The Only Mediator between Heaven and Earth

P: Apakah konsep mediator/pengantara di dalam kebudayaan Chinese dan apakah signifikansinya?

Y: Kebudayaan Chinese memang memiliki konsep mediator-mediator yang berperan sebagai lembaga/badan pengantara di antara dua pihak. Mediator-mediator hadir untuk mengatasi perselisihan-perselisihan yang trivial, seperti pertengkaran antara tetangga yang memerlukan ‘he-shi-lou’ (peace-making person), sampai kepada penyampai pesan antara dua pihak yang sedang berperang. Mediator-mediator dihormati dalam berbagai macam derajat. Di dalam peperangan, sebuah prinsip yang terhormat dapat terlihat di dalam pepatah Chinese yang mengatakan bahwa ketika dua negara berperang, duta besar tidak akan dilukai. Meskipun demikian, mediator-mediator jarang sekali bekerja demi kebenaran, tetapi lebih kepada kepentingan dari pihak yang mengirimnya atau pendukungnya. Hal ini dapat terlihat pada kenyataan bahwa orang-orang seperti Confucius sering kali ditelantarkan oleh para penguasa karena dia menjadi pengantara yang berdasarkan kepada kebenaran dan bukan kepentingan diri. Meskipun ada konsep kebenaran universal atau hukum (‘Tian-Li’), namun tidak didefinisikan dengan benar. Pada akhirnya, kepentingan pribadi yang menang.

P: Apakah ada konsep mediator/pengantara antara manusia dan Allah di dalam kebudayaan Chinese?

Y: Kebudayaan Chinese menunjang sistem politheisme, dengan banyak dewa yang beraneka ragam di dalam jajaran / ordo. Hal ini diperumit dengan masuknya konsep-konsep Buddhisme (yang secara esensial bernatur India) dengan banyak tokoh (seperti Buddha dan berbagai macam Boddhisattva, seperti Kuan Im) dalam suatu kepercayaan yang kompleks. Dengan demikian, di dalam sistem ini mediator hadir di dalam bentuk dewa-dewa kecil yang akan menyampaikan permohonan-permohonan umatnya kepada dewa-dewa yang lebih berkuasa, terutama kepada dewa-dewa yang berkuasa atas fungsi yang beraneka ragam. Sebagai contoh, dewa dapur akan kembali ke ruang pelataran sorga untuk melaporkan apa yang dia lihat dalam setiap rumah tangga (karena dia bertempat tinggal di altar yang terletak di dapur) setahun sekali, tepat sebelum hari raya Imlek. Jadi, agar dewa dapur melaporkan hal-hal yang baik kepada dewa-dewa petinggi dan menjadi mediator untuk kepentingan rumah tangga tersebut, madu akan dioleskan pada bibir patung dewa dapur sehingga ia hanya menyampaikan kata “manis” kepada raja dewa. Begitu juga halnya perlakuan dengan dewa tanah sebagai pengantara.

Ada pula konsep mediasi yang lebih rumit di dalam Buddhisme, seperti cerita tentang sang Buddha yang menyayat dagingnya sendiri untuk menyelamatkan seekor burung merpati yang akan dimangsa oleh burung elang. Daging yang disayat berberat sama dengan burung merpati tersebut dan diberikan kepada sang elang sebagai pengganti burung merpati. Meskipun demikian, tidak ada konsep tentang keselamatan universal melalui mediasi atau perantaraan satu orang di dalam konsep Buddhisme. Konsep-konsep Buddhisme lebih berfokus kepada konsep menolong diri sendiri, di mana setiap orang bertanggung jawab untuk kelakuannya sendiri dan dapat terangkat menjadi Buddha atau terbuang menjadi setan tergantung pada pilihannya sendiri dan usahanya di dalam hidup.

P: Apabila tidak ada konsep mediator/pengantara antara Allah dan manusia di dalam kebudayaan Chinese, apakah yang dijadikan ”pengganti” atas kenyataan bahwa manusia membutuhkan seorang Juruselamat?

