ERGOnomi dan EGO-nomi

Pada Pillar edisi sebelumnya, kita sudah melihat prinsip keluasan dan keutuhan wahyu di dalam lingkup penginjilan (di mana penginjilan memang harus dilihat daripada pemberitaan wahyu khusus di dalam dan melalui wahyu umum). Pillar edisi kali ini kita akan melanjutkan tema “Relasi Wahyu Khusus dan Wahyu Umum” di dalam keluasan dan keutuhannya di dalam lingkup dunia ilmu pengetahuan.

Kita sering sekali mendengar pernyataan maupun pertanyaan seperti ini: “Bukankah menerima Kristus sebagai Juruselamat saja sudah cukup untuk kita? Sudah sebuah anugerah kita diberikan iman untuk percaya kepada Tuhan Yesus. Ngapain sih kita bahas theologi di dalam dunia pengetahuan? Kurang kerjaan ah. Hidup baik-baik saja, jangan terlalu ekstrim. Apa-apa dikaitin ke Alkitab. Jangan terlalu mengekstrimkan Alkitab donk!” Benarkah pemikiran tersebut? Alkitab tidak pernah mengajarkan prinsip demikian. Apa yang Alkitab ajarkan adalah prinsip keutuhan dan keluasan wahyu. Cornelius Van Til memperkenalkan sebuah metode yang menggunakan prinsip ini, yaitu metode implikasi. Namun sebelum kita membahas tentang implikasi, ada baiknya kita membahas beberapa terminologi penting yang melatarbelakangi Van Til di dalam pembahasan tentang metode implikasinya.

Epistemologi

Hal yang paling familiar ketika kita mendengar istilah ini adalah epistemologi berbicara tentang “Bagaimana saya tahu apa yang saya tahu itu benar?”, “Ilmu yang mengajarkan kita bagaimana belajar untuk belajar”, dan seterusnya. Kedua hal tersebut itu sangat mewakili penjelasan tentang epistemologi secara umum. Namun epistemologi Kristen dimulai dari Allah yang menyatakan diri-Nya kepada kita, bukan dari diri manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Maka, Van Til mengatakan bahwa dasar epistemologi Kristen adalah “The Revelation of God”.

Analisa dan Sintesa

Waktu kita menganalisa setiap wahyu yang diberikan Allah (baik di dalam wahyu umum maupun wahyu khusus-Nya), kita pun harus membandingkannya di dalam berbagai perspektif dan harus terkait. Keterkaitan ini menyatakan bahwa Allah mewahyukan diri-Nya di dalam kebenaran-Nya. Semua kebenaran palsu ketika dianalisa di dalam keutuhan dan keluasan wahyu, mereka harus gugur.

Korespondensi dan Koherensi

Segala sesuatu yang kita pelajari dan apa yang kita tahu haruslah berkaitan dengan hal-hal lainnya di dalam dunia ciptaan ini baik di dalam keterkaitan secara yang terlihat di suatu waktu tertentu, maupun keterkaitan di dalam sejarahnya. Inilah yang disebut dengan korespondensi. Sedangkan koherensi berbicara tentang apa yang kita tahu juga harus terkait kepada Allah Sang Pemberi Wahyu. Pernyataan yang mengatakan bahwa “Pemikiran Kristen harus bersifat analog dengan pengetahuan Allah”, sebenarnya diambil dari prinsip korespondensi dan koherensi.

Objektivitas

Objek adalah segala sesuatu yang berinteraksi dengan subjek. Objek ini juga merupakan being yang ada di dalam creation. Van Til mengatakan bahwa objektivitas manusia mau tidak mau dipengaruhi oleh sistem pemikiran manusia tersebut. Dengan demikian sistem pemikiran manusia yang benarlah yang akan menghasilkan perspektif di dalam melihat objek yang benar pula. Pada kesimpulan akhirnya, objektivitas yang benar hanya berasal dari epistemologi yang benar. Epistemologi yang benar satu-satunya bersumber dari Allah Sang Pewahyu, yang dinyatakan di dalam Alkitab yang kita kenal sekarang ini.

