“Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat! Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu. Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.”[1]
Kita hidup dalam satu kesadaran bahwa kedatangan Tuhan Yesus ataupun kematian kita bisa terjadi setiap saat dan setiap kita, sadar atau tidak, seharusnya menata kehidupan di dalam kenyataan itu. Dalam bagian Kitab Suci ini kita kembali mendengar apa yang sudah sering terdengar sejak zaman rasul Yakobus, “Bersabarlah dan teguhkanlah hatimu karena kedatangan Tuhan sudah dekat! Janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum.”[2] Apakah yang kita pikirkan saat mendengar bahwa kedatangan Tuhan sudah dekat? Berapa seringkah kita bersungut-sungut di dalam hidup kita namun penghukuman Tuhan tidak kunjung tiba? Atau berapa sering kita menghakimi orang lain namun Tuhan tidak juga menghukum? Seolah-olah Kitab Suci sudah tidak relevan dengan hidup kita.
Kehidupan orang-orang percaya dalam zaman rasul Yakobus mengalami tekanan kemiskinan dan penganiayaan. Bagian ini dituliskan untuk menasihatkan mereka agar bersabar dan meneguhkan hati ketika mengalami kehidupan seperti itu. Meskipun mungkin kita tidak mengalami hal yang sama dengan orang-orang percaya di abad mula-mula, namun hidup kita pun tidak akan pernah luput dari kesulitan dan penderitaan, yang sering kali kita sulit mengakuinya. Mungkin saat ini di tempat lain ada orang yang mati karena bunuh diri, ada yang menderita sakit kanker, atau tekanan di dalam batin. Penderitaan adalah bagian dari hidup manusia baik orang percaya ataupun orang tidak percaya sejak kejatuhan Adam sampai sekarang. Rasul Yakobus tahu bahwa janji tentang kedatangan-Nya akan membawa pengharapan bagi orang-orang percaya yang sedang dalam penderitaan. Oleh sebab itu dia memakai eskatologi untuk mempersiapkan pertumbuhan rohani orang Kristen.[3] Dalam pembukaan suratnya, rasul Yakobus telah menasihatkan kita untuk bertekun dalam menghadapi ujian, dan bersabar ketika melalui kesulitan yang Tuhan berikan, karena itu bertujuan untuk membawa kita kepada pertumbuhan untuk menjadi sempurna dan tak kekurangan suatu apa pun.[4]
Dalam bagian ini juga, kita melihat bahwa ternyata kesabaran adalah suatu karakter yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan itu, sehingga pada akhirnya kita boleh hidup berbuah. Kesabaran di sini bukan dalam arti yang sempit dalam batasan bisa menahan emosi atau tidak suka marah-marah, meski itu pun pasti ada bagiannya,[5] namun kesabaran di sini mengacu kepada kesabaran dalam menanggung segala kesulitan bersama Tuhan.[6] Kesabaran mengajarkan kepada kita untuk berhenti mengandalkan diri dan melihat bagaimana tangan Tuhan bekerja di dalam ketidakmengertian kita. Sering kali ketika kita dalam kesulitan kita tidak sabar menunggu Tuhan, lalu mencari jalan keluar sendiri, bukan di dalam Kitab Suci, tetapi di dalam keinginan untuk memenuhi kepuasan diri. Dan akhirnya kita menggeser tempat Tuhan dan menjadikan kesenangan kita itu berhala-berhala di dalam hidup kita, di mana tanpa sadar kita terlena dan dengan setia menyerahkan setiap kesulitan kita kepadanya. Oleh sebab itu kita tidak memperoleh pertumbuhan sebagaimana yang seharusnya, menurut ukuran yang diberikan Tuhan. Dia memberikan berbagai ujian yang berlainan dengan apa yang kita inginkan, agar kita boleh mencapai suatu kematangan rohani yang Dia tetapkan bagi masing-masing kita. Namun demikian Kitab Suci telah memberikan jalan keluar untuk kita ikuti, melalui tiga contoh kesabaran dan ketekunan dari seorang petani, para nabi, dan Ayub.
