Menarik menanggapi artikel tentang kebosanan yang ditulis oleh Sdri. Ita Chandra di Pillar no. 45. Di akhir paragraf kedua Sdri. Ita menulis, “Tapi, mungkin engkau bertanya-tanya mengapa kebosanan bisa merajalela di tengah-tengah zaman yang penuh dengan Playstation, Xbox, TV, Disneyland, online game, internet, jet coaster, mall, dan segudang pabrik-pabrik hiburan lainnya?” Saya memberi cetak tebal pada kata ‘hiburan’ karena membandingkannya dengan kalimat Edward Casey dalam bukunya “Imagining, a Phenomenological Study”. Beliau mengatakan, “Imagining is entertaining oneself with what is purely possible,”[1] serta-merta membuat kita setuju bahwa hampir semua jenis hiburan yang ditawarkan dunia saat ini berhubungan erat dengan pemuasan atau permainan imajinasi.
Hutan beton kelabu yang dibangun dunia modern dengan segala rutinitas dan strukturnya yang tertata rapi telah menciptakan padang gurun bagi dunia imajinasi manusia. Tempat-tempat internet game telah menjadi oase bagi banyak orang yang ingin melarikan diri dari kebosanan yang mematikan di luar sana. Pemuasan dahaga imajinasi membelengu pecandu game untuk terus berpetualang di dunia maya dari satu game kepada game lain. Tidak heran banyak di antara mereka yang lupa keluarga, pekerjaan, dan sekolah. Kebosanan menjadi masalah serius dalam artikel yang ditulis oleh Sdri. Ita karena “obat” untuk kebosanan itu sendiri begitu merusak (dalam paragraf ke-8), termasuk pemuasan imajinasi lewat pornografi dan perang. Bisnis imajinasi yang dibangun Hollywood hari ini, tak bisa dipungkiri siapapun, sudah menjadi salah satu bisnis yang menguasai perekonomian dunia, menjadi bagian dari hidup keseharian kita, bahkan inspirasi khotbah-khotbah dan perenungan kita.
Sebenarnya, Alkitab (KJV) sendiri mencatat penggunaan kata imajinasi sebagai faktor yang berperan besar dalam kejatuhan manusia dalam dosa. Ambil saja contoh dalam Genesis 6:5, “And God saw that the wickedness of man was great in the earth, and that every imagination of the thoughts of his heart was only evil continually,” atau dalam Genesis 8:21, “… for the imagination of man’s heart is evil from his youth.” Kata Ibrani yang diterjemahkan oleh KJV sebagai imagination dalam dua ayat di atas dan di beberapa tempat lain (Strong’s Concordance) adalah kata yetser yang diturunkan dari kata yatsor, pembuat periuk atau penjunan (potter).
Mari kita mencoba menyelami apa yang sebenarnya dipikirkan Hawa ketika penulis Alkitab mencatat bahwa perempuan itu melihat buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya. Sebuah buah kalau kelihatan baik untuk dimakan dan sedap, saya rasa masih wajar, karena memang buah diciptakan untuk dimakan, mengenyangkan, dan memberikan rasa segar kepada fisik dan indera kita. Tapi kalau kemudian ditulis bahwa Hawa juga tertarik karena dapat memberikan pengertian, maka bukan hanya fisik yang ingin dipuaskan. Ini sudah melebihi kenyataan sebenarnya dari tujuan penciptaan buah-buahan. Duncan Roper (Institute for Christian Studies, Toronto) menulis dalam artikel “Aesthetics, Art, and Education: Consequences for Curriculum”[2] bahwa ada empat aspek dasar yang terlibat dalam imajinasi, dua di antaranya adalah penggambaran (picturing) dan melebih-lebihkan (exaggeration). Calvin Seerveld (Institute for Christian Studies) mengatakan, “Playing bears open up a world of virtuality that goes beyond the construction of images. My imaginative act of pretending to be Napoleon, like playing bears, may suggest certain whimsical features to an observer… The human function of imagining is also different than a concept-forming function.”[3]
Jadi bolehlah kita mengatakan bahwa Hawa sudah berimajinasi tentang buah tersebut. Yang namanya imajinasi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Kenyataannya adalah Tuhan berfirman kepada manusia pada hari dia memakan buah itu pastilah dia mati. Imajinasi Hawa (dipicu oleh percakapannya dengan ular) adalah pada saat ia memakannya, ia akan mendapat pengertian atau bahkan sama dengan Allah.