Metode

Setiap sistem pemikiran baik sistem pemikiran Kristen maupun non-Kristen pasti dimediasi oleh sebuah metode, dan sistem tersebut harus dinyatakan di dalam metode yang spesifik. Metode di dalam melihat objek dari orang Kristen dan orang non-Kristen pasti berbeda. Mengapa berbeda? Jelas seperti yang dituliskan oleh Van Til di dalam buku “A Survey of Christian Epistemology”, orang Kristen melihat fakta di dalam presuposisi fakta akan keberadaan Allah. Fakta inilah yang menjadi  starting point yang sekaligus final judgment di dalam metode implikasi.

Mengapa perlu detail?

Karena memang kita (baca: orang Kristen) harus mengerjakan hal tersebut di dalam tuntutan kita sebagai garam dan terang yang mempengaruhi dunia. Oleh karena itu, kita harus sadar bahwa kita sebagai orang Kristen dituntut dan seharusnya dimampukan untuk mengaplikasikan dan merepresentasikan iman kita. Representasi iman di dalam kehidupan sehari-hari termasuk yang mencakup kehidupan akademik kita. Semudah atau sesulit apapun, secara sadar maupun tidak sadar, secara detail maupun general, kita harus terus menyatakan keberadaan kita yang ada di dalam kebenaran, menyatakan bahwa Allah kita adalah Allah yang berdaulat absolut. Maka, di dalam pembahasan kali ini, kita akan sejenak “berolah-raga otak” untuk mencoba melihat prinsip-prinsip firman Tuhan (wahyu khusus) di dalam membaca ilmu pengetahuan (wahyu umum).

Modern dan Postmodern

Secara kasar dapat disimpulkan bahwa di zaman modern orang cenderung berfokus kepada esensi, teori, maupun isinya, sedangkan di zaman postmodern, orang cenderung berfokus kepada kulitnya, aplikasinya, maupun bungkusannya. Maka pada tahun 1800-1900an (era modern), banyak sekali scientist diberikan hadiah Nobel karena menemukan suatu teori tertentu. Pencapaian demikian merupakan suatu kebanggaan yang diidam-idamkan orang modern, bangga karena diakui “punya otak”. Orang modern sangat mengejar prinsip sampai sedetail-detailnya. Maka tidaklah heran, sampai ke zaman Perang Dunia, orang sangat gencar mencari dan mengejar penemuan baru dalam ilmu pengetahuan yang kemudian langsung dipakai untuk optimalisasi kebutuhan perang. Namun sekarang di zaman postmodern malah sebaliknya, orang lebih mengejar penemuan sesuatu yang hanya bersifat superfisial, aplikatif, dan sesuai dengan selera, relasi, dan yang penting kena sensasinya. Mungkin kata yang paling tepat menggambarkan modern dan postmodern adalah “esensi” vs “sensasi”, “absolut” vs “relatif”, “baja” vs “air”, dan lain sebagainya (kita boleh tentukan seluas-luasnya untuk membukakan pengertian kita lebih dalam akan perbedaan mendasar dari kedua semangat zaman ini). Ada juga orang melihat postmodern sebagai radikalisasi zaman modern. Pergeseran dari modern menuju postmodern dalam perspektif “radikal” analog dengan pergeseran dari “memutlakkan pengetahuan alam” menuju kepada “memutlakkan diri”.

