Artikel-artikel lain sudah membahas kebaikan musik yang benar sampai berbusa-busa. Sekarang, to the point aja ya pertanyaannya, apa sih yang salah dengan musik[1] populer sampai tidak boleh dipakai sebagai persembahan pujian dalam ibadah kepada Tuhan?
1. Beat Musik Rock
Beat-nya yang keras, temponya yang cepat, dentaman bass yang meledak-ledak membuat musik rock bisa dipakai untuk membangkitkan semangat, menemani orang berolahraga, dan mencegah orang mengantuk. Drum atau gitar bass adalah alat musik wajibnya.
Sebenarnya tekanan yang berat dalam birama 4/4 itu jatuh pada ketukan 1 dan 3, dan tekanan yang ringan pada ketukan 2 dan 4. Tapi musik rock melanggar norma ini dengan mengutamakan ketukan 2 dan 4 (Ini baru satu pelanggaran saja). Tekanan pada ketukan 2 dan 4 disebut juga syncope, dan merupakan variasi yang menarik jika dan hanya jika proporsional. Dalam musik rock syncope yang terus-menerus sepanjang lagu bukan lagi syncope, melainkan keterbalikan. Perbedaan ‘sesekali’ dan ‘terus-menerus’ adalah perbedaan yang signifikan. Kita tertawa kalau melihat satu kali seorang anak laki-laki balita salah memakai baju saudaranya perempuan, tapi kita kuatir kalau ia terus-terusan sampai umur 25 masih memakai baju perempuan dan tidak mau memakai baju laki-laki.
Semangat yang mendasari perlawanan terhadap apa yang seharusnya ini adalah semangat yang keluar dari jiwa pemberontakan. Kita menikmati beat semacam ini karena memang di dalam hati kita ada semangat memberontak, bahkan sewaktu kita sedang bernyanyi dalam gereja “memuji” Tuhan. Apakah Saudara tahu apa arti nama Setan? Artinya si penentang, pemberontak. Richard Abanes dalam bukunya “Harry Potter and the Bible” menjelaskan bahwa inti witchcraft atau sihir tidak harus berarti pelanggaran aktif terhadap semua 10 butir perintah Tuhan. Penyihir zaman ini tidak membuat ramuan mendidih berwarna hijau dalam pot-pot raksasa atau terbang dengan sapu, melainkan hidup damai dengan moto, “Biarkan aku hidup tenang sama seperti aku membiarkanmu hidup tenang. Setiap orang kerjakanlah apa yang baik menurut dirinya sendiri.”[2] Lebih jauh lagi, ia memberikan definisi Satanisme antara lain sebagai suatu agama yang tidak melewatkan ritual ataupun upacara yang memuaskan kebutuhan emosi pengikutnya.[3] Sewaktu kita menyembah Tuhan dengan cara yang “baik menurut kita sendiri,” atau pergi ke gereja untuk memuaskan kebutuhan emosi kita sendiri, Saudara tahu sendiri, kita sedang mengikuti siapa.
2. Harmoni Musik Jazz
Ah, musik jazz. Apa jadinya budaya café tanpa musik ini? Begitu membuai, mengangkat jiwa dari kemelut hidup sehari-hari, melayang lembut masuk ke awang-awang…. Harmoninya menggantung-gantung tanpa ketegasan, sesuai dengan fenomena yang kita temui dan alami dari hari ke hari, bahwa tidak ada kepastian. Tidak ada awal dan tidak ada akhir, lagu jazz bisa dimulai dan diakhiri dengan harmoni yang tidak jelas dissonant[4] ataupun assonant[5]. Jazz memberikan ilusi ketenangan; ketiadaan dua pihak yang berseteru dalam satu gambar. Ini berarti damaikah?
Sering kita begitu menginginkan damai yang murahan, damai yang semata-mata ada karena tidak ada konflik. Alkitab mengajarkan bahwa damai akan ada ketika yang jahat dikalahkan oleh Kebaikan. Sampai saat itu tiba, kita harus mengerjakan perbuatan baik yang disiapkan oleh Allah, dengan aktif berusaha menjadi saluran damai yang dari surga, bukan diam berpangku tangan melihat kebenaran dan keadilan diinjak-injak.