Y: Konsep bahwa semua manusia memerlukan seorang Juruselamat bukan konsep Chinese. Yang paling mendekati, kebudayaan Chinese percaya akan juruselamat hanya jika ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan muncul, seperti adanya penyakit yang tidak bisa disembuhkan, bencana alam, atau kehancuran dalam keuangan. Penekanan kebudayaan Chinese tradisional akan pengandalan diri dan kerja keras didukung oleh konsep Buddhisme akan takdir yang dikontrol oleh diri sendiri, sehingga konsep aritmatik penambahan dan pengurangan di dalam perbuatan sungguh ditinggikan. Hal ini menyimpulkan bahwa hidup adalah neraca keseimbangan antara perbuatan baik melawan perbuatan buruk. Konsep ini menjadi semakin “lengkap” dengan dimasukkannya konsep reinkarnasi Hinduisme/Buddhisme, sehingga segala sesuatu di dalam hidup juga dapat dijelaskan dengan perbuatan yang dilakukan pada kehidupan yang sebelumnya. Dengan arti, bagaimana kita menjalankan kehidupan yang sebelumnya memberikan penjelasan akan setiap hal yang terjadi atau tidak terjadi pada kehidupan yang sekarang. Oleh karena itu, tidak dirasakan perlu untuk mempercayai konsep mediator (selain dari pada hal-hal kecil), karena semua bergantung pada takdir yang dikontrol oleh diri sendiri.

P: Bagaimanakah kita membagikan/men-sharingkan konsep Yesus Kristus sebagai satu-satunya Pengantara bagi manusia?

Y: Mungkin konsep yang paling sulit diterima orang Chinese adalah bahwa “setiap umat manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah.” Hal ini dikarenakan akan kepercayaan kepada pendekatan aritmatik terhadap moralitas dan etika – konsep sederhana penambahan dan pengurangan yang diakumulasi selama banyak kehidupan, yang telah lampau dan yang akan datang. Jadi, seorang Chinese akan merasa dirinya baik, selama kebaikannya melebihi kejahatannya. Dan bila ia merasa bersalah akan apapun, ia dapat menyingkirkan perasaan itu dengan berbuat baik seperti memberi sedekah kepada yang miskin, melepaskan burung, ikan dan kura-kura (yang padahal akan ditangkap kembali oleh peternak), menaikkan doa, dan lain-lain. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang unik untuk kebudayaan Chinese saja, tetapi Chinese nampaknya lebih tidak sensitif terhadap peran hidupnya dan dosa-dosa (mungkin orang-orang Barat sudah dicerahi oleh firman Tuhan dalam aspek ini), sehingga kita bisa melihat banyak eksploitasi terhadap orang-orang dan lingkungan dalam skala yang lebih dramatis di Asia.

Posisi seperti ini tentu sangat sulit untuk dipecahkan, karena itu berarti seseorang harus mengenal dan mengakui dosa-dosanya, yang bukan merupakan sifat kebudayaan Chinese. Pendekatan yang saya lakukan adalah selalu dengan membagikan kebenaran firman Tuhan dan menyatakannya secara gamblang. Saya juga akan akan menunjukkan dengan jelas bahwa manusia tidak bergerak menuju masa depan yang lebih baik setelah sekian banyak generasi, dan menyatakan bahwa permasalahannya terletak pada natur manusia yang sudah rusak total. Satu contoh bagaimana konsep penambahan dan pengurangan tidak dapat diterima: seorang dokter tidak dapat berargumen bahwa ia harus dilepaskan dari hukuman membunuh satu orang karena ia telah menyelamatkan satu juta orang sebelumnya. Hal ini dikarenakan hal-hal tentang dosa dan moralitas memiliki dasar yang lebih tinggi dari aktivitas normal manusia, dan dasar tersebut adalah Allah. Saya juga akan menunjukkan bahwa setiap kita mengetahui cengkeraman dosa akan hidup kita. Sebagaimana Rasul Paulus mengamati, kita tidak melakukan apa yang kita kehendaki tetapi malah apa yang tidak kita kehendaki. Hal ini memberikan kesaksian akan natur keberdosaan manusia yang tidak akan hilang hanya dengan perbuatan baik. Oleh karena itu, kita memerlukan seorang Juruselamat.

Sebagai orang Kristen Reformed, kita percaya bahwa pencerahan Roh Kuduslah yang akan mengubah hati seorang pendosa. Saya meyakini bahwa pendekatan yang terbaik adalah dengan menyampaikan Injil secara lengkap, menjawab pertanyaan sejujurnya, dan berserah kepada Roh Kudus untuk bekerja, setelah lebih dulu menyerahkan orang tersebut kepada Allah dalam doa yang penuh kasih.