“Di tengah kegembiraan orang-orang di bar tersebut, wanita ini tidak bisa merasakan kegembiraan yang sama. Alkohol, status, lingkaran sosial, relasi romantis, dan kenyamanan hidup tidak bisa memberikan sukacita yang sejati. Negara Prancis sebagai simbol kemewahan dan hiburan juga agaknya tidak memberikan jawaban.”
Introduksi
Dalam bagian pembuka ini, penulis ingin memberikan sedikit konteks dan limitasi ekspektasi terkait artikel ini. Penulis adalah seorang penikmat seni lukisan dan pelukis amatir. Dalam perkembangan pengalaman, penulis pernah berkunjung ke berbagai museum dan juga menuliskan artikel & buku terkait lukisan. Beberapa bagian dalam artikel ini juga diambil dari tulisan-tulisan tersebut (misal, bagian mengenai konteks pelukis dan lukisan, interpretasi lukisan).
Lukisan yang berjudul “A Bar at the Folies-Bergere” sangat berkesan dan menarik perhatian penulis. Aspek pantulan kaca yang kompleks, kesan misterius, dan banyaknya variasi interpretasi lukisan membuat penulis ingin terus-menerus mendalami lukisan ini. Belum lagi kontras antara wanita tokoh utama yang terlihat sedih dan bosan, sangat tidak cocok dengan kumpulan pelanggan bar yang begitu ramai dan sedang menikmati suasana pesta dan hiburan.
Konteks Pelukis dan Lukisan
Édouard Manet adalah seorang pelukis asal Prancis yang menjadi figur penting dalam masa-masa transisi dari periode Realism menuju Impressionism. Ketertarikan Manet akan seni lukis sudah muncul sejak kecil. Namun pada masa itu, ia tidak mendapat dukungan dari orang tua untuk menekuni seni lukis. Karya-karya awal Manet cukup banyak menuai kontroversi. Misalkan saja The Luncheon on the Grass (Le déjeuner sur l’herbe) dan Olympia yang selesai dilukis pada tahun 1863. The Paris Salon menolak untuk memamerkan karya-karya tersebut. Namun akhirnya karya-karya tersebut tetap dipamerkan di Salon des Refusés. Karya-karya Manet diakui sebagai cikal bakal kemunculan seni modern.
A Bar at the Folies-Bergère adalah salah satu lukisan Manet yang penting dan menarik untuk dianalisa secara mendalam. Elemen misteri, ambiguitas, keraguan dan sekaligus hingar-bingar keramaian terpancar melalui lukisan ini. Karya ini dilukis dan dipamerkan di The Paris Salon pada tahun 1882. Lukisan ini menggambarkan klub malam Folies Bergère di kota Paris. Suatu representasi dari suasana kontemporer, lengkap dengan segala kemewahan, kemeriahan, dan kegemerlapan. Manet sendiri telah beberapa kali mengunjungi tempat ini dan telah menghasilkan beberapa sketsa sebagai persiapan untuk lukisan ini. Pusat dari lukisan ini tidak lain adalah seorang wanita yang berada di tengah lukisan. Dapat dilihat suatu kontras antara suasana ramai dari klub tersebut dengan wajah sang wanita yang agak murung dan kental akan elemen melankolis. Ia seperti terasing dari hingar-bingar di sekelilingnya. Jika diperhatikan dengan seksama, hanya sang figur utama yang tidak dilukiskan dengan refleksi kaca. Seperti ada kaca pemisah dengan orang-orang lain di dalam lukisan ini.
Interpretasi Lukisan
Para kritikus seni kerap memperdebatkan aspek perspektif dan pantulan refleksi cermin. Interpretasi dari hal ini akan menimbulkan beberapa pertanyaan terkait. Mengapa ekspresi sang wanita terlihat begitu berbeda dengan sekelilingnya? Dimanakah posisi pelihat lukisan, sang wanita, dan pria yang terefleksi di kaca? Apakah yang sebenarnya sedang terjadi antara sang wanita dengan pria yang terefleksi di kaca? Karya ini ingin melepaskan diri dari kekangan hukum-hukum yang sudah berdiri dan sistematis. Seolah lukisan ini memberontak dan tidak mau “dibaca” secara rasional. Cukup sejalan dengan pernyataan Manet sendiri: “It is not enough to know your craft – you have to have feeling. Science is all very well, but for us imagination is worth far more.”
Di tengah kegembiraan orang-orang di bar tersebut, wanita ini tidak bisa merasakan kegembiraan yang sama. Alkohol, status, lingkaran sosial, relasi romantis, dan kenyamanan hidup tidak bisa memberikan sukacita yang sejati. Negara Prancis sebagai simbol kemewahan dan hiburan juga agaknya tidak memberikan jawaban. Justru yang akhirnya muncul adalah ekspresi kebosanan dan keterasingan di dalam jiwa manusia.
