Introduksi
Dalam bagian pembuka ini, penulis ingin memberikan sedikit konteks dan limitasi ekspektasi terkait artikel ini. Penulis adalah seorang penikmat seni lukisan dan pelukis amatir. Dalam perkembangan pengalaman, penulis pernah berkunjung ke berbagai museum dan juga menuliskan artikel dan buku terkait lukisan. Beberapa bagian dalam artikel ini juga diambil dari tulisan-tulisan tersebut (misalnya bagian mengenai konteks pelukis dan lukisan, interpretasi lukisan).
Lukisan ini merupakan lukisan yang sangat berkesan bagi penulis. Pdt. Stephen Tong dan Pdt. Billy Kristanto juga pernah mengupas/menjelaskan mengenai lukisan ini dalam berbagai kesempatan (seperti khotbah, seminar, dan rapat pelayan). Meskipun lukisan ini terkesan “kuno dan tradisional”, penulis merasa topik dan perenungan yang diangkat melalui lukisan ini sangat relevan dalam berbagai konteks zaman, terutama dalam konteks kontemporer saat ini di tahun 2023.
Konteks Pelukis dan Lukisan
Paul Gauguin merupakan pelukis dengan gaya Pasca-Impressionis yang terkemuka di samping Vincent Van Gogh, Georges Seurat, dan Paul Cezanne. Van Gogh sendiri pernah mengundang Gauguin untuk tinggal bersama di rumahnya di daerah Arles, bagian selatan Prancis. Dalam sekitar periode 9 minggu, Van Gogh dan Gauguin melukis bersama-sama dan menghasilkan berbagai macam karya. Ketika hidup, karya-karya Gauguin belum terlalu dihargai. Gaya Pasca-Impressionis menekankan penggambaran subjektif dari pelukis akan realitas yang dilihatnya. Penggambaran yang subjektif ini mengakibatkan beragamnya gaya dan pencahayaan dalam lukisan-lukisan aliran Pasca-Impressionis. Secara lebih spesifik, Gauguin termasuk dalam gaya Kloisonisme, di mana lukisan dibuat seolah-olah datar dan memiliki garis pemisah yang gelap dan tegas.
Paul Gauguin sendiri memiliki ketertarikan kuat dalam menyelidiki subjek-subjek yang natural, otentik, orisinal, dan belum tercemar oleh pengaruh dunia modern. Dengan alasan ini, ia melakukan dua perjalanan ke Tahiti. Di sana ia menemukan berbagai objek dan komunitas yang ia lihat sama sekali belum terkontaminasi pengaruh dunia modern. Dalam perjalanannya yang kedua, ia mengambil keputusan untuk meninggalkan negara asalnya, Prancis, dan menetap di Tahiti untuk seterusnya.
Dalam berbagai lukisannya, warna kuning tampak mendominasi dan memiliki arti khusus. Salah satu alasannya adalah karena warna kuning digunakan untuk menjadi simbol kehidupan petani-petani sederhana yang terisolasi. Kesan kuat ini ia dapatkan ketika berkunjung ke daerah Brittany yang memiliki implikasi besar dalam membebaskannya dari cengkeraman gaya Impressionis. Dalam tulisannya kepada Émile Schuffenecke, ia menyatakan, “I love Brittany. I find a certain wildness and primitiveness here. When my clogs resound on this granite soil, I hear the dull, matt, powerful tone I seek in my painting.”
Interpretasi Lukisan
Lukisan dengan judul “Where Do We Come From? What Are We? Where Are We Going?” adalah karya besar dari Paul Gauguin. Ia sendiri menegaskan, “I believe that this canvas not only surpasses all my preceding ones, but that I shall never do anything better—or even like it.” Lukisan ini dilukis dengan penuh kesulitan dan pergumulan. Enam tahun setelah lukisan ini selesai, Gauguin meninggal dunia. Dalam proses melukis karya ini, Gauguin mengalami berbagai gangguan kesehatan, demam berat, utang yang makin menumpuk, dan bahkan salah seorang anak perempuannya meninggal dunia.
Pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai asal manusia, identitas, dan harapan akan kekekalan terpancar dengan jelas melalui judul lukisan ini. Lukisan ini sangat kental akan makna dan perenungan mengenai eksistensi manusia dan arti hidup. Seolah melawan tradisi pembacaan modern, lukisan ini tidak dilihat dari kiri ke kanan. Melainkan dari kanan ke kiri, seperti layaknya bahasa atau manuskrip kuno. Judul lukisan tertulis dalam bahasa Prancis di sebelah kiri atas dengan latar belakang warna keemasan. Laut, sungai, dan gunung berapi Tahiti terhampar indah menghiasi latar belakang lukisan ini.
Lukisan ini secara garis besar adalah bagaikan cerita narasi dari kejadian-kejadian dan fase-fase dalam hidup manusia. Berawal dengan penggambaran bayi yang baru lahir di ujung kanan, lukisan ini diakhiri dengan sosok wanita tua renta yang menunggu kematian di ujung kiri. Postur dan figur dari penduduk asli Tahiti dilukiskan dengan gaya yang misterius dan penuh arti simbolis. Ada yang digambarkan sedang memperhatikan lengan atasnya, ada dua orang yang berjalan berdekatan, ada tiga orang yang duduk mengelilingi seorang bayi dengan ditemani seekor anjing, ada dua anak kucing yang sedang bermain-main, juga sosok pria yang mengambil buah, dan seekor burung yang sambil mencengkeram seekor kadal, juga sedang menemani seorang wanita tua dan wanita lebih muda yang duduk di sampingnya.