Dosa seringkali terjadi ketika orang dibuai oleh imajinasinya untuk mencari pemuasan di luar Firman Tuhan. Goebels, salah satu orang dekat Hitler, setiap tahun memberikan pidato di hadapan Hitler pada malam ulang tahun Hitler. Pada malam ulang tahun Hitler yang ke-50 di tahun 1939, dia dikutip mengatakan, “Successful policies require both imagination and reality. Imagination as such is constructive. It alone provides the strength for powerful, flexible historical conceptions. Realism on the other hands brings the ideas of political fantasy in agreement with hard reality. The Führer possesses both characteristics in a unique harmony seldom seen in history. Imagination and reality join in him to determine the goals and methods of political policy.”[4] Usaha untuk membawa imajinasinya ke dalam realita telah menjadikan Hitler salah satu pembunuh massal yang paling mengerikan dalam sejarah.
Imajinasi, tak bisa disangkali, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia secara ontologis. Imajinasi begitu kaya ditemukan dalam permainan anak-anak, olahraga, kegiatan estetik. Imajinasi ikut bermain ketika seorang pengarang bermain-main dengan metafora. Imajinasi tidak bisa dipisahkan dari dunia penulisan fiksi. Imajinasi memungkinkan kita untuk menginterpretasi gambar dua dimensi menjadi benda tiga dimensi. Imajinasi memungkinkan kita mengorganisasi alam ciptaan di sekeliling kita menjadi bentuk-bentuk baru yang memudahkan hidup kita, seperti teknologi. Imajinasi bahkan berperan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan seperti yang diyakini filsuf Karl Popper. “Law-statement is a product of the human imagination, in which experience and rational analysis co-operate. But the laws to which these statements refer even transcend the imagination. In general, the far-reaching consequences of newly formulated law-statements cannot be predicted, and theories are usually much richer than even their inventors could imagine.”[5]
Menurut Einstein, “Imagination is more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world.” Pandangan Einstein adalah Romantisisme yang memiliki epistemologi berbeda dari epistemologi orang Kristen. Romantisisme berpandangan bahwa imajinasi dan visi adalah komponen yang mendasari pembentukan pengetahuan kita (Samuel Taylor Coleridge, “Biographia Literaria”[6]). Bagi orang Kristen, pengetahuan berasal dari revelasi Tuhan di dalam alam ciptaan dan Alkitab. Tanpa perlu jatuh ke dalam Romantisisme dan kengerian imajinasi Hitler, orang Kristen harus mengakui bahwa mustahil membaca Mazmur 139 (atau banyak Mazmur lainnya) tanpa mengikutsertakan imajinasi kita. Kepada mereka yang bosan hidup karena hidup ini membosankan, penulis-penulis Mazmur, kitab nabi-nabi, Tuhan Yesus sendiri, dan para rasul mengajak imajinasi kita turut menari meresponi metafora-metafora mereka yang begitu kaya dan luar biasa.