Perenungan Konteks Saat Ini: Hiburan dan Kenikmatan
Masalah dan kontras suasana yang ditonjolkan lukisan ini sepertinya masih terus relevan sampai saat ini, konteks abad modern dan digital di tahun 2024. Sampai detik ini, dunia sepertinya tidak berhenti dan tidak bosan untuk menciptakan dan memberikan berbagai variasi hiburan bagi manusia. Mulai dari media sosial (TikTok, Instagram), tontonan (Netflix, YouTube), berbagai variasi game, pertunjukan/konser musik, taman dan wahana hiburan, wisata ke tempat indah nan eksotis, sampai kepada turisme mewah kelas atas (e.g. makanan kelas Michelin star, kapal selam bawah laut, wisata ke luar angkasa, wisata dengan pesawat jet atau kapal pesiar mewah).
Meskipun ragam hiburan semakin menjamur, namun kekosongan terdalam hati manusia sulit untuk terobati. Mungkin untuk sesaat ketika menikmati hiburan-hiburan tersebut, ada yang merasa senang, terhibur, dan kekosongan hati seolah terobati. Namun tidak lama kemudian, terpaan kesendirian, kesenduan, dan kekosongan bisa kembali datang menghampiri. Sama hal-nya dengan sosok utama wanita dalam lukisan. Di tengah-tengah suasana hingar bingar, mewah, dan pesta, ia justru termenung sedih. Ketika memikirkan hal ini, tidak bisa tidak, penulis langsung teringat satu paragraf awal dari buku The Confession dari Agustinus, yakni hati manusia akan terus gelisah sebelum mendapatkan peristirahatan sejati di dalam Tuhan:
Great are You, O Lord, and greatly to be praised; great is Your power, and of Your wisdom there is no end. And man, being a part of Your creation, desires to praise You — man, who bears about with him his mortality, the witness of his sin, even the witness that You resist the proud, — yet man, this part of Your creation, desires to praise You. You move us to delight in praising You; for You have made us for Yourself, and our hearts are restless until they rest in You.
Sampai pada poin ini, penulis tidak mau disalahmengerti. Penulis bukan anti/menentang hal-hal terkait kesenangan, kenikmatan, atau hiburan. Sisi ekstrem dimana manusia hidup begitu minim dan menyiksa diri juga tentu tidak bisa (dan juga tidak layak) untuk dihidupi. Penulis dengan jelas menyadari bahwa kemungkinan untuk bisa menikmati adalah karunia/anugerah yang luar biasa dari Tuhan. Mengenai hal ini, penulis juga teringat mengenai beberapa ayat dari kitab Pengkhotbah:
Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia? Karena kepada orang yang dikenan-Nya Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan, tetapi orang berdosa ditugaskan-Nya untuk menghimpun dan menimbun sesuatu yang kemudian harus diberikannya kepada orang yang dikenan Allah. Inipun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. (Pengkhotbah 2:24-26)
Lihatlah, yang kuanggap baik dan tepat ialah, kalau orang makan minum dan bersenang-senang dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari selama hidup yang pendek, yang dikaruniakan Allah kepadanya, sebab itulah bahagiannya. Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya–juga itupun karunia Allah. (Pengkhotbah 5:17-18)
Penutup
Di bagian akhir ini, penulis ingin mengajak pembaca PILLAR untuk bisa merenungkan dan melakukan evaluasi kembali hidup kita. Apakah kita sudah mengalami dan merasakan sukacita sejati di dalam Tuhan? Atau apakah kita masih merasa kosong dan tidak tenang? Sudahkah kita bisa melihat setiap kebaikan dan kenikmatan yang kita rasakan hari demi hari, adalah anugerah yang luar biasa dari Tuhan? Atau justru kita masih seperti sang wanita dalam lukisan, di tengah suasana pesta yang menyenangkan, justru kita merasa sendu dan kosong, sama sekali tidak ada “kemampuan” untuk menikmati?
Kembali mengutip Agustinus (buku De Doctrina Christiana / On Christian Teaching), ada perbedaan mendasar dalam melihat segala berkat dari Tuhan. Apakah kita melihat segala berkat tersebut adalah sarana/jembatan untuk kita bisa menikmati kenikmatan tertinggi, yakni Tuhan sendiri? Atau justru sebaliknya, apakah kita terjerat sehingga malah “memanfaatkan” Tuhan untuk justru berhenti dalam tahap menikmati berkat-berkat tersebut, dan berakhir dengan melupakan Tuhan?
This is my Father’s world, And to my listening ears
All nature sings, and round me rings; The music of the spheres.
This is my Father’s world: I rest me in the thought
Of rocks and trees, of skies and seas – His hand the wonders wrought
(This is My Father’s World)
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Editorial PILLAR
Pengasuh rubrik: iman dan pekerjaan (faith & vocation)
Bacaan & eksplorasi lebih jauh:
Video penjelasan kitab Pengkhotbah dari Bible Project:
https://www.youtube.com/watch?v=VeUiuSK81-0&t=202s
50 Lukisan Agung dan Makna di dalamnya: https://www.goodreads.com/id/book/show/34867558
https://www.buletinpillar.org/kehidupan-kristen/biblical-aesthetics
https://www.buletinpillar.org/seni-budaya/theologi-reformed-dan-apresiasi-seni
https://www.thegospelcoalition.org/blogs/scotty-smith/enjoyment-act-obedient-love
https://www.thegospelcoalition.org/blogs/ray-ortlund/enjoying-vs-using