Dampak Modern

Sebuah peristiwa yang cukup mewakili dan merepresentasikan pergeseran antara modern dan postmodern adalah Perang Dunia. Sejenak mari kita kembali ke masa-masa Perang Dunia. Perang Dunia I dimulai pada akhir Juni 1914 dengan peristiwa terbunuhnya Franz Ferdinand dan berakhir pada pertengahan Januari 1920 dengan peristiwa “League of Nations” di London. Perang Dunia II diperkirakan dimulai pada awal September 1939 dengan invasi Jerman ke Polandia dan berakhir pada pertengahan September 1945 dengan menyerahnya Jepang kepada pihak sekutu. Namun kita mungkin tidak sadar apa yang terjadi di dalam tenggang waktu pada Perang Dunia II. Perang Dunia II menjadi sebuah peristiwa yang sangat menghebohkan dunia karena dampaknya hampir merata ke seluruh dunia, mulai dari Eropa, Amerika, bahkan sampai kepada Asia yang padahal hanya berlangsung selama 6 tahun. Menurut penjelasan yang saya dapatkan dari beberapa sumber, perkembangan teknologi sepanjang sejarah mencapai klimaksnya di dalam Perang Dunia. Keinginan untuk menghabisi musuh-lah yang memicu perkembangan teknologi. Filsafat optimalisasi begitu mempengaruhi strategi peperangan yang terjadi (sebenarnya filsafat ini sudah diimplementasikan di dalam Perang Dunia I, namun di dalam PD II filsafat tersebut merasuk ke dalam sistem persenjataan dan komunikasi).

Puncak teknologi mutakhir pada zaman itu adalah pembuatan senjata nuklir yang sampai sekarang masih tidak ada senjata yang menandinginya. Dari sistem komunikasi, strategi perang, sistem pengiriman tentara maupun senjata, sampai kepada sistem pengeboman tersusun begitu rapi. Sistem yang begitu canggih yang diterapkan di dalam perang dunia ini sangatlah membawa hal positif di dalam dunia teknik, rekayasa, dan hal lainnya yang berkait dengan science. Prinsip “fit the man to the job” (FMJ) menjadi sebuah hal yang diutamakan. Tuntutan akan kecepatan di dalam penyediaan alat-alat perang khususnya kendaraan perang sangat tinggi. Oleh karena itu, manusia tidak begitu diperhatikan di dalam perancangan interiornya. Salah satu hal positif yang didapatkan di dalam FMJ adalah perusahaan tidak memerlukan waktu yang lama untuk memproduksi barang secara massal. Namun kerugiannya adalah bahwa ketika faktor ergonomi tidak diterapkan, akan banyak sekali kesulitan-kesulitan yang terjadi karena ketidaknyamanan pengguna barang tersebut. Maka, tidak heran sewaktu kita masuk ke museum, kita melihat sebuah panser, tank, maupun mobil perang yang besar, memiliki ruangan yang sangat sempit untuk pengemudi maupun untuk orang yang duduk di an diri dan 5M (Man, Machine, Materials, Method, Money). Man disetarakan dengan ke-empat M lainnya. Seharusnya manusialah yang menguasai ke-4 M tedalamnya.

Hal ini membuktikan bahwa manusia bukan lagi menjadi tuan atas teknologi, namun manusia membuat teknologi dengan tujuan untuk manusia diperbudak olehnya. Inilah yang terjadi, manusia berfokus bukan kepada “human race”, namun kepada keuntungrsebut karena manusia diciptakan di atas alam (ke-empat M lainnya).

Dampak Perang Dunia tersebut sangatlah terasa hingga ke Indonesia. Betapa sedihnya apabila kita mendengar cerita-cerita dari ex-patriot masa itu yang masih hidup pada masa kini. Begitu mengerikan ketika kita melihat sejarah perang dunia. Kedahsyatan perkembangan teknologi telah dipakai untuk saling menghancurkan. Bagaimana dengan peperangan di zaman kita sekarang? Peperangan di zaman postmodern bukan lagi peperangan secara fisik, namun peperangan secara mental, ketahanan, dan daya juang kita.