Petani
Seorang petani menggantungkan harapannya hanya kepada Tuhan di saat menantikan turunnya hujan. Mereka menahan keinginannya yang tergesa-gesa untuk menuai buahnya yang berharga itu dan dengan sabar mereka menanti hujan yang diberikan Tuhan pada musimnya untuk memberikan pertumbuhan, sehingga kesabaran itu akhirnya menghasilkan buah yang berharga. Petani itu hanya dapat mengerjakan sebatas mempersiapkan tanah untuk ditaburi benih dan menanamkan benih, selebihnya mereka hanya bisa bergantung kepada Tuhan dengan berdoa.[7] Seperti hujan awal dan akhir musim tidak mungkin bisa diatur sesuai keinginan kita maka hal kedatangan Tuhan pun tidak bisa kita atur. Oleh sebab itulah kita harus memusatkan perhatian kita bukan kepada kapan Dia datang, tetapi kepada bagaimana kita harus mengerjakan bagian kita dengan setia sambil mengarahkan pandangan kita ke sorga, di mana Tuhan pun sedang mengamati dan menanti kita pulang. Kitab Suci telah mengajarkannya secara sederhana bahwa kita harus bergantung hanya kepada Tuhan dalam proses pertumbuhan kerohanian kita. Namun seperti petani yang harus mempersiapkan tanah dan menabur, demikian kita harus mempersiapkan hati kita menjadi tanah yang siap untuk ditaburi oleh firman-Nya setiap hari. Tetapi juga kita harus berdoa memohon kepada Tuhan supaya Dia berkenan menumbuhkan setiap benih firman yang sudah ditaburkan itu, sehingga kita boleh bertumbuh serta menghasilkan buahnya pada waktunya. Namun demikian setan pasti tidak suka ketika kita berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dan mengikuti-Nya. Oleh sebab itulah jikalau kita sungguh-sungguh mengikut Tuhan pasti kita akan mengalami banyak kesulitan.[8] Namun kita mengerti bahwa kesulitan dan penderitaan di sini memiliki arti kesulitan yang disebabkan karena Injil ataupun tekad kita untuk menjauhkan diri dari nafsu dunia.
Jangan bersungut-sungut dan saling mempersalahkan
Kitab Suci telah memaparkan kepada kita dua dosa yang menghambat pertumbuhan kerohanian seorang Kristen, yaitu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan. Bersungut-sungut di sini bukan berarti kejujuran kita ketika menyampaikan keluhan karena tekanan hidup yang berat kepada Tuhan, tetapi suatu dosa karena lidah yang disebabkan karena kita tidak lagi beriman kepada Tuhan.[9] Dengan kata lain, mengeluh dengan iman dan mengeluh tanpa iman itu berlainan; yang pertama, sadar Tuhan yang memberikannya untuk kebaikan kita dan memohon belas kasihan-Nya untuk menanggungnya, yang kedua, mengeraskan hati lalu mengucapkan kalimat-kalimat yang memfitnah, mempersalahkan orang lain, yang semuanya, tanpa disadari, sebenarnya ditujukan kepada Tuhan. Dosa bersungut-sungut ini akan membuat kita mengembara ke dalam berbagai-bagai permasalahan yang sangat merugikan, baik diri kita sendiri maupun orang lain, bahkan relasi kita dengan Tuhan. Kita teringat akan dosa bersungut-sungut dari bangsa Israel, yang membuat relasi mereka dengan Tuhan rusak. Mereka dibawa berkeliling-keliling di padang gurun berpuluh-puluh tahun sampai semua angkatan yang memberontak itu mati![10] Jika kita termasuk di antara mereka saat itu kita pasti binasa semua. Tuhan sudah mengingatkan kepada kita saat ini, kita harus belajar untuk berubah, khususnya bagi saya yang paling tertegur ketika menggumulkan firman ini. Kitab Suci mengingatkan kita bahwa lidah adalah api dan merupakan dunia kejahatan.[11] Bahkan di bagian lain diungkapkan bahwa lidah berhubungan dengan umur panjang dan hari-hari baik.[12] Namun celakanya kita hanya menyukai umur panjang dan hari baik tanpa ada usaha mengekang lidah. Kesabaran merupakan penawar dari racun ini dan Kitab Suci menyebutnya sebagai salah satu buah Roh dan merupakan tanda seseorang yang dipenuhi Roh Kudus.[13] Mudah-mudahan di antara ribuan kalimat yang kita ucapkan di udara setiap hari, terdapat satu atau dua kalimat yang menguatkan orang lain dan membuat mereka bertambah dekat dengan Tuhan.