3. Kemiskinan Musik Pop
Lagu “My Immortal” dari Evanescence adalah salah satu lagu paling sedih (sekaligus favorit) yang saya pernah kenal. Harmoni seluruh bait pertamanya (juga kedua dst., jadi seluruh lagu kecuali refrain dan bridge) adalah sebagai berikut: C – Em – C – Em – C – Em – C – Em. Interval melodinya hampir tidak pernah lebih jauh dari satu langkah penuh. Mengapa lagu ini bisa membangkitkan perasaan sedih yang begitu dalam? Mungkin justru karena harmoni dan melodinya hanya berputar-putar di situ-situ saja. Kita mengidentikkan kesedihan sebagai satu perasaan yang mengikat dan membelenggu kita hingga setiap usaha untuk bergerak hanya membawa kita ke situ-situ saja. Atau jika tidak, kita belajar dari musik semacam ini, bahwa jika kita sedih, kita tidak bisa melakukan banyak hal dan normal bagi kita untuk mengabaikan banyak tanggung jawab kita. Musik semacam ini membawa kita tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan kita.
Sekarang jika ada yang mengatakan bahwa yang membuat suatu lagu menjadi lagu Kristiani adalah kata-katanya, mari kita bereksperimen. Kita gunakan musik sedih semacam ini untuk membawa jemaat merasakan penderitaan Kristus di Golgota. Monotonnya harmoni menggambarkan langkah yang terseok-seok, kiri, kanan, kiri, kanan, di jalanan yang berdebu dan ditetesi darah. Interval kecilnya menggambarkan kelelahan yang ekstrim. Apa yang terjadi? Yang dipelajari oleh jemaat adalah, “Betapa kasihannya Tuhan disalib! Betapa menderita, sengsara, tak berdaya, oh sedihnya!” Apakah ini Alkitabiah? Tidak! Sama sekali tidak!
Kristus sendiri mengatakan kepada para wanita yang sedih karena Dia, dalam perjalanannya ke Golgota, “Janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” (Luk. 23:28) Kristus tahu persis mengapa dan untuk apa Ia menderita, tetapi kita menganggap penderitaan-Nya murahan dengan memiskinkan reaksi emosional kita. Ia bukan disalib karena Ia sial atau terlalu lemah sehingga tidak bisa melindungi diri-Nya sendiri dari korban kejahatan manusia. Bukan! Ia Allah yang berkuasa, dan kapan saja Ia mau, Ia boleh tidak usah menderita dan disalib untuk kita. Jika Ia hanya mengatakan satu kata saja, maka malaikat akan turun dan menghabiskan semua penyiksa-Nya. Api menyambar dari langit, membakar habis semua salib yang dipancang di sana. Penyembuhan Ilahi langsung mengembalikan semua kekuatan dan kesehatan tubuh-Nya. Dan Ia tetap tidak melanggar keadilan dan kebaikan-Nya. Seandainya semua kita orang berdosa masuk neraka karena perbuatan jahat kita sendiri, Allah tetaplah baik. Ia benar-benar tidak memiliki keperluan atau kewajiban apapun untuk menyelamatkan kita.
Saudara mengerti betapa konyolnya jika kita mengasihani Kristus? Tetapi musik yang miskin akan membawa kita kepada reaksi semacam ini. Bagi saya musik gereja semacam itu adalah penghinaan.
Kita tidak mungkin membahas setiap lagu yang pada saat ini dipakai untuk “memuji Tuhan,” tetapi kiranya setiap orang bertanggung jawab di hadapan Tuhan, dengan penuh kerendahan hati mau terus belajar dan dibentuk. Soli Deo Gloria.
Tirza Juvina Rachmadi
Pemudi GRII Karawaci
[1] Bukan masalah liriknya, tetapi musik itu sendiri.
[2] “Harry Potter und die Bibel” halaman 172.
[3] “Harry Potter und die Bibel” halaman 178.
[4] Harmoni nada-nada yang bertabrakan, misalnya kleine Sekunde yang bunyinya seperti klakson mobil jelek.
[5] Harmoni nada-nada yang cocok dibunyikan bersama, misalnya octave, c dan c’, atau do dan do tinggi.