Dampak Postmodern

Ketika penduduk dunia mengalami kekecewaan akibat Perang Dunia II, postmodern kemudian muncul tiba-tiba bagaikan juruselamat bagi dunia. Begitu dingin sekaligus begitu “fit” dengan manusia. Manusia tidak lagi menjadi objek sasaran tembak lagi. Namun di zaman postmodern ini manusialah yang menjadi subjek di dalam menentukan segala sesuatu (termasuk penentu dasar epistemologi à yang seharusnya Wahyu Allah yang menempatkan posisi penentu epistemologi). Perkembangan sains sudah tidak begitu mengerikan lagi – tidak lagi dipakai untuk teknologi peperangan semata. Namun perkembangan pengaplikasian ilmu-ilmu yang dihasilkan  dari zaman modern justru sekarang sangat gencar dilakukan. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah untuk “membangun kedamaian bagi dunia (baca: manusia)”. Hal inilah yang mendorong kelahiran ergonomi. Pola FMJ (fit the man to the job) berubah menjadi FJM (fit the job to the man).

Prinsip dasar FJM-lah yang menjadi pencetus munculnya ergonomi[1]. Ergonomi adalah suatu ilmu perancangan sistem kerja yang berfokus kepada manusia. Sistem ini mengukur dan merancang secara presisi setiap sistem kerja demi membangun satu paradigma postmodern, yaitu “user-friendly” yang kita semua tidak asing lagi dengannya. Dengan paradigma ini produktivitas dan efektivitas tidak lagi setinggi FMJ, namun memang orang postmodern tidak lagi melihat produktivitas dan efektivitas menjadi hal yang harus mutlak dikejar, karena kedua hal itu hanya merupakan bagian di luar manusia. Manusia sekarang lebih mengejar yang di dalam diri manusia, seperti kenikmatan, kenyamanan, dan kepuasan di dalam melakukan pekerjaan. FMJ dipakai hanya untuk beberapa kasus khusus di mana memang ketika FJM tidak bisa digunakan lagi. Pergeseran dari “esensi” menuju kepada “aplikasi”, “isi” menuju “bungkus”, dan dari “science” menjadi “applied science” sangatlah dirasakan.

Semua hal di atas sangat dekat dan sangat bersahabat dengan hidup kita, tetapi sekaligus sangat berbahaya, karena semangat ini mencoba mengajarkan kita untuk melihat segala sesuatu melalui kacamata “user-friendly”. Tanpa disadari kita diajar untuk mengabsolutkan manusia secara pribadi demi pribadi pada ujungnya sehingga semangat mass production sekarang memudar. Kita sekarang dimanjakan dengan online-shopping di mana kita bisa dengan leluasa menentukan apa yang kita mau, kapan kita mau, bagaimana kita mau, dan lain-lain. Industri pun dipaksa beradaptasi dengan pola ini, perancangan kursi sekarang bukan lagi berdasarkan persentil 10, 50, maupun 100. Namun perancangan dibuat satu per satu sesuai dengan person yang menginginkannya. Semangat ini melemahkan semangat juang setiap pribadi. Kita tidak perlu lagi berjuang untuk beradaptasi dengan apa pun, segala sesuatu dirancang sesuai dengan kita, bahkan kursi, bantal, sepatu, dan lain-lain dirancang bagi kita. Seperti yang saya bahas di Pillar edisi September 2010, “game” merupakan produk postmodern yang memang menghilangkan daya juang.[2] Membuat sebuah realitas semu, bahkan hyper-reality yang di mana sang pengguna bisa bermain dan bisa masuk ke dalam realitas yang diciptakannya sendiri. Manusia bukan lagi berpaut kepada realitas yang Allah berikan, yaitu realitas Wahyu Allah. Di sini terjadi pergeseran dari “perang” menuju “perang-perangan”.

Implikasi

“Lihat saja Bill Gates tidak memiliki gelar (baca: ilmu secara akademis/esensi) namun dia bisa kaya raya (baca: it works!)”. “Bayangkan tuh yang punya facebookga usah kerja keras, tapi dia kaya banget.” “MLM tuh keren! Kerjanya sedikit, usahanya dikit aja, yang penting banyak koneksi.” Yang penting bisa jual diri, jual ide, jual uang, jual apa saja. Sekali lagi: inilah pergeseran yang terjadi.