Para Nabi dan Ayub
Kehidupan para nabi yang sabar menderita meskipun sama seperti kita, mereka memiliki kelemahan, namun mereka menggunakan lidahnya untuk memberitakan kebenaran. Kita sudah mendengar tentang Elia, bagaimana dia ketakutan lalu lari dan minta mati, setelah mendengar bahwa dia akan dibunuh, demikian juga dengan Musa, Yeremia, Yunus. Namun demikian mereka semua memiliki karakter yang unik, mereka tekun menderita untuk nama Tuhan dan menanggungnya bersama Tuhan. Mereka tidak berusaha menutupi kesulitannya tetapi jujur mengungkapkan penderitaannya kepada Tuhan. Demikian dalam kehidupan Ayub dengan ketekunannya yang luar biasa menjadi contoh bagi kita, dan kita dapat melihat apa yang Tuhan sediakan bagi dia pada akhirnya. Apakah rahasia ketekunannya? Kitab Suci sudah memberi tahu di permulaan bahwa Ayub seorang yang saleh, jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan. Semua hal ini menjadi suatu ukuran bagi kita untuk menjadi orang yang dipuji Allah. Tuhan berkata bahwa tidak ada satu orang pun di bumi yang seperti dia. Kita mengetahui kalimat yang dia keluarkan setelah mendapat penderitaan yang begitu berat adalah: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”[14] Kalimat seperti ini tentunya membutuhkan perjuangan yang luar biasa dalam pertumbuhan imannya bersama Tuhan. Ayub menyadari bahwa segala yang dia miliki itu dia terima dari Tuhan. Dalam hal ini Kitab Suci mengajarkan bahwa tidak ada satu pun yang kita miliki adalah milik kita, itu semua adalah titipan Tuhan. Titipan berarti bukan milik kita, tetapi milik Tuhan, oleh sebab itu segala pujian yang kita terima harus dikembalikan kepada Dia. Kita juga harus berhati-hati dengan menggunakan segala talenta kita, bukan untuk kepentingan pribadi tapi untuk kepentingan bersama. Sehingga dengan pengertian ini kita akan dijauhkan dari dua ekstrem, yaitu, menjadi iri dan sombong; kita tidak perlu iri ketika melihat orang lain lebih berhasil dari kita atau sebaliknya merasa sombong karena diri kita lebih pandai dari orang lain. Karena segala yang kita miliki hanya titipan saja yang harus dikembalikan untuk dipertanggungjawabkan suatu hari nanti.
Kita bisa belajar dari empat karakter yang Ayub miliki. Pertama, saleh; ini berhubungan dengan kekudusan dengan menjauhkan diri dari pencemaran dunia. Dalam hal ini kita harus menuntut kedisiplinan dalam membaca Kitab Suci dan berdoa. Kedua, jujur; orang seperti ini tidak mau menipu dirinya sendiri, oleh sebab itu dia membicarakan segala permasalahannya kepada Tuhan, karena orang yang berani menipu Tuhan pasti sudah tidak ada penolongnya. Seperti ketika Ayub menderita, dia pun jujur mengucapkan keluhannya, demikian kita pun wajar jika mengeluh, kita terbuka memberi tahu segala kesulitan dan pergumulan kita kepada Dia dalam doa-doa kita. Justru ini membuktikan kita memiliki relasi yang baik dengan Tuhan dan ini merupakan ciri orang yang bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Ketiga, takut akan Allah; ini adalah permulaan segala kebijaksanaan. Berarti pengenalan akan Tuhan itu penting sekali, karena itu kita seharusnya berusaha untuk belajar mendalami firman, bukan untuk menyombongkan diri, tetapi dengan kesadaran ingin sungguh-sungguh mengenal siapa Tuhan yang telah menciptakan kita dan untuk apa kita diciptakan. Keempat, menjauhi kejahatan; keinginan untuk hidup menjauhi dosa dengan melakukan semua firman yang telah kita terima dari Tuhan.
