dipakai dalam ibadah. Ada baiknya kita latihan mendengar dan mengerti musik-musik klasik yang baik, bukan karena saya fanatik musik klasik, tetapi dengan mempelajari budaya klasik (musik dan seni rupa) kita akan banyak belajar nilai-nilai yang penting. Kebudayaan klasik mengandung nilai-nilai yang berhubungan dengan kekekalan, sehingga budaya itu tidak mudah tergeser sejarah. Budaya tersebut mempunyai satu kestabilan. Jika saat ini kita mau berkreasi dengan kaidah-kaidah klasik, hasilnya akan sangat bernilai.
Juga perlu diingat bahwa hidup kita adalah ibadah, maka untuk urusan selera musik pun harus tunduk pada kebenaran firman Tuhan. Kita tidak bisa dualisme: mau belajar theologi yang benar tetapi tidak mau belajar musik yang benar. Yang perlu kita sadari juga saat ini banyak orang-orang non-Kristen yang mempelajari dan bisa melihat nilai yang tinggi dari musik klasik yang diturunkan dari budaya Kristen, masakan kita pemuda Kristen justru tidak menghargai warisan yang berharga tersebut?
Wawancara oleh Redaksi Pelaksana PILLAR