Paul Gauguin sendiri dikenal menganut kepercayaan Theosofi, yakni kepercayaan yang menggabungkan berbagai aspek dari berbagai agama besar di dunia. Termasuk dalam lukisan ini, elemen-elemen dan simbol-simbol agama Kristen, Hindu, dan kepercayaan mistik bisa cukup terlihat. Latar belakang alam, tanpa bangunan, rumah, ataupun pencapaian lain dari kebudayaan manusia kembali menekankan dedikasi Gauguin untuk menggambarkan sesuatu yang natural, otentik, dan orisinal. Sosok wanita yang digambarkan sedang mencari kutu dan memperhatikan lengan atasnya seolah ingin mencerminkan sikap kelompok orang yang tidak terlalu memikirkan perjalanan hidupnya dalam proses menjadi tua dan akan menghadapi kematian. Burung yang mencengkeram kadal, juga sosok wanita tua renta menutup perenungan dari lukisan ini akan fananya hidup, dan bagaimana seharusnya kita menghadapi kematian. Sangat sejalan dengan kisah hidup Paul Gauguin sendiri yang penuh dengan kedalaman kesulitan.
Lukisan ini dilukis dengan penuh kesulitan dan pergumulan. 6 tahun setelah lukisan ini selesai, Paul Gauguin meninggal dunia. Dalam proses melukis karya ini, Gauguin mengalami berbagai gangguan kesehatan, demam berat, utang yang makin menumpuk, dan bahkan salah seorang anak perempuannya meninggal dunia… Pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai asal manusia, identitas, dan harapan akan kekekalan terpancar dengan jelas melalui judul lukisan ini. Lukisan ini sangat kental akan makna dan perenungan mengenai eksistensi manusia dan arti hidup.
Perenungan Konteks Saat Ini: Kesia-siaan, Kekosongan, Rutinitas
Judul dan pertanyaan dasar dari lukisan ini sepertinya tidak habis-habis untuk terus direnungkan sepanjang zaman. Bahkan dalam konteks kontemporer (minimal yang diketahui/cerna oleh penulis), ada berbagai karya seni (seri TV, film bioskop) yang mengangkat tema-tema ini (kesia-siaan, kekosongan, makna hidup, rutinitas yang menjemukan, absurditas, konteks sosial yang berputar-putar tanpa tujuan). Sebut saja karya-karya seperti The Matrix Trilogy, Bojack Horseman, Rick and Morty, Squid Game, Snow Piercer, Parasite, Joker (Movie). Dalam konteks sehari-hari, jika kita peka, kita juga kerap menemukan hal-hal seperti: ketidakadilan, kesenjangan sosial, hidup yang rutin membosankan tanpa arah, kaum marjinal yang sepertinya tidak memiliki pengharapan dan masa depan, tragedi/kecelakaan/kematian yang dapat datang setiap saat dan menimpa pada saat yang tidak terduga.
Bagi penulis, Kitab Pengkhotbah merupakan kitab yang sangat relevan dalam menemani perenungan-perenungan seperti ini. Kitab Pengkhotbah tidak sekadar memberikan jawaban ringkas, pintas, atau idealis (too good to be true). Kitab Pengkhotbah seolah memiliki kesabaran sangat amat panjang untuk membahas, merenungkan, dan menyelami berbagai macam “keanehan” dan tragedi kehidupan. Setidaknya Kitab Pengkhotbah menyoroti 3 aspek penting: (i) betapa fana dan singkatnya waktu, (ii) kematian yang bisa datang kapan saja, (iii) tragedi dan “randomness” (musibah acak) dari kehidupan. Bagi para pemikir dan filsuf yang menyerang kekristenan, seringkali kekristenan dianggap tidak dalam, tidak relevan, dan tidak bisa memberikan relevansi terkait kompleksitas kehidupan dan pemikiran. Kitab Pengkhotbah dengan jelas dan tegas menentang keberatan-keberatan ini! Kitab Pengkhotbah seolah mau “duduk bersama” dengan Paul Gauguin, bersama-sama terdiam, merenungkan, meratapi, menghayati, dan menjalani kompleksitas hidup ini. Namun tidak berhenti di sana, Kitab Pengkhotbah tidak berhenti pada keputus-asaan, nihilisme, dan pembunuhan diri. Kitab Pengkhotbah mengingatkan kembali bahwa manusia harus menyadari keberadaan Sang Pencipta, takut terhadap-Nya, dan berbahagia karena menghargai dan gentar terhadap hadirat-Nya.
Sebagai penutup, penulis tidak bisa memahami setiap pergumulan para pembaca PILLAR. Jika ada di antara pembaca yang bergumul berat, menjalani hidup dengan penuh kesulitan, penulis berdoa agar Tuhan memberikan hikmat, harapan, dan tuntunan dalam menjalani hidup yang penuh tantangan ini.
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Editorial PILLAR
Pengasuh rubrik: iman dan pekerjaan (faith & vocation)
Bacaan & eksplorasi lebih jauh:
Video penjelasan kitab Pengkhotbah dari Bible Project:
https://www.youtube.com/watch?v=VeUiuSK81-0&t=202s
50 Lukisan Agung dan Makna di dalamnya: https://www.goodreads.com/id/book/show/34867558
https://www.buletinpillar.org/kehidupan-kristen/biblical-aesthetics
https://www.buletinpillar.org/seni-budaya/theologi-reformed-dan-apresiasi-seni