Sebuah Pelajaran
Kita telah melihat dari kehidupan petani, para nabi, dan kehidupan Ayub yang telah berjuang sampai akhir. Mereka semua bergantung hanya kepada Tuhan dan mengarahkan pandangan mereka kepada tujuan akhir dari semua yang mereka kerjakan, yaitu untuk kemuliaan Tuhan. Demikian dalam semua pekerjaan dan pelayanan yang kita lakukan, dengan pengorbanan yang kita berikan, jika kita tidak memiliki tujuan yang benar untuk memuliakan Tuhan, maka kita akan mudah sekali mengeluh dan menghakimi. Karena kita harus ingat selama hidup di dalam dunia ini, tanggung jawab kita adalah hanya untuk mengerjakan apa yang Tuhan mau kita kerjakan, berarti Dia pasti menyediakan semua yang kita perlukan untuk mengerjakannya. Jikalau kita mengerjakan sesuatu dengan motivasi hati yang murni untuk kebesaran Kristus, maka kita tahu itulah yang Tuhan mau kita kerjakan. Bagaimana kita tahu apa yang Dia mau jika untuk mendengar suara-Nya pun kita tidak mau?[15] Tuhan pasti dapat berbicara lewat apa pun dalam kehidupan kita, termasuk keindahan alam, petir yang menggelegar, sakit penyakit yang kita derita, percakapan kita dengan orang lain, bahkan mimpi; namun yang paling esensial adalah melalui perenungan Kitab Suci dan doa kita setiap hari. Sehingga melalui inilah relasi kita dengan Tuhan dijaga, maka apa pun yang kita kerjakan tidak akan sia-sia.[16] Dengan kata lain, jika kita memiliki relasi yang intim dengan Tuhan, ternyata begitu banyak cara yang dipakai-Nya untuk berbicara kepada kita dan kita akan mengenali apa yang Dia inginkan. Sehingga kita tahu kapan kita berhenti atau meneruskan pekerjaan kita yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya, karena mungkin kita sudah jauh dari Tuhan dan terus mengerjakan pekerjaan hanya untuk mencari ketenaran, menumpuk harta, dan kepuasan diri. Padahal kita lupa bahwa segala kemampuan yang kita miliki diberikan oleh Tuhan, dan Dia menuntut kita untuk memakainya bagi kemuliaan-Nya.
Akhir Kata
Dalam masa penantian kedatangan Tuhan marilah kita bersama-sama belajar untuk tidak bersungut-sungut dan tidak menghakimi orang lain, namun kita harus rela menyangkal diri untuk mengerjakan apa yang Tuhan inginkan, sehingga kita bisa terus bertumbuh dan memberi buah, dan bersabar melalui pembentukan yang sulit dan keras dari Tuhan, dengan satu tujuan agar kita menjadi serupa dengan Kristus. Kiranya Tuhan memberi kekuatan kepada kita untuk melewati semua kesulitan dalam hidup yang sementara ini, sehingga kita bisa mencapai suatu tingkat kematangan rohani menurut ukuran yang sudah Dia tetapkan. Amin.
Yakub E. Kartawidjaja
Mahasiswa STT-Reformed Injili Internasional
Endnotes:
[1] Yakobus 5:7-11.
[2] Eschatos pada masa depan menempati tempat yang penting dalam surat Yakobus. Dia sering kali memperingatkan orang-orang percaya tentang penghakiman yang akan datang supaya mereka memperhatikan tingkah laku dan karakter mereka (Yak. 1:10-11; 2:12-13; 3:1; 5:1-6, 9, 12). Douglas J. Moo, The Letter of James (William B. Eerdmans Publishing Company, 2000), 29-30.
[3] David P. Nystrom, The NIV Application Commentary (Zondervan Publishing House), 293.
[4] Yakobus 1:2-4.
[5] 1 Korintus 13:5.
[6] Roma 12:12.
[7] Di Palestina, para petani sangat bergantung kepada hujan yang turun pada akhir musim gugur dan awal musim semi. Hujan awal turun sekitar bulan Oktober, lalu petani mulai mempersiapkan tanah untuk menerima benih dan menanamkan benih itu. Hujan akhir pada bulan Maret dan April, untuk menumbuhkan benih itu dan dipastikan menghasilkan buah yang baik. J. A. Motyer, The Message of James (Inter-Varsity Press, 1985), 180.
[8] Di dalam Kisah Para Rasul 14:22, kita kembali diingatkan bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, kita harus mengalami banyak sengsara. Band. Mat. 24:9, 21; Kis. 11:19; Rm. 12:12; 2Kor. 2:4; 4:17; 8:13; Flp. 1:17; Kol. 1:24; 2Tes. 1:6; Yak. 1:27; Why. 2:9, 22; 7:14.
[9] Bandingkan dengan Yakobus 3:1-12; 4:11-12, lalu dengan sungut-sungut bangsa Israel (Kel. 15:24; 16:2, 7; 17:3; Bil. 11:1; 14:2, 27, 29; 16:41; Yos. 9:18).
[10] Bilangan 14:29; 17:10; 1 Korintus 10:10.
[11] Yakobus 3:1-12.
[12] Mazmur 34:12-13; 1 Petrus 3:10.
[13] Galatia 5:22-23.
[14] Ayub 2:10 (Band. 1:21).
[15] 1 Samuel 3:9.
[16] 1 Korintus 15:58.