Kitab Ayub adalah salah satu bukti betapa kelamnya imajinasi manusia … anak panah dari yang Mahakuasa tertancap pada tubuhku dan racunnya diisap oleh jiwaku[7]… Engkau membenamkan aku dalam lumpur sehingga pakaianku merasa jijik terhadap aku[8]… Aku dihujani panah, ginjalku ditembusnya dengan tak kenal belas kasihan, empeduku ditumpahkan-Nya ke tanah. Kain kabung telah kujahit pada kulitku[9]… Apabila aku mengharapkan dunia orang mati sebagai rumahku, menyediakan tempat tidurku di dalam kegelapan, dan berkata kepada liang kubur: Engkau ayahku, kepada beranga: Ibuku …[10] Secara mengejutkan, penulis menemukan kitab yang paling kelam ini justru diakhiri dengan empat pasal jawaban dari Tuhan (pasal 39-41) yang begitu merangsang imajinasi kita untuk merayakan alam raya yang dipenuhi oleh hikmat, kasih, keagungan, dan kekuatan dari Sang Pencipta. Perayaan ini begitu meriah dan penuh warna, menghujani hati, dan membanjiri nadi. “Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Siapakah yang memasang batu penjurunya pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama? Pernahkah dalam hidupmu engkau menyuruh datang dinihari? Atau fajar kautunjukkan tempatnya? Untuk memegang ujung-ujung bumi … Bumi berubah … segala sesuatu berwarna seperti kain. Dapatkah engkau memberkas ikatan bintang Kartika dan membelenggu bintang Belantik? Dapatkah engkau menerbitkan Mintakulburuj pada waktunya, dan memimpin bintang Biduk dengan pengiring-pengiringnya? Engkaukah yang memberi tenaga kepada kuda? Engkaukah yang mengenakan surai pada tengkuknya? Oleh pengertianmukah burung elang terbang, mengembangkan sayapnya menuju ke selatan? Atas perintahmukah rajawali terbang membubung, dan membuat sarangnya di tempat yang tinggi? Perhatikanlah kuda Nil. Perhatikanlah tenaga di pinggangnya, kekuatan pada urat-urat perutnya! Ia meregangkan ekornya seperti pohon aras, otot-otot pahanya berjalin-jalinan. Di bawah tumbuhan teratai ia menderum, tersembunyi dalam gelagah dan paya. Tumbuh-tumbuhan teratai menaungi dia dengan bayang-bayangnya, pohon-pohon gandarusa mengelilinginya.”
Betapa dahsyat dan indahnya revelasi Tuhan menghapus bersih imajinasi kelam dan gelap dari Ayub. Warna-warni pelangi revelasi Tuhan menyapu bersih warna hitam dan kelabu dari imajinasi manusia. Terpujilah Tuhan yang memberikan kepada kita imajinasi untuk semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis! Dan terpujilah Tuhan yang telah dan akan terus merevelasikan segala apa yang tidak pernah dilihat mata, dan tidak pernah didengar telinga, dan yang tidak pernah timbul dalam hati manusia, yang di luar jangkauan imajinasi, semua yang disediakan Tuhan untuk kita yang mengasihi Dia!
Kepada mereka yang bosan hidup karena hidup begitu membosankan, revelasi Tuhan dalam alam ciptaan dan Alkitab mengajak engkau untuk menari dalam imajinasi untuk merayakan detil-detil keagungan, kekuatan, kasih, dan hikmat-Nya dan meresponinya dalam setiap realita hidup kita.
Suryanto
Pembaca setia Buletin PILLAR
Endnotes
[1] Edward S. Casey, Imagining, a Phenomenological Study (Bloomington: Indiana University Press, 1976), p. 119
[2] Duncan Roper, Aesthetic Art and Education: Consequences for Curriculum, p. 3
[3] Calvin Seerveld, Faith and Philosophy, Vol. 4 No. 1 January 1987, p. 47
[4] Die Zeit Ohne Beispiel (Munich: Zentralverlag der NSDAP, 1941).
[5] Popper 1959, chapter X; 1963, chapter 1; 1972, chapter 1
[6] Samuel Taylor Coleridge, Biographia Literaria, Ed. J. Shawcross (Oxford : Clarendon Press, 1981), 1:202, 2:12
[7] Ayub 6:4
[8] Ayub 9:31
[9] Ayub 16:13,15
[10] Ayub 17:13,14